Like Wind on A Dry Branch - Chapter 151
Killian belum lupa kalau Rietta akan pingsan setelah minum satu setengah gelas bir. Tapi dia tak bisa menghentikan wanita itu menenggak minuman memorial untuk menghormati yang sudah tiada.
Rietta sendiri berusaha membatasi konsumsi alkohol sekarang karena dia tahu bahwa miras Axias lebih kuat daripada di tempat-tempat lain. Meski demikian, satu tegukan minuman memorial sudah cukup untuk membuatnya mulai berbinar. Dia bisa mabuk kapan saja. Pokoknya, toleransi alkoholnya benar-benar di luar nalar Killian.
Untung saja mereka kini berada di dalam kamar tidur Rietta di Kastel Axias. Kalau diperlukan, Killian bisa menidurkan Rietta di ranjang di belakangnya.
Mereka mengobrol semalaman sambil minum-minum. Rietta mengoceh tentang cerita-cerita mengenai suaminya, berkata kalau Jade adalah pria yang baik, kemudian menangkupkan tangannya ke pipi untuk menutup mulutnya.
Dia mengerjap cepat seraya menatap Killian. “Saya pasti sudah mabuk,” ujarnya. “Saya terus-terusan membuat kesalahan. Saya tidak bermaksud menceritakan hal-hal semacam itu kepada Anda.”
Killian menatap Rietta. Kenapa bercerita tentang orang yang sudah tiada merupakan ‘kesalahan’? Hari ini secara khusus didedikasikan untuk Jade. Apakah bisa diterima jika bicara tentang Jade dengan orang lain tapi tidak denganku?
“Itu bukan salahmu,” Killian berkata. “Akulah yang tanya.”
“Benarkah?”
“Kau bilang dia bisa memainkan alat musik tapi tak bisa membaca partitur. Ceritakan lebih banyak tentang itu. Bagaimana itu bisa terjadi?”
Alkohol telah membuat Rietta rileks. Dia gagal mempertahankan kewaspadaannya dan mendapati dirinya sendiri menceritakan pada Killian semua yang pria itu tanyakan. Berbagi cerita tentang suaminya sedikit demi sedikit. Dia bicara, tersenyum, merasa malu, dan kemudian sedih.
Dia bicara tentang bakat cemerlang Jade yang membuat pria itu bisa memainkan musik yang indah meski tidak membaca partitur. Dia bicara tentang bagaimana Jade telah menarik perhatian seorang pendeta bangsawan pengelana, yang menawarinya sponsor dan mengajaknya pindah ke Ibu Kota, namun yang bersangkutan hanya menampakkan sedikit minat dan menolaknya. Dia setuju dengan komentar Killian bahwa Jade telah menyia-nyiakan bakatnya untuk tetap menjadi petani di Sevitas seumur hidup.
Rietta tersenyum, kemudian kembali memeluk kakinya. Dia menguburkan bibirnya di antara lutut dan menatap Killian. “Terima kasih,” ujarnya pada pria itu.
“Untuk apa?”
Rietta tersenyum samar. “Kapan hari ulang tahun Anda?”
“Kenapa kau bertanya?”
“Saya memperingati hari yang sedih, jadi lain kali saya ingin merayakan acara yang bahagia.”
Killian terdiam sejenak sebelum menundukkan pandangannya. “Hari ulang tahunmu mungkin akan datang lebih dulu,” dia menjawab. “Ulang tahunku baru saja lewat.”
Rietta memasang wajah terkejut. “Benarkah?!” Dia membelalakkan matanya lebih lebar lagi, meluruskan kakinya, dan menegakkan duduknya. “Kenapa Anda tidak memberitahu saya?”
Dengan tenang Killian mengangkat gelasnya. “Tidak apa-apa. Biasanya aku tidak merayakan ulang tahunku. Ulang tahunku sama dengan hari ketika sesuatu yang buruk terjadi. Aku membuatnya tetap tak mencolok supaya kenangan-kenangan buruknya tidak kembali.”
Rietta terdiam. Instingnya memberitahunya apa hal buruk itu.
Killian menyadari perubahan kecil pada ekspresi wajah Rietta. Bagaimanapun juga, Rietta adalah wanita yang cepat tanggap.
Dia tersenyum miring seraya menggumam, “Kau benar. Pada hari ulang tahunkulah sesuatu yang kau lihat di Lembah Naga terjadi. Hari ulang tahunku yang kedelapan belas.”
Melihat Rietta tak mampu berkata-kata, dengan iseng Killian mengacak rambutnya dan tersenyum. “Jadi, bagaimana kalau kita lupakan saja ulang tahunku dan merayakan ulang tahunmu.”
“.…” Rietta mengerutkan bibirnya. Matanya berkaca-kaca ketika dia memelototi Killian.
“Hari ini matamu sibuk sekali ya,” Killian berkomentar. Memaksakan senyum, dia menyeka air mata di mata Rietta.
****
“Saya tak tahu kapan hari ulang tahun saya,” Rietta berkata. “Saya terlahir di wilayah pegunungan di mana mereka tak punya kalender.”
“Benarkah?”
“Benar. Saya hanya tahu kalau saya lahir di musim semi.”
Lahir di pegunungan…. Benar juga. Killian teringat kalau Rietta pernah tinggal di gunung saat masih kanak-kanak.
“Bagaimana dia merayakan ulang tahunmu?”
Rietta menatap Killian, kemudian menanggapi dengan pertanyaan lain. “Tidakkah Anda merasa kurang nyaman ketika mendengar tentang dia?”
Killian menatap Rietta dengan tenang. “Aku suka mendengar cerita tentang dia. Dari cerita-ceritamu, aku tahu kalau dia orang yang baik.”
“.…”
Killian mengisi gelas kosongnya seraya meneruskan, “Aku tak keberatan kalau Jade adalah pria yang baik dan bahwa kau sering memikirkan tentang dia. Aku juga tak keberatan kalau kau ingin mengenang dia untuk waktu yang lama.”
“.…”
“Kalau dia bukan orang yang baik, kau akan sudah lebih menderita lagi. Aku cukup lega karena kau merasa gembira saat teringat padanya.”
Rietta menghembuskan napas singkat. Dia menundukkan kepalanya dan menatap ke sudut ruangan. “Anda adalah orang yang aneh,” ujarnya.
Killian memejamkan matanya, membukanya, dan mengutak-atik gelasnya. “Apa aku bersikap tidak sensitif? Kau tak perlu bercerita padaku kalau kau tak mau melakukannya.”
“Saya tak keberatan bercerita pada Anda.” Rietta tersenyum. “Tetapi saya merasa seperti sudah terlalu banyak bicara. Anda tak terlalu sering bicara tentang diri Anda.”
“Itu karena aku ingin mengetahui banyak hal tentangmu,” Killian menjawab. “Kau tak terlalu tertarik padaku, kan?”
“Apa yang Anda bicarakan?” Komentar yang tak disangka-sangka itu mengejutkan Rietta.
“Akulah orang yang mati-matian ingin melihatmu setiap saat,” Killian menceplos.
“Mati-matian….” Rietta menggumam termangu. “Itu kata-kata yang kuat.”
Killian mengerutkan alisnya. “Kau benar-benar tak tahu bagaimana perasaanku, kan?”
Rietta merona seraya menguburkan wajahnya di antara lutut. “Anda juga tak tahu…,” bisiknya.
“Ya?” Killian, yang tak bisa mendengarnya, meminta Rietta untuk mengulang.
Rietta mengoceh, “Kalau begitu ceritakan tentang diri Anda, supaya adil. Saya juga ingin tahu lebih banyak tentang Anda.”
Killian tertawa setelah terdiam sejenak. “Aku tak terlalu banyak bicara,” dia berkata. “Kau ajukan pertanyaan saja. Aku akan senang menjawabnya.”
“Pertanyaan?”
Killian mengangkat bahu. “Ya. Apa saja.”
Rietta memindai seisi kamar untuk berpikir. “Saya… memang punya satu pertanyaan.”
“Tentu saja.”
“Anda tak perlu menjawabnya jika Anda merasa kurang nyaman.”
“Baiklah….” Killian mulai gugup. Apa yang ingin dia tanyakan padaku? Mungkin aku tak seharusnya bilang kalau dia bisa bertanya ‘apa saja’. Kuharap dia tidak tanya tentang mantan-mantan kekasihku untuk membuat semuanya menjadi ‘adil’.
“Kenapa….” Rietta menelan ludah dengan gugup.
Killian juga mulai gugup dan memusatkan perhatian pada bibir Rietta.
“Kenapa Anda tidak memberitahu saya tentang hari itu?”
Butuh waktu beberapa detik bagi Killian untuk memahami apa yang Rietta maksudkan – insiden pada hari ulang tahun kedelapan belasnya. Ditatapnya Rietta.
Rietta menambahkan dengan was-was, “Padahal Anda bisa saja memberitahu orang-orang tentang apa yang telah mereka lakukan dan berusaha mempertahankan lebih banyak dari apa yang Anda miliki.”
Killian tersenyum lemah. Dia mengosongkan isi gelas di tangannya dan berkata, “Apa kau sudah merasa penasaran sejak di Lembah Naga?”
Bisa dimengerti; semua orang memiliki pertanyaan yang sama. Dia tak punya alasan khusus di balik sikap diam itu.
Killian mengutak-atik gelas kosongnya. Semua yang mereka lakukan adalah membantai sesosok mayat hidup, roh jahat. Tubuh yang sudah mati itu hanya menyisakan bukti bahwa orang itu telah menjadi mayat hidup. Tak ada apa pun di dalam tubuh itu yang mengindikasikan bahwa sosok itu telah meneriakkan nama Killian dalam upaya untuk melindungi dirinya.
Rietta menurunkan tatapannya. “Saya tidak suka karena hanya Anda yang menjadi penjahatnya,” dia menggumam. “Anda adalah orang yang begitu baik.”
Killian nyaris tersedak minuman yang telah ditelannya sesaat yang lalu. Aku? Orang baik?
Dengan hati-hati Rietta menghadap ke arah Killian. “Anda tidak harus kehilangan apa yang Anda miliki….”
Killian tertawa lembut dan tersenyum. “Yang pada akhirnya menjadi hal yang baik,” dia berkata. “Kalau tidak begitu, aku tidak akan bertemu denganmu.”
“Anda tak tahu itu ketika Anda membuat pilihan tersebut.”
Killian terkekeh. Kenapa dia tak mengatakan apa-apa – pertanyaan itu telah ditanyakan kepadanya selama tiga belas atau empat belas tahun terakhir ini. Namun ini adalah kali pertama dia tak merasa lelah atas hal tersebut.
Rietta menatapnya tanpa bersuara. Untuk pertama kalinya, perlahan Killian mulai mengungkapkan cerita panjangnya seakan sedang merenungkan dirinya sendiri.
“Apa perbedaan yang akan dihasilkannya? Tak ada apa pun yang akan berubah jika aku memberitahu orang-orang,” lanjutnya seraya memandangi gelasnya. ”Aku cuma tak mau bertengkar. Aku tidak mati-matian berjuang untuk tetap hidup. Aku juga ingin meninggalkan istana.”
“Walaupun insiden itu adalah titik baliknya, sejak sebelum-sebelumnya aku juga sudah lelah pada semuanya – istana, Kaisar, saudara-saudaraku, bahkan bayangan ibundaku yang tak pernah bisa kulupakan.
Aku muak dan lelah pada istana Kekaisaran yang penuh dengan orang-orang yang telah kubunuh, anggota-anggota keluarga dari orang-orang yang telah kubunuh, dan orang-orang yang takut padaku karena telah menjadi pembunuh.
Aku memilih untuk tidak membawa William dan Salerion pada keadilan karena… apa gunanya menuduh orang-orang yang telah kueksekusi dengan tanganku sendiri? Aku hanya ingin mengakhiri semua urusan dengan mereka memakai tanganku sendiri.
Tidak ada lainnya lagi yang penting. Aku tak butuh siapa pun untuk membenarkan aku ataupun setuju denganku. Toh tak ada gunanya jika sembarang orang membela apa yang telah kulakukan ataupun membenarkan kematian mereka.
Sudah jelas bahwa semua yang kutinggalkan adalah drama keluarga murahan. Aku menginginkan penyelesaian lewat kematian, dan aku ingin melepaskan ibundaku. Supaya tak ada orang lain yang bisa menyentuhnya.”
Tentu saja, saat-saat terakhir Ratu Ariadne hanya menghasilkan misteri yang semakin besar seiring dengan Killian yang kemudian mempelajari lebih banyak tentang mayat hidup. Akan tetapi, dia senang telah menyembunyikan urusan itu. Memberitahu dunia tentang hal tersebut kemungkinan besar akan membuat dirinya tampak seperti pembohong.
“Beberapa kali aku sudah mempertanyakan apakah aku akan membuat pilihan yang berbeda jika aku kembali ke saat itu.” Killian menaikkan tatapannya dan memaksakan seulas senyum pada Rietta. “Tapi kupikir aku akan jadi orang yang sama.”
Kemudian dia berkelakar pada Rietta. “Apa kau akan lebih memilih seorang putra mahkota? Seorang putra mahkota lebih baik daripada duke agung, dan Ibu Kota akan menjadi tempat tinggal yang lebih baik daripada Axias. Haruskah aku meminta kembali gelar itu?”
Rietta tertawa. “Tidak, saya tidak butuh itu. Yang Mulia Duke Agung sudah cukup jauh dari jangkauan saya, dan saya menyukai Axias.”
Killian tersenyum. “Aku setuju.” Dia menatap langit malam di luar jendela. Rembulan tampak dingin, menahan hembusan angin membekukan di tengah malam.
Killian menyadari kalau malam sudah larut. Mungkin karena dia sudah tinggal bersama Rietta lebih lama daripada biasanya, dia jadi tak yakin apakah dia bisa sampai hati meninggalkan Rietta seorang diri. Haruskah aku minta dia tidur di atas?
“Kau boleh tidur di ruang pakaian,” Killian memberitahu Rietta.
Rietta menatap penasaran padanya.
“Kau bisa bawa apa pun yang kau suka ke sana,” Killian menambahkan. “KIta takkan perlu lagi membawa orang ke dalam ruang pakaian, jadi tak usah mencemaskan tentang apa yang akan dipikirkan oleh orang lain.”
Oh. Barulah kemudian Rietta menyadari kalau yang Killian bicarakan adalah plakat memorial dan altar. Dengan kikuk Rietta meraba tengkuknya, merasa berterima kasih atas perhatian Killian.
“Tak apa-apa,” dia berkata. “Itu bukan satu-satunya alasan kenapa saya memakai kamar di bawah.”
“Kamar ini agak dingin, bukankah begitu? Kau cuma punya satu perapian kecil.”
“Kamar ini cepat menghangat berkat ukurannya yang kecil.”
“Tetapi juga cepat dingin ketika apinya padam. Tidak ideal jika sebuah kamar menghangat dan mendingin secepat ini.”
“Tetapi malamnya panjang, dan ruang pakaian ukurannya sangat besar sampai-sampai tidak efisien jika dipakai dalam waktu lama.”
“Apa maksudmu?”
“Pikirkanlah tentang berapa banyak kayu bakar yang akan dibutuhkan hanya untuk membuat satu orang tetap hangat sepanjang malam.”
Jadi kau mencemaskan soal efisiensi kayu bakar? Killian cemberut. “Kalau itu yang kau cemaskan, ayo naik,” dia berkata seraya berdiri. “Aku tak keberatan kau memakai habis semua kayu bakar di gudang. Bawa saja plakat-plakatnya. Aku yang akan membawa altarnya kalau kau tak punya barang lain yang harus dibawa.”
Rietta menatap lurus pada pria itu. “Killian.”
“Ya?”
“Killian.”
“Ada apa?”
Rietta tersenyum kepada Killian. Kita telah berjanji untuk tidak menyimpan rahasia. Kau bilang kita bisa bicara tentang apa saja, kapan saja.
“Begini, Killian….”
“Ya?”
Selama ini aku sudah ingin mengatakan sesuatu padamu. “Kalau aku sampai….”
“Kalau kau sampai….”
“Kalau aku sampai menjadi musuh dari keluargamu…..
“.…”
Bahkan jika kau mengetahui semuanya tentang aku, apa kau masih akan mempertahankanku di sisimu seperti sekarang?
Rietta tersenyum dan memeluk pria itu, yang membuat Killian sedikit terdorong mundur. Tumit pria itu menyentuh sisi ranjang.
Killian menopang punggung Rietta seraya memperingatkan wanita itu. “Berhati-hatilah. Di belakang kita ada ranjang.”
Rietta memejamkan matanya dan berbisik. “Aku sangat menyukaimu.”
“Apa?!” Killian kebingungan.
Rietta terkikik seraya mengulang, “Aku menyukaimu.”
“Tunggu.” Pernyataan mengagetkan itu membuat Killian tidak waspada. Dia memegangi bahu Rietta dan berusaha mendorong wanita itu menjauh dari dirinya. ”Tunggu. Kau tidak sedang berusaha mengatakan itu padaku, kan?”
Rietta terbahak dan mengalungkan lengannya pada leher Killian. Apa itu masalah? Dia berkata lagi, “Aku sangat menyukaimu.”
Tak pernah Killian melihat Rietta bicara dengan begitu terang-terangan dan penuh hasrat. Pengalaman yang intens itu benar-benar mengejutkan dan tidak disangka-sangka.
“Rietta, tunggu sebentar.” Killian berusaha mendorong Rietta menjauh.
Pada saat itulah Rietta menjatuhkan bomnya. “Peluk aku, Killian.”
“Eh…?”
“Kumohon.” Rietta memeluknya, tersenyum, seraya berjinjit untuk menggelayut padanya.
Killian belum pulih dari serangan kejutan itu. Wajahnya memerah. Dia minta dipeluk. Aku akan salah kalau membayangkan hal-hal lainnya, kan? Dia mengusap wajah meronanya dengan telapak tangannya yang kering. Astaga.
“Apa kau sadar… betapa berbahayanya pilihan kata-katamu itu?” Killian berkata seraya dengan ragu menempatkan tangannya pada punggung Rietta, seakan takut akan menyebabkan kecelakaan.
Rietta mengulas senyum murni, kemudian mengulang kata-kata yang membuat Killian tak bisa lari darinya: “Aku menyukaimu.”
Killian tak bisa bernapas. Wajahnya tak bisa lebih merah lagi. Mau tak mau dia mengacak rambutnya sendiri dan berseru, “Astaga! Kau membuatku gila. Ka-kau tak boleh mengucapkan hal semacam itu saat mabuk-”
Rietta tidak menerima penolakan sebagai jawabannya dan malah menguburkan dirinya ke dalam pelukan Killian. “Aku sangat, sangat menyukaimu.”
Ujung-ujung jemari Killian yang menyentuh punggung Rietta tersentak. Aroma Rietta, bercampur dengan bau alkohol di udara, menerpanya sebagai suatu sensasi yang luar biasa kuat. Kedua tangannya yang memeluk tubuh Rietta berupaya menyingkirkan sensasi itu hingga dia berhasil menghentikan dirinya sendiri.
“…!”
Sial. Lupakan soal minuman memorial. Tak seharusnya aku membiarkan Rietta minum.
“Ka-kau mabuk, Rietta. Tolong. Beri aku waktu sebentar.” Dengan kikuk Killian berusaha mendorong Rietta menjauh namun berakhir kebingungan harus bagaimana.
Rietta tersenyum, wajahnya terkubur di dada Killian. Orang yang baik – itulah dirimu, batinnya. Kau tidak akan meninggalkan aku bahkan jika kau tahu semuanya. Tetapi kau tidak akan bahagia dengan polosnya ketika menatapku.
Sebagian dari dirinya ingin memberitahu Killian seluruh kebenarannya demi kedamaian pikiran. Namun kata-kata Killian sebelumnya telah memberinya jawaban: “Apa perbedaan yang akan dihasilkannya? Tak ada apa pun yang akan berubah.”
Rietta tahu kalau situasinya unik. Meskipun ada hubungan bertakdir buruk di luar kendali mereka yang terjadi sebelumnya, Rietta dan Killian telah menuliskan kisah yang berbeda sebelum mengetahuinya. Kini mereka berdua memiliki hubungan yang didasarkan pada kepercayaan, kepedulain, dan sesuatu yang lebih mendalam.
Akan tetapi, tidak semua hal sudah berakhir. Pasangan itu tidak akan sebahagia ini begitu Killian mengetahui semuanya. Kalau begitu, mungkin…. Aku harus menyimpan sendiri hal ini. Tak ada seorang pun yang akan tahu asalkan aku tetap diam.
Rietta memeluk Killian seerat mungkin.
Killian hampir tak bisa lolos dari tes kesabaran lainnya. Memperoleh kembali ketenangannya setelah bersusah-payah, dia menepuk-nepuk punggung Rietta dan mengeluarkan desahan panjang. “Ada apa, Rietta…? Apakah ini adalah hadiah ulang tahun yang terlambat?”
Rietta berjinjit dan memberi ciuman pada bibir Killian seraya tersenyum.
Killian dibuat tak mampu berkata-kata. Dia tak tahu harus bagaimana namun akhirnya berbalik dan menutupi wajahnya dengan tangan. Seakan sudah melupakan sesuatu, dia langsung menundukkan kepalanya dan memberi kecupan cepat ke bibir Rietta.
Rietta mengulas senyum memikat. Aku tahu kalau aku telah membuatmu gembira. Aku tak mau menjauhkan diriku darimu. Aku tak mau menghancurkan hatimu, dan aku… aku sendiri juga ingin bahagia, aku tak mau menghancurkan kebahagiaan ini. Kebahagiaan ini mungkin memang didasari oleh kebohongan, tapi meski begitu….
Rietta memejamkan matanya. Aku juga ingin bahagia.
Dia teringat pada kata-kata peresmian sang pendeta tinggi di hari pernikahan teman-temannya: “Jika ada yang keberatan atas pernikahan ini,bicaralah sekarang atau diam selamanya.”
Rietta memejamkan matanya. Dia akan diam selamanya.