Like Wind on A Dry Branch - Chapter 150
Di dalam kamar tidur kecilnya, Rietta menyalakan lilin di depan plakat memorial untuk mengadakan upacara sederhana. Satu lidah api suci kecil meninggalkan sisa seperti ekor putih ketika terbakar. Rietta melantunkan doa memorial sebelum Killian meletakkan Karas putihnya. Mereka berdoa, diberkati, dan melewatkan waktu dalam kesunyian untuk mengenang yang telah pergi.
Rietta duduk dengan nyaman seraya memandangi plakat itu. Dia menangkup kedua tangannya di atas rok dan perlahan mengerjapkan matanya yang merah.
Jade. Nama itu, terkubur dalam hatinya yang hampa, cukup untuk kembali mengisi mata sembabnya dengan air mata. Bisikan-bisikan tenang, tersimpan jauh di dalam sudut hatinya, mengalir bagai sungai ketika dia mendengar, “Tak apa-apa.”
Jade, aku mencintaimu. Aku masih mencintaimu, tetapi aku sudah siap untuk kembali berdiri. Aku takkan lupa kalau aku mencintaimu, bahwa aku pernah melewatkan hidupku bersamamu.
Ketika dia memejamkan mata, Jade tersenyum dalam kegelapan seakan kemarin mereka telah bertemu.
Sebuah suara nan lembut berbisik ke dalam hatinya. Tadinya aku bertanya-tanya berapa lama kau akan berduka. Lanjutkanlah hidupmu.
Rietta tersenyum sedih dan terisak. Maafkan aku.
Jade tersenyum. Jangan minta maaf.
Aliran air mata panas merebak di matanya yang terpejam.
Terima kasih karena ada untukku. Kau telah membuatku bahagia. Aku mencintaimu dari dasar hatiku.
****
Killian meletakkan bunga-bunga yang dibawanya ke depan plakat Jade dan sejenak berdiri dalam kebisuan. Dalam hati dia berkata, Semua yang kuketahui tentangmu adalah bahwa Rietta mencintaimu. Kalau diperbolehkan, semoga kau beristirahat dengan tenang. Terima kasih karena ada untuknya. Mulai saat ini, aku yang akan ada di sini untuknya.
Dia hanya mengucapkan bagian yang terakhir dengan lantang: “Beristirahatlah dengan tenang.”
****
Setelah upacara sederhana namun tulus itu usai, Rietta mempersilakan Killian duduk di belakang meja teh dan menyajikan minuman memorial yang dihiasi sehelai kelopak bunga putih.
Killian menatap altar dengan dua plakat dan sebuah sapu tangan kecil. Pada leher Rietta tergantung benda milik putrinya, dan sapu tangan itu adalah milik Anna. Killian tidak melihat yang lainnya.
“.…”
Killian bertanya, “Apa kau ada membawa barang-barang milik suamimu?” dengan mata terpancang pada altar.
Rietta menatap ke arah yang ditatap Killian. Melihat ke arah yang sama, dia memberi tanggapan yang sedikit tertunda. “Ya.”
Killian teringat betapa kosongnya pikiran Rietta ketika dia pertama kali membawa wanita itu dari Sevitas. “Kau mau aku menyuruh orang mengambil barangnya dari Sevitas?”
Rietta menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Tidak. Tak sepadan dengan kerepotannya, dan… pasti tidak banyak yang tersisa di rumah itu.”
Killian menatapnya seakan hendak bertanya, “Kenapa bisa begitu?”
Rietta tersenyum malu ketika dia meneruskan. “Dia meninggal karena wabah. Mereka mengambil dan membakar semua barang miliknya.”
“.…”
Sorot mata Killian berpindah dari Rietta menuju gelas. Pantulan cahaya lilin yang samar berkelip-kelip di permukaannya.
“Sebenarnya, saya memang telah menyimpan beberapa benda….” Rietta mengaku setelah sesaat menatap gelas yang sama. Jemarinya bergerak gelisah dan dia mengerjap cepat. “Saya telah membakar semuanya, ketika putri saya jatuh sakit.”
Killian memecahkan kebisuannya ketika Rietta menyebutkan tentang putrinya. “Putrimu sakit? Bagaimana keadaannya?”
“Oh, itu cuma….” Dia meragu sebelum menambahkan, “Dia memakan sesuatu yang sudah membusuk.”
Dia menutup mulutnya dan kemudian terkekeh seakan hendak menertawakan tanggapannya sendiri. “Itu salah saya. Dia ada di rumah… dan saya tidak mengurus rumah dengan baik….” Rietta menekan tengkuknya. “Itu adalah panggilan untuk menyadarkan saya, pengingat bahwa saya adalah satu-satunya orang yang bisa menjaganya. Hal itu telah memperingatkan saya agar lebih awas.”
Seraya menghela napas singkat, Rietta menurunkan bahunya dan tersenyum samar. “Saya takut kalau aku sudah jadi begitu abai sampai membiarkan rumah dalam kondisi seperti itu. Setelahnya saya menyingkirkan setiap barang yang tersisa dengan tangan saya sendiri.”
“.…”
Dia menyesal telah melakukannya. Padahal aku bisa saja menyimpannya di suatu sudut.
“Waktu itu saya tak tahu kalau kemudian saya akan menyesalinya,” dia menambahkan. Rietta menutup mulutnya dan menatap hampa ke arah lilin. Matanya yang berkedip telah memerah.
Killian menatap Rietta. “Bagaimana dengan tetangga-tetanggamu? Apa ada yang membantu?”
“Semua karena wabah,” Rietta menjawab seraya tersenyum. Tanggapannya mengisyaratkan bahwa tak ada seorang pun yang datang menemuinya dan rumahnya. “Tidak apa-apa.” Dia tersenyum lagi.
Killian terdiam.
“Saya telah membawanya, berpikir bahwa Rietta berhak memiliki benda ini. Tetapi tadinya saya menyerah karena saya takut Anda mungkin tidak memperbolehkannya.”
“Jika Anda tidak keberatan… bisakah Anda menyerahkannya kepada Rietta?”
Killian telah melihat benda itu. Sebuah alat musik, kemungkinan besar merupakan benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang memiliki bakat musik dan kesenian.
Killian sudah menghubungi para pendeta, penyihir, ahli farmasi, serikat pencuri, serikat prajurit bayaran, serta tempat-tempat perajin untuk menjalankan pemeriksaan sihir, kimia, serta fisik untuk memastikan bahwa alat musik itu sama sekali tidak berbahaya ataupun tidak lazim. Ternyata alat musik itu benar-benar aman dan biasa.
Dia telah bertekad untuk mengembalikan biola itu kepada Rietta asalkan benda itu aman. Akan tetapi, dia tidak yakin apakah dia harus menyerahkannya sendiri atau membiarkan Ferdian yang melakukannya.
Killian tidak menyukai Ferdian apalagi memercayainya. Akan tetapi, dia ragu bahwa terus menjauhkan Ferdian dari Rietta tanpa sepengetahuan Rietta adalah hal yang benar. Hal ini lebih benar lagi karena Killian adalah pasangan Rietta, bukan walinya.
Rietta pernah berkata bahwa dahulu Ferdian adalah temannya dan Jade. Killian menyukai pria itu atau tidak, Ferdian adalah satu-satunya orang yang dengannya Rietta bisa mengenang Jade. Kalau begitu, tugasku adalah menghormati keinginan Rietta.
“.…”
Mendengarkan cerita Rietta, Killian merasa hatinya condong ke satu arah.
Akhirnya dia bicara. “Kalau kau tak keberatan, Rietta.” Dia mendongak untuk menatap Rietta. “Apa kau mau bertemu dengan Ferdian Sevitas?”
Rietta menatap Killian dengan mata merahnya. “Apa?”
****
Ferdian menunggu Duke Agung Axias di ruang tamu yang dilengkapi oleh meja persegi panjang. Dia sudah menyerahkan biola itu pada sang duke agung beberapa hari yang lalu namun tanpa konfirmasi bahwa Rietta akan menerimanya. Tidak ada apa pun yang bisa Ferdian perbuat. Benda itu sudah meninggalkan tangannya, dan sisanya terserah pada sang duke agung.
Beberapa hari setelah berpamitan dengan harapan kian rendah, dia duduk di dalam ruang tamu sesuai perintah sang duke agung. Biola itu ada di sana. Apakah permintaanku sudah ditolak? Ferdian menerima keputusan sangkaannya itu dengan sikap tenang.
Dia bertanya kepada kesatria yang menjaga ruangan apakah sang duke agung ingin dia mengambilnya kembali. Si kesatria menggelengkan kepala, hanya menyuruhnya untuk menunggu di sini.
Jadi, Ferdian menunggu. Padahal Beliau bisa saja membuangnya tanpa perlu bilang apa-apa. Fakta bahwa dirinya dipanggil untuk mengambilnya kembali merupakan bukti bahwa sang duke agung Axias sebenarnya orang yang baik. Sorot mata Ferdian semakin mendalam. Beliau baik kepada Rietta, bukan padaku.
Pintu berderit terbuka tanpa pemberitahuan. Para pesatria memberi hormat dan membukakan pintu untuk dua orang yang berjalan memasuki ruangan.
Ferdian tak menyangka akan bertemu Rietta. Dia membeku di tempat sebelum berdiri tegak ketika melihat wanita itu mengikuti Killian masuk.
Killian menarikkan kursi di bagian kepala meja untuk Rietta. Dia berkata pada wanita itu, “Nikmati pertemuan kalian,” seraya tangannya membelai lembut pipi Rietta.
Refleks Rietta memejamkan mata untuk merasakan sentuhan Killian, lalu kembali membuka matanya.
Killian berjalan melintasi ruangan untuk pergi lewat sisi yang lain. Berjalan melewati Ferdian yang duduk di posisi terendah, dia meletakkan tangannya pada bahu Ferdian. “Jangan menikmati pertemuannya. Aku akan membiarkanmu lolos dengan bersikap lancang padaku, tapi tidak padanya.”
“.…”
Killian memberinya tepukan berat di bahu sebelum pergi.
Rietta menatap Killian yang meninggalkan ruangan, kemudian menghadap ke arah Ferdian. Dia tampak tenang dengan mata biru langitnya. Ingatan terakhirnya tentang pria ini di Sevitas berlintasan dalam benaknya.
****
“Tuan Ferdian! Tuan Ferdian! Tunggu! Bagaimana dengan anak saya-!”
Tangan Ferdian yang terasa dingin menampik tangannya yang mencengkeram lengan baju pria itu. Sebuah wajah dingin yang terasa asing menunduk menatapnya.
“Berani-beraninya kau. Tadi kau baru saja mengutuki ayahku. Bagaimanapun juga, kurasa kau peduli dengan putrimu sendiri.”
Barulah pada saat itu Rietta menyadari bahwa Ferdian adalah putra Cassarius.
Yang pria itu katakan berikutnya membuatnya membeku: “Kau seharusnya senang karena yang dijual adalah putrimu, bukan dirimu.”
Bagaimana bisa kau mengatakan itu….
Kemudian, anak itu kembali dalam keadaan tak bernyawa.
****
“.…”
Rietta mengerjapkan cepat matanya yang bergetar. Berbagai perasaan panas, dingin, tajam, dan hampa membuncah dalam hatinya.
“Aku bukan jin milikmu yang terus-terusan mengabulkan keinginanmu secara cuma-cuma.”
Benar. Kata-katanya masuk akal. Aku sungguh bodoh dan tak tahu malu karena menganggap dia sebagai temanku.
Putra dari Cassarius – dia pernah berpikir untuk menemui pria itu. Namun tidaklah mudah untuk berkata ya ketika Killian menawarkan kesempatan itu.
Akan tetapi, meski ada kejadian pada waktu itu yang dia tak sanggup ungkapkan kepada Killian, meski ada kebencian karena menerima penolakan pada saat-saat paling penuh keputusasaan, dia menghargai Ferdian. Pria itu telah melindungi dirinya dan Jade lewat pengorbanan yang tak terhitung banyaknya tanpa membuat hal tersebut diketahui. Ferdian adalah satu-satunya teman yang tidak takut menangisi jenazah Jade yang terinfeksi wabah. Beberapa patah kata yang telah menghancurkan hatinya bisa membuatnya membenci Ferdian, tetapi dia tak bisa mengabaikan bantuan selama sekitar lima belas tahun yang sebenarnya tak pantas diterimanya.
Yang terpenting, makam Jade ada di wilayah kekuasaan Ferdian. Mengesampingkan semuanya, dia memang harus bicara pada Ferdian untuk alasan ini.
Rietta menarik napas dalam-dalam. Dia merasa takut, benci, dan sakit hati. Dia tak mau menghadapi Ferdian. Akan tetapi, dia tahu bahwa Killian sedang menunggu dirinya di suatu tempat di dekat situ. Di sini adalah Axias, dan dia punya Killian. Hari ini Rietta bisa menghadapi Ferdian dengan tenang, tidak seperti pada kali terakhir ketika dia bertemu pria itu tanpa disangka-sangka di rumahnya di dalam dinding kastel.
“Halo, Count Calligo.” Rietta merundukkan tatapannya dan menyapa teman lamanya yang telah menerima gelar baru.
Walaupun tak bisa berpura-pura seolah tak terjadi apa-apa, Rietta mengingat persahabatan selama puluhan tahun dan bantuan pria itu dengan pemakaman Jade. Dan hari ini adalah peringatan setahun kematian Jade. Kalau bukan hari ini, dia takkan punya keberanian untuk menemui pria itu.
Ferdian menanggapi salam tanpa emosi itu. Dia meletakkan tangannya di depan dada kiri dan menundukkan kepalanya. “Halo, Nona Rietta. Tolong… panggil saya Ferdian.”
Rietta menatapnya dengan wajah datar. Kesunyian hampa menyelimuti mereka, tanpa ada pujian sopan santun dan basa-basi. Persahabatan selama bertahun-tahun telah digantikan oleh kesan jauh yang mencolok.
“.…”
Rietta tidak lupa mengucapkan terima kasih pada Ferdian karena telah memindahkan makam Jade dari Sevitas yang telah mengalami insiden kemunculan mayat hidup.
Killian pasti telah mengizinkan pertemuan mereka karena mengetahui bahwa dia dan Ferdian harus mendiskusikan tentang makam Jade. Akan tetapi, Rietta tak bisa membuat dirinya bicara tentang hal tersebut.
Rietta belum dapat kesempatan untuk mengetahui bahwa Ferdian ingin menyerahkan barang kepunyaan Jade. Ferdian juga menyadari hal ini. Dia menatap seksama pada Rietta sebelum memiringkan kepalanya ke bawah, membuka kotak di sebelahnya, dan mengeluarkan barang tersebut. Sebuah biola yang familier ada di tangan Ferdian.
Mata Rietta melebar. Biola ini adalah milik mendiang suaminya, walaupun dia sudah lupa soal benda itu. Dahulu Jade akan memainkan alat musik itu di biara.
Ferdian menyadari kalau Rietta mengenali benda tersebut. Dia meragu sebelum meletakkan biola itu kembali ke dalam kotak dan mendorongnya lebih dekat ke arah Rietta. “Aku ingin memberikan ini padamu.”
Ferdian memutuskan untuk tidak bicara lebih banyak lagi. Dia menutup mulutnya dan kembali menundukkan kepala.
Rietta duduk diam termangu, menatap biola itu.
Sementara itu, Killian menunggunya di luar.
****
Beberapa menit kemudian, Ferdian meninggalkan ruangan itu terlebih dahulu. Dia menghampiri Killian, meletakkan tangannya di depan dada, dan membungkuk. “Terima kasih.”
Dia tetap pada posisi itu selama beberapa saat. Bungkukan itu berlangsung lebih lama dari salam biasanya.
****
Killian berjalan masuk untuk mendapati Rietta sedang memeluk biola tersebut. Wanita itu tersenyum dengan mata berkaca-kaca.
Killian mengulurkan kedua tangannya yang dingin ke arah mata merah Rietta.
Matanya ditutupi oleh tangan Killian, Rietta merona dan terisak. “Saya merasa jauh lebih baik,” gumamnya seraya tersenyum.
Killian menangkupkan kedua tangannya pada pipi Rietta dan menepuk-nepuk kepalanya. “Jangan menangis sekaligus tertawa. Lihatlah dirimu saat ini.”
Rietta tertawa seraya membenamkan kepalanya ke dada Killian. “Apa tampang saya lucu?”
“Hidungmu merah.”
“Haha…. Saya pasti kelihatan jelek.”
“Apa kau pernah melihat dirimu sendiri di dalam cermin? Bagaimana mungkin kau bisa kelihatan jelek?”
Rietta terkikik dan berbisik, “Saya rasa Anda sudah kehilangan akal sehat.”
Killian mengernyitkan alisnya. “Omong kosong. Aku cukup obyektif dalam hal ini.”
****
Ferdian menghembuskan napas dalam-dalam seraya bersandar ke dinding. Dia memejamkan matanya lalu membukanya kembali. Aku sangat salah. Pria yang kejam dan impulsif itu….
Sebelumnya dia berpikir kalau Rietta takkan bisa mengandalkan sang tiran yang sama sekali tak punya kemiripan dengan Jade.
Gambaran-gambaran Rietta saling tumpang tindih dalam benaknya – sorot mata dingin Rietta; mata bergetarnya yang menatap antara dirinya dan biola itu; air mata panas yang mengalir tak tertahankan yang mengerdilkan kebencian Rietta kepadanya; dan Rietta yang bersandar dengan penuh kepercayaan pada Killian dengan mata terpejam. Rietta memiliki Jade di masa lalu dan Duke Agung Axias di masa kini. Tak ada ruang yang tersisa untuknya.
Inilah akhirnya, Ferdian memberitahu dirinya sendiri. Duke Agung Axias adalah pria yang baik, dan Rietta tidak butuh bantuanku.
Pantulan dirinya di dalam cermin mengoloknya. Sudah kubilang kan, dasar bodoh. Padahal kau bisa mendengarkanku.
Praang! Ferdian melontarkan tinjuan ke dinding. Cermin itu pun pecah berkeping-keping.
Akan tetapi, suara di dalam kepalanya tidak berhenti. Bagaimana kalau dari sekarang kau mulai mendengarkan aku? Masih belum terlambat.
Kraak! Kraak! Kraak!
Ferdian menginjak-injak pecahan cermin itu berulang kali. Darah memercik ke segala arah, mendarat pada kulit putihnya, rambutnya, dan bajunya. Setetes darah yang mendarat di mata kirinya mengalir seperti air mata, meninggalkan jejak merah di pipinya.
Mata bergetar dingin, Ferdian berujar pada bayangannya di dalam cermin, “Aku sendiri yang akan mengeluarkanmu dari tubuhku.” Sebentuk asap hitam membubung keluar dari tangan berdarah Ferdian yang sembuh dengan sendirinya.
Iblis di dalam cermin yang pecah berkeping-keping tergelak. “Silakan saja. Kau kira kau bisa jadi manusia normal lagi kalau kau memaksaku keluar?”
Ditingkahi suara tawa yang menakutkan, kepalan tangan Ferdian terus menghantam kepingan pecahan kaca.