Legend of Concubine’s Daughter Minglan - Chapter 21
Pada hari pertama bersekolah, Molan, Rulan, dan Minglan berdandan bersama-sama. Mereka semua mengenakan jaket hijau berkerah bulat dan berlengan panjang, di bagian dada terdapat sulaman aprikot dan ranting-ranting bunga. Dipasangkan dengan jaket tersebut adalah rok panjang seputih awan, dan di leher mereka terdapat gembok kumala, kerah keemasan cemerlang yang terbuat dari garis-garis Ying Luo* serta sebuah kalung indah yang halus yang terbuat dari sutra emas.
(T/N: sejenis sutra khusus)
“Kerah emas ini tampak sangat bagus, pasti telah mengeluarkan banyak uang Nenek. Saat aku kembali, aku harus berterima kasih kepadanya dengan benar,” Molan berkata pada Minglan seraya tersenyum. Karena pelajarannya dimulai di pagi hari, Nyonya Besar Sheng menyuruh semua orang berangkat ke sekolah, demi menghindari hal yang tak diharapkan.
“Ini memang bagus, tetapi bobotnya tidak bileh diremehkan. Aku dulu pernah punya kerah emas, dan beratnya beberapa kilogram,” ujar Rulan tak peduli, sementara Changbai yang sedang membaca buku meliriknya dengan tidak senang.
“Beberapa kilogram?! Lalu bukankah akan mematahkan leher? Tak heran aku tak pernah melihatmu mengenakannya, dan aku mengira kalau kerah ini sangat berat.” Minglan menggosok lehernya dan bergumam.
“Adik Keenam, gembok kumala ini kualitas unggulan, sepertinya kumala iini berasal dari Gunung Kunlun di Barat.” Changfeng mengamati bandul kumala Minglan dengan seksama.
Molan sebenarnya telah memperhatikan bandul kumala itu lebih awal, jadi saat melihat bahwa kakaknya memulai topik percakapan, dia pun maju untuk melihat bandul kumala Minglan. Mulanya, Molan melihat bahwa gembok itu hanyalah kumala putih, dengan sentuhan kemerahan samar yang membentuk pola seperti phoenix*. Tektur kumalanya halus, elegan dan menyegarkan, bulat kristal dan murni serta tak bercacat. “Ini sungguh sebuah kumala yang bagus, aku tak pernah melihat kumala yang sebagus ini,” Molan berkomentar.
(T/N: tulisan aslinya adalah 皇妃 (Huang Fei) yang berarti Permaisuri atau lebih tepatnya selir Kaisar)
Molan merasa cemburu dalam hati, dan mulai berpikir kalau kumala Minglan lebih baik dari miliknya. Bila dia memasuki Aula Shou’an dengan kumalanya sendiri, dirinya akan ditertawakan, namun bila kumalanya Minglan…. Tetapi kumala itu bukan miliknya. Berpikir tentang Nyonya Besar yang menolak bila dia memintanya, mau tak mau dia jadi merasa frustrasi.
Rulan dari seberang ruangan, tak terlalu mengerti soal kumala. Dia telah memandangi kumala yang ada di depan dada Molan. Memikirkan tentang peringatan Wang-shi telah membuatnya bersabar, namun kini semua orang sedang membicarakan soal kumala, dia jadi tak tahan untuk berkata, “Adik Keenam, kau harus berhati-hati. Sekarang karena Kakak Keempat telah menyadari kumalamu, dia bisa mendatangi Ayah dan memintanya. Tak ada yang bisa bilang kalau kumala yang kau kenakan itu mungkin akan berakhir di kantongnya.”
Changbai mengernyit, lalu kembali membaca bukunya. Wajah Molan memerah dan dengan marah berkata, “Adik Kelima, apa maksud dari hal ini? Bagaimana mungkin aku dengan sengaja berusaha mengambil barang-barang saudariku?”
Rulan melihat sorot mata memperingatkan Changbai dan teringat soal sesi pemukulan. Dilembutkannya suara dan perlahan berkata, “Tidak ada? Aku hanya punya suatu pemikiran aneh saat aku melihat bandul kumala Kakak Keempat, harap tak usah dipedulikan.”
Minglan langsung maju untuk melihat bandul kumala di dada Molan, hanya untuk mendapati bahwa benda itu juga adalah kumala putih yang hangat dan halus, khususnya karena itu adalah kumala yang langka dan aneh, sebagian besar warnanya segelap tinta, berkilau dan indah. Pada pandangan pertama, tampak seperti lukisan memukau dari tinta yang mengalir di sisi pegunungan, mau tak mau diam-diam merasa terpesona. Molan berkata marah, “Kumala yang diberikan oleh Paman Wang ini tidak palsu, Ayah memberiku kumala ini karena sesuai dengan namaku. Tepat setelah memberiku kumala ini, Ayah juga menyuruh orang untuk mencari kumala hibiscus lain yang kualitasnya lebih tinggi lagi untukmu, jadi kenapa kau masih tak menyerah?”
(T/N: nama Molan adalah 墨兰, di mana Mo-nya berarti tinta)
Rulan tertawa dibuat-buat dan berkata, “Aku, sebagai adik tak tahu apakah sebuah kumala berkualitas tinggi atau tidak, semua yang kutahu adalah arti di belakangnya adalah bahwa itu adalah pemberian pamanku untukku.”
Molan tersenyum munafik: “Adik Kelima, jangan lupa, dia juga adalah pamanku!”
Rulan menggertakkan giginya dan memelototi Molan, namun tak berani menyebutkan apa-apa lagi soal status legal satu sama lain.
***
“Hari ini, sebagian besar siswa belajar untuk ujian negara. Semuanya ada di tangan para Dewa. ‘Aku ingin menjadi pejabat’, ini bukan sesuatu yang bisa kau katakan kepada orang lain tetapi setelah ujian, mereka yang tak punya impian besar dan mereka dengan kata-kata dangkal dan membosankan pada akhirnya pasti akan jatuh alih-alih memiliki karir yang bertahan lama! Pekerjaan rumah harus dikerjakan dengan segenap hati dan jiwamu, puisi dan literatur harus diingat di ujung jemarimu, dan belajar dari awal mula.”
Tuan Zhuang sangat jelas tentang target muridnya. Lebih jelas lagi pada tujuan belajar para murid, karenanya dia langsung memulai pelajaran pada hari pertama sekolah dengan sejarah pinggiran wilayah di sekitar yang ditemani oleh banyak ujian karena hampir semua muridnya pergi ke sana demi ujian negara, jadi dia juga memberi banyak contoh kasus keberhasilan dan kegagalan. Dia akan mengemukakan artikel-artikel dan memakainya sebagai contoh lalu menunjukkan yang mana contoh terbaik dan menunjukkan titik-titik lemah dari mereka yang telah gagal dalam ujian.
Tujuan yang jelas dan metode pengajaran yang jelas langsung membuat Minglan hormat dengan terkagum-kagum pada sang guru. Dia selalu merasa kalau beberapa orang Konfusianis kuno adalah orang munafik, mereka semua jelas-jelas mengincar ujian negara tapi terus saja berpura-pura seakan belajar adalah untuk melatih pendidikan moral. Namun Tuan Zhuang tak mengatakan banyak soal ini: Keinginan kuno unntuk menjadi bijak dan bajik di dunia; untuk memerintah sebuah negara, orang pertama-tama harus ingin memerintah sebuah negara; untuk memulai sebuah keluarga, orang pertama-tama harus ingin memulai keluarga, untuk melatih batin dan raga, orang pertama-tama harus ingin melatih batin dan raga; kau harus memiliki keinginannya…. Hanyalah saat kau memiliki keinginan kau baru bisa melatih tubuhmu, hanyalah saat kau melatih tubuhmu lalu kau bisa memulai keluarga, hanya saat kau memiliki keluarga lalu kau bisa memerintah sebuah negara, hanya saat kau bisa memerintah sebuah negara barulah akan ada kedamaian dunia.belajar bukan hanya membacakan beberapa artikel dan beberapa puisi, merupakan sebuah jalan panjang untuk melatih batin dan raga, untuk bisa memiliki pijakan yang panjang, kau harus belajar lewat dasar yang kokoh!”
Changbai dan Changfeng duduk di baris depan, mereka cukup tinggi untuk usia mereka, ini pasti karena keturunan Sheng Hong yang bagus. Namun Changdong, yang duduk di belakang masih tak bisa melihat dengan baik meski memiliki kelebihan ini. Kedua remaja itu tinggi dan gagah. Di baris kedua ada tiga orang gadis yang juga lembut dan terpelajar, setiap gerakan cukup terstandar, meski usia mereka masih muda. Dua dari mereka telah mulai samar-samar menampakkan fitur wajah yang cantik. Tuan Zhuang menatap sambil tersenyum, sambil membelai jenggotnya yang tipis dan tersebar, lagi dan lagi dia mengangguk, ah, pemandangan ini sangat baik untuk mata khususnya bagi pria tua ini. Karena dia sudah dianggap berbeda dari pria biasa; dia tak perlu berjauhan dari para murid wanita hanya untuk menghindar dari dicurigai.
Di sekolah pribadi ini, total terdapat enam murid dan seorang guru. Di luar sekolah ada para pelayan wanita dan laki-laki yang menunggu untuk menuangkan teh dan menambahkan kayu bakar. Di zaman kuno, kelas-kelas selalu memiliki rutinitas yang tak terelakkan ini – membaca puisi keras-keras seperti mabuk.
Tidak masalah apakah kau sudah menghapalnya secara menyeluruh; kau akan tetap harus menggerakkan kepalamu, mengantukkan kepalamu, sedikit memicing dan nada bicara dipanjang-panjangkan; ini bukan hanya untuk membuat membaca jadi menarik namun juga untuk membacakan esensi kaa-katanya. Molan merasa kalau tak terlihat bagus saat seorang gadis melakukannya dan selalu menolak untuk melakukannya; berkata bahwa dia akan jadi pusing setelah memutar kepala. Disamping itu karena Tuan Zhuang tak benar-benar peduli tentang mereka, Molan pun memutuskan bahwa hal itu sia-sia belaka.
Hanya Minglan yang merasa kalau ini bagus. Kegiatan menggerakkan kepala dalam pola memutar sebelum menunduk untuk membaca ini sebenarnya bagus untuk emnghindarkan keram dan kesemutan di leher serta rasa sakit di tulang belakang beberapa geakan dan leher serta bahu sudah terasa nyaman. Minglan akhirnya mengerti bagaimana para pelajar kuno yang menghabiskan seluruh waktu mereka untuk menunduk membaca buku tak mengalami cervical spondylosis*; membuat dia menggoyangkan kepala lebih keras seiring semakin keras dia belajar. Menyebabkan Tuan Zhuang menatapnya dua kali di pagi hari.
(T/N: juga dikenal sebagai cervical osteoarthritis atau arthritis leher; merupakan suatu kondisi umum yang berhubungan dengan usia yang mempengaruhi sendi dan ruas-ruas tulang di lehermu. Keadaan ini berkembang akibat kelelahan dan robeknya tulang rawan serta tulang pada tulang belakang leher.)
Tuan Zhuang memiliki aturan-aturan besar yang tak mengizinkan para pelayan untuk masuk, jadi menggiling tinta dan meratakan kertas harus dilakukan oleh mereka sendiri. Yang lainnya tak masalah, tetapi Changdong masih kecil, jadi sulit untuk menggiling batangan tinta yang kecil dan secara kebetulan dia duduk di belakang Minglan.
Minglan bisa mendengar di belakangnya kepanikan yang konstan serta suara tumbukan terus-menerus dan memutuskan untuk membantu. Selagi Tuan Zhuang tak memperhatikan, dia dengan cepat berbalik dan menukarkan perangkat tintanya dengan milik Changdong; perbuatan ini begitu rapi dan sempurna, saat Tuan Zhuang mengangkat kepalanya, Minglan telah duduk dan menggiling tintanya dengan mata serius dan terfokus.
Mata kecil Tuan Zhuang berkilat saat dia terus mengajar, Minglan merasa lega. Pada saat inilah, si bocah lelaki kecil mengeluarkan suara pelan, “… Terima kasih Kakak Keenam.”
Minglan tak melihat ke belakang namun hanya mengangguk, menunjukkan bahwa dia mendengarnya.
Berkat persahabatan baru itu, keesokan harinya saat Changdong mengunjungi Aula Shou’an, Changdong diam-diam menarik pinggiran baju Minglan dan kemudian memutar tubuh mungilnya lalu mengepalkan tinjunya untuk mengatakan terima kasih kemudian berbisik pelan selama setengah harian. Minglan menatap Changdong yang lebih pendek sekepala daripada dirinya yang membuatnya merasa sangat puas, lalu dengan sabar dia berkata, “Ada apa, Adik Ketujuh? Katakan saja kepadaku.”
Changdong meski sudah disemangati, masih terbata-bata untuk menjelaskan bahwa dirinya tidak penting dan hanya putra dari pelayan Wang-shi, bukannya dia buta huruf tetapi dia tak pernah tercerahkan hingga berusia lima tahun, mendengarkan kelas Tuan Zhuang seperti membaca kitab surgawi, sulit dan membuatnya merasa malu. “Kakak Pertama… pernah mengajariku beberapa kata sebelumnya tapi kemudian dia perlu menyiapkan untuk ujian dan aku tak mau mengganggu dia…. Kakak Keenam, aku….”
Dia tak terlalu banyak bertemu orang, itulah sebabnya dia jadi takut-takut dan tak bisa bicara dengan cepat.
Minglan berkata lembut, “Oh.” Dia-diam dia berpikir, membantu orang atau membantu dirinya sendiri, yang mana yang lebih baik. Dalam sekejap mata, dia menatap Changdong dengan raut aneh, seakan anak itu sedang menatap ke depan dan sarat dengan semangat sekaligus dengan hati-hati menyembunyikannya karena takut akan ditolak.
Minglan berbelas kasih. Pertama-tama dia melongok ke dalam dan melihat Nyonya Besar sedang bicara dengan Wang-shi dan memikirkan tentang seberapa lama waktu sebelum mereka harus pergi ke sekolah, kemudian dia membimbing Changdong ke sebuah lemari dengan ukiran pir di atasnya dan menemukan sebuah buku dengan titik-titik merah lalu memberikannya kepada Changdong. Ujarnya pelan, “Ini adalah yang diberikan oleh Nyonya Besar kepadaku untuk mempelajari kata-kata. Aku belum memakai ini dan ini masih baru; aku akan memberikan ini kepadamu untuk kau berlatih. Kau masih kecil, jadi jangan khawatir, belajar sepuluh kata dalam satu hari sudah sangat pintar. Kali berikutnya setiap hari sebelum sekolah, aku akan mengajarimu beberapa kata dan sementara kau mendengarkan pelajaran Tuan Zhuang kau harus menghapal kata-kata itu, ya?”
Wajah mungil Changdong mengembangkan seulas senyum lebar. Dia mati-matian mengangguk saat berulang-ulang menguapkan terima kasih kepada Minglan. Minglan menatap sorot penuh terima kasihnya, terpikirkan tentang keponakan kecilnya sendiri yang dibujuk oleh lima orang dewasa untuk pergi ke sekolah dan mendadak jadi merasa sangat sedih.
Hari itu, dia mengajari Changdong lima karakter dan menunjukkan goresan-goresan pena. Changdong menatap dengan mata terbelalak lebar, mengerahkan upaya untuk mengingat semuanya sekaligus dan kemudian menuliskannya di dalam buku merah saat pelajaran Tuan Zhuang. Setelah menulis, dia masih berlatih menulis di bagian belakang kertas beras hingga akhir kelas. Minglan melihat ke belakang dan mendapati bahwa kelima kata itu suda ditulis dengan benar.
“Changdong sangat pintar. Bila Ayah menemukan hal ini, Ayah pasti sangat senang.” Senyuman Minglan menyentuh hati Changdong yang lembut.
Wajah mungil Changdong sangat kegirangan sehingga merona dengan penuh kebahagiaan.
Minglan berpikir bahwa anak ini tak lama lagi takkan memiliki keinginan untuk belajar, namun dia tak tahu kalau Changdong akan datang mencarinya begitu awal seperti setengah jam sebelum waktunya bangun, hanya saja Minglan sangat suka tidur dan akan selalu bangun setelah semua orang sudah bangun. Kebiasaan bangunnya sangat buruk sehingga Danju nyaris harus memercikkan air ke wajahnya sebelum waktu bangun yang pantas hanya agar dia bisa bangun pada saat yang tepat dan kini dengan adanya Changdong, hal ini hanya jadi lebih buruk saja.
“Kakak Keenam, maaf, maaf, kau tidur nyenyak tapi aku datang pagi-pagi sekali, aku akan menunggumu di luar….” Changdong tahu kalau Minglan masih di ranjang, itulah sebabnya dia berdiri dengan sopan di tangga yang berada tepat di depan pintu dan setelah berulang-ulang mengatakan hal tersebut, tubuh mungil itu berbalik untuk lari namun ditangkap oleh Danju dan menyuruh Minglan, yang kini berdiri tetapi masih tak mau melepaskan selimutnya dengan Mama Cui d samping ranjang yang mengulas senyum lemah. Barulah saat itu Minglan akhirnya bangun.
Changdong yang berumur empat atau lima tahun, yang seharusnya acuh tak acuh dan tukang tidur, bangun sebelum matahari terbit hanya untuk belajar. Bila dia terlahir di keluarga modern, para senior mungkin akan begitu gembira hingga mereka akan menyalakan kembang api setiap malam untuk merayakan bahwa anak ini memiliki perilaku seperti itu terhadap pelajaran. Minglan tak sanggup membiarkan Changdong menunggu, jadi dia harus menanggung cobaan ini, dan bangun lebih awal setiap hari.
“Ingat, menulis dari kiri ke kanan, lalu dari atas ke bawah. Saat kau memulai sebuah goresan, pastikan untuk menarik kuasmu ke kanan dan kemudian ke kiri. Saat kau mengakhiri satu sapuan, pastikan untuk menarik perlahan ke atas, saat kau menekan kuasnya untuk menulis, pastikan untuk mengangkat pergelangan tanganmu pelan-pelan, dengan demikian kepala kuasmu akan tampak indah….” Minglan dan Changdong kecil duduk berdampingan di depan cerobong, dengan Minglan mendemonstrasikan goresan demi goresan. Mama Cui datang dari luar, membawa sebuah nampan teh kecil yang diukir bunga-bunga bercat hitam, di atasnya terdapat dua cangkir porselen putih dengan hiasan bunga-bunga penuh warna.
Terima kasih, Mama Cui. Aku sudah merepotkanmu, ini semua kesalahanku, membuatmu harus bekerja lebih banyak.” Wajah Changdong sedikit merona saat dia mengambil cangkir porselen yang diberikan Mama Cui kepadanya sambil mengucapkan terima kasih dengan lembut. Ketika dirinya berada di tempat Wang-shi, dia takkan berani berkeliaran; dia hanya bicara kepada Selir Xiang sepanjang hari tetapi juga masih tak banyak bicara. Setelah beberapa hari sejak Minglan mulai mengajarinya, bukan hanya pembelajarannya meningkat; dia juga akhirnya bisa bicara dengan santai.
“Oh Buddha, bocah kecilku, kenapa kau berkata seperti ini, semua ini adalah berkat kedatanganmu, kalau tidak aku akan harus bekerja jauh lebih keras hanya untuk membangunkan nona yang ini!” Mama Cui tertawa saat dia menegur MInglan, namun Minglan memilih untuk mengabaikan apa yang telah dia dengar dan hanya menundukkan kepalanya lalu meniup cangkir porselen di tangannya. Mama Cui menatap pada Changdong, “Tuan Muda Ketujuh, kau lebih baik minum teh; teh ini diseduh dari mahogani baru dan gula aren plum untuk dijadikan teh manis; melembabkan paru-paru dan menghangatkan lambung, ini adalah minuman terbaik di pagi hari. Ini juga bisa menjadi makanan pembuka untuk sarapan.”
Changdong memegangi cangkir itu dengan kedua tangannya dan menyesap tehnya, mulut kecilnya terselubung warna merah karena uapnya. Dia menggembungkan pipi putihnya dan mencicipi rasa manis teh dengan sepenuh hati dan dengan malu-malu berkata, “Rasanya benar-benar enak, terima kasih Mama…. Tetapi bila aku meminum ini setiap hari, maka bukankah akan berat bagi kantongmu. Mama tak usah melakukan ini untukku di amsa mendatang, aku tak perlu meminum ini…,” kata-katanya jadi semakin lirih dan lirih.
Mama Cui berkata, tertawa, “Tuan Muda Ketujuh benar-benar mencemaskan kami, mana mungkin sedikit teh ini akan berat bagi kami? Kalau kau datang setiap pagi, maka aku akan menyajikan teh untukmu setiap hari! Hanya saja kami tak tahu, apakah Kakak Keenammu bersedia….”
Dengan riang, Mama Cui menatap Minglan; Minglan memaksakann seulas senyum sepenuh hati. Buku mana yang mengatakan bahwa melakukan perjalanan waktu ke masa lalu untuk menjadi seorang nona muda akan membiarkan dirinya tidur sepanjang hari, semuanya bohong!
Di luar Kabinet Lihua, Danju ditugaskan untuk membantu Minglan mengemasi tas-tasnya dan mengeluarkan kertas-kertas yang akan dipakai untuk kaligrafi dalam wadah bambu. Ciaotao yang membantunya di samping, bertanya bertanya apa adanya, “Kakak Danju, Tuan Muda Ketujuh datang kemari adalah hal yang baik. Tetapi nona muda kita kelihatan sangat lelah, lihatlah dia; menguap dengan begitu lebarnya. Aku lebih suka kalau dia tidur lebih banyak lagi, kenapa dia tak bisa mengajari Tuan Muda Ketujuh di siang hari?”
Danju mengerutkan alisnya yang halus, dan memberikan sinyal tangan kepada Xiaotao untuk menutup mulutnya lalu dengan lembut mengatakan kepadanya, “Jangan bergosip! Kediaman ini ditempati oleh banyak tuan dan nona muda. Tak ada yang lebih baik daripada yang lain. Nyonya Besar sudah bersusah payah, harus memastikan bahwa dirinya tidak bias kepada siapapun. Kita mendapatkan berkah karena bisa hidup dengan mengikuti Nyonya Besar dan menjadi aman berkat Selir Wei, yang tak mengatkan hal buruk apapun, begitulah. Kau tak tahu seberapa banyak hal-hal mengerikan yang telah terjadi! Bujuk rayu Minglan dan fitnahan rahasia hanya satu dari sekian banyak, kita tak boleh menyebarkan rumor tanpa dasar, tetapi untungnya, nona kita punya hati yang besar, dan tak pernah memasukkan hal ini ke dalam hatinya.”
Bila Minglan terus begitu dekat dengan Tuan Muda Ketujuh dan membuatnya terus berjalan keluar masuk Aula Shou’an, pada suatu titik hal itu aku menjadi sesuatu yang berbeda. Orang bisa melihat kalau Tuan Muda Ketujuh tampak benar-beanr menyedihkan; Nona Muda tidak mudah untuk dijaga dan Nyonya Besar sepertinya tak peduli dan kini karena Tuan Muda Ketujuh ingin belajar kata-kata baru, itu tepat sekali.”
Xiaotao terbengong-bengong selama sesaat dan wajah kecilnya yang penuh dengan bintik-bintik mendadak tampak begitu tersesat. “…Kakak Danju, Nona Muda Kita sopan dan tak pernah berkelahi dengan saudari-saudarinya, tetapi Nyonya Besar mengasihani dan memperlakukan dirinya dengan lebih baik. Kalau begitu bagaimana mungkin akan ada gosip?”
Danju tertawa pelan dan berkata, “Kau tak perlu mencemaskan soal itu. Bukan hanya ada begitu banyak hal yang terjadi di kediaman kita, setidaknya kediaman punya Tuan dan Nyonya Besar yang memastikan semuanya berjalan damai. Kau adalah orang dari luar kediaman ini; hidup dengan bebas dan mudah, mulanya tak tahu semua kelokan dan persimpangan ini. Cukup beradaptasilah dan kau akan baik-baik saja. Jangan takut, orang baik ditindas, saat kau seharusnya mendapatkan jasa, dapatkan jasa; mempermalukan dirimu sendiri adalah hal kecil namun mempermalukan Nona kita akan jadi sebuah masalah besar.”
Xiaotao mengangguk serius, lalu menunduk dan mulai bekerja lagi. Namun kemudian tiba-tiba dia berkata, “Oh ya, aku lebih baik pergi dan memberitahu keempat tanaman* itu supaya tak bergosip tentang Nona kita mengajari Tuan Muda Ketujuh!”
(T/N: Kalau ada yang ingat, empat pelayan baru Minglan dinamai sesuai nama tanaman)
Danju menutupi tawanya dan meniru Minglan untuk berkata, “Sangat bagus, sangat bagus, kau memahami segalanya dengan lumayan cepat.”
———–
Versi Inggris bisa dibaca di:
www.rebirth.online/novel/the-legend-of-concubine-daughter-minglan/21
www.rebirth.online/novel/the-legend-of-concubine-daughter-minglan/21.5