Eternally Yearning For You / Lost You Forever / 長相思 - Chapter 1
- Home
- Eternally Yearning For You / Lost You Forever / 長相思
- Chapter 1 - Hidup Itu Singkat Bagai Persinggahan Sementara
Hari itu, sama seperti ribuan hari sebelumnya.
Beberapa ekor ayam jantan berkokok dan sedikit demi sedikit terdengar suara kehidupan manusia di Kota Qing Shui. Lao Mu (T/N: Mu Tua) dari Klinik Hui Chui bergegas mengambil daging domba segar dari Gao si Tukang Daging. Dua orang pembantu sibuk memulai bisnis hari ini.
Tabib kota Wen Xiaoliu memegang semangkuk sup domba dengan satu tangan serta sepotong roti kering di tangan yang lain dan berjongkok di halaman belakang, membungkuk makan dengan berisik. Beberapa langkah darinya terdapat dua petak yang ditanami dengan tumbuh-tumbuhan obat, dan di antaranya terdapat sebuah jalan setapak kecil yang mengarah ke sebuah sungai kecil. Matahari baru saja terbit dan menerakan kilau keemasan pada permukaan sungai. Bunga-bunga mekar di kedua tepi sungai dan burung-burung terbang serta mendarat, membawa sebuah pemandangan yang amat puitis. Xiaoliu mengagumi pemandangan sembari berpikir bahwa angsa-angsa itu pasti sangat gemuk dan akan lezat bila menangkap beberapa ekor di antaranya lalu memanggangnya.
(T/N: Xiaoliu dalam nama si tabib berarti Enam Kecil)
Setelah sup itu berada dalam perutnya, Xiaoliu meletakkan mangkuk kosongnya ke dalam sebuah ember di samping pintu di mana mangkuk-mangkuk kotor lainnya sudah bertumpuk. Dia mengambil embernya untuk dibawa ke sungai untuk dicuci. Ada bayang-bayang gelap di samping genangan air di sisi sungai dan tidak jelas burung macam apakah itu. Wen Xiaoliu meletakkan embernya dan memungut sebongkah batu untuk dilemparkan ke arah bayangan itu. Batunya mengenai bayangan gelap tersebut tetapi benda itu tak bergerak.
Wen Xiaoliu tercengang, sejak kapan dirinya pernah begitu akurat? Dia berjalan menghampiri dan melihat bahwa sesuatu itu bukanlah burung melainkan seseorang. Wen Xiaoliu segera berputar dan berjalan ke tepi sungai untuk mencuci peralatan makannya, seolah dia barusan tak melihat sesuatu yang menyerupai mayat manusia.
Wen Xiaoliu mengeluh saat dia mencuci peralatan makan, “Peralatan-peralatan makan ini akan menjadi kotor pada santapan selanjutnya meski sekarang sudah dibersihkan. Kenapa harus mencuci setiap kali selesai makan? Bila orang makan dari mangkuknya sendiri, berarti tidak kotor, jadi orang bisa mencuci setiap beberapa hari sekali.”
Wen Xiaoliu tak pernah merapikan ranjangnya di pagi hari. Bila dia melipat selimutnya, dirinya hanya akan harus memberantakannya lagi pada malam hari, jadi kenapa dia perlu menambahkan pekerjaan untuk dirinya sendiri? Siapa yang sebodoh itu? Dia bisa lolos dengan tak pernah merapikan ranjangnya, tetapi dia harus mencuci peralatan-peralatan makan kotor, kalau tidak Lao Mu pasti akan sudah menempelengnya.
Xiaoliu mengeluh dengan bersungut-sungut dan membilas semua mangkuknya satu kali sesbelum mengangkat embernya dan berjalan pulang, matanya tak pernah sekalipun melirik pada genangan air itu.
Orang-orang di Kota Qing Shui melihat lebih banyak orang mati ketimbang orang-orang dari luar kota bersantap, bahkan anak-anak juga kehilangan kepekaannya terhadap hal itu.
Klinik Hui Lin mungkin bukan klinik yang besar namun Wen Xiaoliu secara khusus memiliki keahlian dalam merawat kemandulan, dengan sepuluh wanita datang meminta bantuan dan dia bisa menyembuhkan mungkin sekitar enam atau tujuh dari mereka sehingga bisnis di klinik cukup lumayan. Setelah sibuk setengah harian, hari sudah siang ketika Xiaoliu berjalan ke halaman belakang untuk menggerakkan tubuhnya setelah duduk diam sedemikian lama.
Ma Zi sedang memilah-milah tanaman obat di halaman belakang dan menunjuk ke arah pintu. “Seorang pengemis datang dan aku melemparkan separuh keping roti kering kepadanya.”
Xiaoliu mengangguk dan tak mengatakan apa-apa. Dapur hanya menyalakan api dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari, jadi Xiaoliu mengambil sepotong roti kering dan menciduk air dari ember sebelum berjongkok di depan pintu dan menatap ke luar sambil makan.
Di luar pintu terdapat seorang pria yang terlentang di tanah. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut, kulitnya tergores dan luka-luka, dan dia berselimutkan debu. Selain dari bentuknya, tak ada hal lain dari pria itu yang menyerupai manusia.
Xiaoliu memicingkan mata dan bisa melihat jejak di tanah yang telah dikeringkan oleh matahari. Jejak itu berakhir pada diri si pengemis dan memanjang hingga ke tepi sungai di kubangan-kubangan air. Xiaoliu menaikkan sebelah alis dan kemudian meminum air untuk membantunya menelan roti kering yang keras itu.
Dia melirik lewat sudut matanya sosok hitam itu bergerak amat perlahan. Xiaoliu menoleh kembali pada si pengemis dan melihat bahwa lemparan Ma Zi cukup bagus. Roti kering itu mendarat di sisi tubuh si pria namun sepertinya dia tak tak punya kekuatan bahkan untuk menggapai roti kering itu sehingga roti tersebut hanya tergeletak di sana. Xiaoliu mengunyah biskuitnya dan menatap si pengemis. Beberapa menit kemudian, dia menghabiskan roti keringnya dan menyeka remahannya pada lengan baju, menepukkan tangannya dan melemparkan gayung air kembali ke ember. Dia menggumamkan sebuah nada dan berjalan kembali ke klinik. Hari sudah sore saat Xiaoliu kembali dan semua orang memulai makan malam dengan berisik.
Xiaoliu selesai makan malam dan memakai punggung tangannya untuk menyeka mulut sebelum memeperkan rangan tersebut ke bajunya. Dia berniat kembali ke kamarnya tetapi kakinya memiliki pikiran lain dan membawanya keluar menuju pintu belakang. Ma Zi bertanya, “Kak Liu, kau mau ke mana?”
“Jalan-jalan setelah makan untuk mencerna.”
Xiaoliu berjalan memutari sungai dan melantunkan lagunya. Saat dia berjalan kembali di sepanjang jalan setapak kecil, dia berhenti di samping si pengemis dan menginjak roti kering di samping orang itu. Xiaoliu berjongkok. “Aku sudah menginjak roti keringmu, apa yang bisa kulakukan untuk menggantinya?”
Si pengemis tak menanggapi dan Xiaoiu menengadah menatap langit. Bulan sabit menggantung dingin dan rendah di ujung cakrawala seakan Langit sedang mengulas senyum mencela pada umat manusia di bawahnya.
Beberapa saat kemudian, Xiaoliu mengulurkan tangan dan mengangkat si pengemis. Orang itu adalah seorang laki-laki, tubuhnya tidak kecil tetapi dia sekurus tongkat dan seringan bulu. Xiaoliu membawanya dan menendang pintu hingga terbuka, melangkah ke dalam halaman belakang. “Lao Mu, Ma Zi, Chuan Zi, ayo bantu aku.”
Ketiganya yang sedang duduk di halaman belakang sambil mengobrol tidak menganggap hal ini aneh dan serta merta mereka semua datang untuk membantu.
Xiaoliu meletakkan si pengemis di atas dipan dan Ma Zi membawakan sebaskom air hangat lalu menyalakan api di dalam kamar. Xiaoliu memerintahkan, “Bersihkan tubuhnya, suapi sup hangat. Bila ada luka-luka, kalian bisa merawatnya.”
Begitu Xiaoliu melangkah keluar kamar, dia mendengar Ma Zi memekik ketakutan dan Xiaoliu langsung berbalik. Dia melihat wajah Ma Zi menjadi kelabu seakan baru saja melihat hantu, dan bahkan suaranya juga gemetar. “Kak Liu, kau… kau harus melihat ini. Orang ini tak mungkin bisa bertahan hidup.”
Xiaoliu menghampiri dan melihat dengan seksama. Seluruh wajah orang itu babak belur dan lebam-lebam dengan begitu parahnya hingga membengkak seperti kepala babi. Fitur wajahnya sama sekali tak bisa dikenali. Pada tubuh sekurus buluh, dipadukan dengan kepala raksasa, memang kelihatan amat menakutkan.
Xiaoliu menyibakkan pakaiannya, atau lebih tepatnya cabikan kain, dan mendapati bahwa di sekujur tubuh pria itu terdapat berbagai jenis bekas luka serta torehan yang saling silang – cambuk, pisau, luka bakar, dan terdapat sebuah jejak yang hangus terbakar di dadanya yang berasal dari cap panas. Karena orang itu tak memiliki sedikit pun otot berlebih, tulang-tulangnya mencuat dengan jelas dan kulit yang terbakar itu menggelantung di rusuknya.
Xiaoliu mengangkat tangan orang itu dan ternyata semua kuku jarinya telah dicabut serta tangan itu membengkak setelah terendam dalam air. Dengan canggung Xiaoliu meletakkan tangannya dan memeriksa kakinya. Tulang paha kanannya telah dipatahkan jadi dua dan kesepuluh kuku kakinya juga sudah dicabut. Terdapat beberapa lubang berdarah-darah di telapak kakinya, jelas-jelas berasal dari paku yang telah ditancapkan di sana. Ma Zi dan Chuan Zi sudah terbiasa melihat pasien tetapi hal ini bahkan menakuti mereka. Masing-masing dari mereka mundur beberapa langkah dan mengalihkan tatapan, tak sanggup melihat lagi. Wen Xiaoliu tetap tak tergerak dan tenang, memerintahkan, “Bawakan obat-obatan.”
Ma Zi pulih dari ketakutannya dan berlari untuk mengambil tumbuh-tumbuhan pembersih dan berniat menawarkan diri untuk membersihkan luka, tetapi tak bisa membuat dirinya mengatakan hal tersebut. Xiaoliu tahu kalau dia tak bisa mengandalkan satu pun dari mereka dan tanpa bersuara mulai membersihkan pria itu dengan tangannya sendiri. Dia memakai sehelai kain bersih yang dicelup air tanaman obat dan dengan hati-hati membasuh tubuh pria itu. Luka-luka itu pasti terasa menyakitkan karena si pria tersadar. Karena memiliki luka di kelopak matanya, pria itu tak bisa membuka matanya sehingga hanya mengerutkan bibirnya dengan tegang.
Xiaoliu berkata lembut, “Aku adalah Wen Xiaoliu, kau bisa memanggilku Xiaoliu. Aku adalah tabib kota kecil ini dan aku sedang membersihkan luka-lukamu. Kalau sakit, kau harus berteriak.”
Tetapi Xiaoliu membersihkan sekujur tubuhnya dan dia tak pernah bersuara sedikit pun meski terdapat titik-titik keringat di dahinya. Mungkin keteguhan dan ketahanannya lah yang membuat Xiaoliu mengembangkan rasa hormat pada pria itu dan hatinya pun akhirnya melunak. Xiaoliu memakai sehelai handuk untuk menyeka keringat dari dahi pria itu dan kemudian mulai melepaskan celananya. Tubuh pria itu bergetar pelan, menyampaikan sebuah kebencian hingga ke tulang yang terus berusaha dia kendalikan.
Xiaoliu ingin dia bersantai dan karenanya berkelakar, “Kau adalah seorang laki-laki, mana mungkin kau takut kalau seorang laki-laki melepaskan celanamu?” Setelah celananya lepas, Xiaoliu terdiam.
Dari lutut hingga atas pahanya, beberapa luka tampak lebih baru daripada yang lainnya sehingga luka-lukanya menjangkau dari warna gelap hingga terang. Kulitnya tampak seperti kain compang-camping yang telah ditambal terlalu sering. Orang yang melakukan siksaan itu jelas tahu persis tingkat ketahanan orang itu dan juga tahu area mana di bagian dalam paha yang paling sensitif. Setiap kali dia menusuk satu area di sana, seorang pria pasti akan memohon kematian tetapi dia takkan mati. Xiaoliu memerintahkan, “Alkohol, lilin, gunting, pisau pemotong tulang, papan, kasa, salep….”
Chuan Zi berlari untuk mengambil barang-barang itu sementara Ma Zi tinggal untuk membantu, tetapi matanya selalu menghindar jauh-jauh dari tubuh pria itu.
Xiaoliu melihat Chuan Zi kembali membawa salep dan mengernyitkan alisnya. “Pergi ke kamarku dan ambil sebuah toples yang tersembunyi di dasar lemariku.”
Chuan Zi tak cukup cepat dalam menghindarkan matanya dan terhenti sesaat sebelum berlari pergi untuk mengambil barang yang diminta.
Xiaoliu berusaha selembut mungkin dan berkonsentrasi penuh dalam merawat luka-lukanya. Tetapi tak peduli seberapapun hati-hatinya dia, ada begitu banyak luka, beberapa memiliki daging yang telah membusuk yang harus dibuang, beberapa dengan kulit mati yang perlu digunting, dan kakinya yang patah harus dibenarkan.
Akibat rasa sakitnya, Xiaoliu bisa merasakan pria itu bergetar namun matanya tetap terpejam dan dia menggigit bibirnya kuat-kuat untuk bertahan dalam diam. Tubuhnya yang babak belur telanjang dan di mana-mana terdapat tanda-tanda siksaan yang dimaksudkan untuk melecehkan dan mempermalukannya. Namun perilakunya tetap pongah dan terkendali.
Xiaoliu menyadari bahwa dia mungkin juga bereaksi seperti ini terhadap siksaannya, orang yang dipermalukan memiliki lebih banyak martabat ketimbang yang mempermalukan. Orang yang menyiksa dia pasti telah dipenuhi dengan lebih banyak amarah lagi dan karenanya meningkatkan siksaannya. Setelah tiga jam, Xiaoliu akhirnya selesai membersihkan semua luka dan dirinya juga bermandikan keringat. Dengan lelah dia berkata, “Salep obat luar.”
Ma Zi membuka sebuah toples dan sebuah aroma yang ringan dan lembut menguar. Xiaoliu meraihnya dan mencolek sejumlah salep keemasan dengan tangannya dan mulai menerapkannya pada pria itu, dimulai dengan wajahnya.
Salep dingin itu meringankan sedikit rasa sakitnya dan bibir berkerut pria itu pun sedikit mengendur. Xiaoliu meihat darah menodai bibir pria itu dan menerapkan sedikit salep juga di sana. Pria itu cepat-cepat berusaha menutup mulutnya dan mengarahkan jari Xiaoliu ke bibirnya. Ini adalah satu-satunya kali saat Xiaoliu merasakan bagian yang lembut dari tubuh pria itu.
Sesaat Xiaoliu terpana tetapi pria itu sudah membuka bibirnya dan Xiaoliu menarik kembali jarinya. Dengan lembut dia mengangkat tangannya dan mulai menerapkan obat.
Setengah jam kemudian, sekujur tubuh pria itu telah tertutup oleh salep dan terbungkus oleh kasa.
Ketika Xiaoliu menyelimutinya dengan selimut bersih dan berkata lembut, “Aku akan harus sering memeriksa luka-lukamu selama beberapa hari berikutnya jadi aku takkan memberimu pakaian. Jangan khawatir, tak ada wanita di rumah ini. Bahkan bila kau terlihat oleh seseorang, tak ada yang akan menyuruhmu menikahinya.”
Ma Zi dan Chuan Zi sama-sama tertawa. Wen Xiaoliu mulai membacakan daftar bahan-bahan untuk obat herbalnya dan Ma Zi menghapalnya lalu pergi untuk mengumpulkan tanaman obat.
Xiaoliu menatap ke luar dan menyadari kalau dia masih bisa tidur selama satu jam lagi. Namun kemudian dia melihat rambut kusut pria itu dan mengernyitkan alisnya sebelum memanggil Chuan Zi. “Kain, air panas, baskom, ember.” Xiaoliu duduk di ujung dipan, memasukkan kakinya ke dalam ember, mengangkat kepala kotor pria itu, dan meletakkannya di atas lutut untuk mencuci rambutnya.
Chuan Zi dengan malu-malu berkata, “Kak Liu, besok kau harus memeriksa pasien, pergilah tidur dan aku bisa bisa mengerjakan ini.”
Xiaoliu mendengus. “Dengan tangan kikukmu, takutnya kau akan mengacaukan kerja kerasku selama berjam-jam untuk merawat lukanya. Kau bisa mengganti airnya saja.” Pergerakan tangan Xiaoliu bahkan lebih lembut daripada biasanya, mengumpulkan sejumlah busa dari sabun dan sedikit demi sedikit mencuci rambut pria itu. Setelah mengeramasinya secara menyeluruh, Xiaoliu menyiramkan air hangat pada rambut itu untuk membilas darah dan kotoran. Dia memakai gunting untuk membuang bagian-bagian yang sudah rusak.
Setelah mencuci rambut pria itu, tangan Xiaoliu bergerak ke kulit kepalanya dan dia menundukkan kepalanya untuk memeriksa, Dia bisa merasakan pria itu menegang dan Xiaoliu pun menjelaskan, “Aku ingin memeriksa apakah kau punya luka-luka di bagian kepala.”
Ironinya adalah bahwa para penyiksa ingin dia sadar untuk merasakan setiap rasa sakitnya sehingga mereka tak melukai kepalanya.
Xiaoliu tak mau memakai tekanan sehingga dia memakai banyak kain untuk perlahan mengeringkan rambut pria itu. Xiaoliu cemas kalau-kalau sikat rambut akan menyakitinya sehingga dia memakai jemarinya menjadi semacam sisir tebal untuk menguraikan rambut itu. Setelah merapikan rambut orang itu, Xiaoliu menyuruh Chuan Zi mengambilkan sebuah bantal bersih sebelum membaringkan kepalanya di atas bantal tersebut.
Matahari sudah terbit saat Xiaoliu melangkah keluar dari kamar itu. Dia membasuh mukanya dengan air dingin dan memakan sarapannya sambil mengatakan pada Ma Zi, “Jangan cemaskan tentang klinik, untuk beberapa hari berikutnya kau rawat saja dia. Jangan beri dia roti kering, rebuskan saja daging dan sayuran yang dihancurkan untuk memberi dia makan. Pastikan untuk mendinginkannya terlebih dahulu.” Xiaoliu menghabiskan makanannya dan memungut keranjang persediaan obatnya lalu pergi ke klinik.
Ma Zi berkata pada orang yang berbaring di dipan lewat jendela. “Pengemis, Kakak Liu menghabiskan waktu semalaman untuk menyelamatkanmu dan menghabiskan semua obat-obatan yang telah dia simpan untuk dirinya sendiri. Kau harus bertahan hidup.” Saat Xiaoliu kembali pada siang harinya, dia begitu lelah dan mengantuk sehingga harus bertarung dengan kelopak matanya.
Dia melemparkan seekor bebek liar ke tanah dan pergi ke dapur untuk mengambil semangkuk sup panas, meremukkan beberapa roti kering untuk dilemparkan ke dalamnya. Dia duduk di belakang tungku dan dengan berisik menyeruput makanannya. lao Mu sedang menggiling adonan tepung dan berkata, “Aku sudah dengar tentang luka-luka orang itu dari Ma Zi.”
Xiaoliu meminum sup nya. “Uhm hmmm.”
“Ma Zi, Chuan Zi – tak satupun dari mereka yang sanggup melihatnya, tapi kau pasti bisa mengatakannya. Dia itu dari salah satu suku Dewa, dan dia jelas-jelas bukan salah satu dari jenis Dewa rendah seperti kita.”
Xiaoliu meminum supnya dan tak merespon.
“Membunuh seseorang hanya perlu memenggal kepalanya. Luka-luka semacam ini memiliki alasan besar di baliknya. menolong seseorang yang tidak seharusnya ditolong itu seperti mengundang kematian ke ambang pintu.”
Xiaoliu mengunyah dan berkata, “Bersihkan bebek itu dan beri sedikit garam tanpa ditambah yang lainnya, lalu panggang di atas api kecil.”
Lao Mu melirik dan melihat bahwa Xiaoliu tak peduli, jadi dia mendesah dan berkata, “Mengerti.”
Xiaoliu selesai makan dan pergi untuk bertanya pada Ma Zi, “Apa dia makan hari ini?”
Ma Zi berkata pelan, “Sepertinya tenggorokannya juga terluka sehingga dia tak bisa menelan. Dia tak mampu memakan sup lumatnya.”
Xiaoliu berjalan ke dalam ruangan dan melihat semangkuk obat yang sudah dingin di atas meja. Dia membantu si pengemis untuk bangkit. “Aku kembali. Apa kau mengenali suaraku? Aku Xiaoliu, ayo makan obat.” Pria itu membuka matanya untuk menatap Xiaoliu dan dia sudah sedikit lebih kuat daripada kemarin karena dia telah sedikit membuka matanya.
Xiaoliu menyuapkan obat kepadanya dan pria itu berusaha keras untuk menelan, tetapi rasanya seperti menyuapi kanak-kanak dan semua obatnya menetes keluar. Pria itu menutup matanya erat-erat. Xiaoliu bertanya pelan, “Apakah mereka menyiksa daerah tenggorokanmu juga?” Pria itu mengangguk samar.
Xiaoliu berkata, “Kuberitahu sebuah rahasia padamu, aku mengiler saat aku tidur. Suatu ketika aku bermimpi sedang memakan ayam panggang dan terbangun dengan bantalku separuh basah. Aku tak bisa menyembuhkan masalahku tetapi masalahmu hanya sementara. Dengan perawatan dari seorang penyembuh legendaris sepertiku, kujamin kau akan sembuh dalam beberapa hari.”
Xiaoliu merangkak ke atas ranjang dan membuai pria itu di tangannya lalu mengambil sesendok kecil obat lalu meneteskannya ke mulut si pria setetes demi setetes. Pria itu berusaha bekerjasama dan berjuang untuk menelan. Pada akhirnya dia berhasil meminum setiap tetes obat yang tersisa setelah menghabiskan waktu setengah jam berikutnya.
Pria itu bermandikan keringat seakan baru saja berlari dalam begitu banyak putaran dan kelelahan. Xiaoliu menyeka dahinya dengan sehelai kain. “Kau istirahatlah terlebih dahulu dan setelah sup bebeknya jadi, ayo kita minum sup bebek.”
Xiaoliu berjalan keluar membawa mangkuk kosong untuk mendapati Ma Zi, Chuan Zi, dan Lao Mu sedang menatap dirinya seperti tengah melihat hantu. Xiaoliu melotot, “Apa yang kalian lihat?”
Chuan Zi angkat bicara, “Kau bahkan lebih berhati-hati daripada ketika merawat bayi yang baru lahir. Bila orang tak tahu apa-apa, mereka akan mengira kalau kau adalah ibunya.”
“Sialan kau! Kau yang ibunya!” Xiaoliu mengangkat sebelah kaki dan menendang bokong Chuan Zi.
Chuan Zi memegangi bokongnya yang sakit dan berlari kabur. Ma Zi dan Lao Mu mendapatkan kembali akal sehat mereka dan Lao Mu berkata, “Yap, ini pasti adalah Xiaoliu, bukan peniru.” Ma Zi menepuk-nepuk dadanya, ditenangkah oleh konfirmasi tadi.
Xiaoliu menguap dan berkata pada Ma Zi, “Tutup kliniknya untuk hari ini, tak ada pasien lagi. Aku akan tidur siang dan bangunkan aku saat sup bebeknya sudah siap.”
Ma Zi ingin bilang kalau dia bisa melakukannya, tetapi kemudian dia memikirkan tentang pemandangan menyuapkan obat dan menyadari bahwa hal itu sehalus menyulam dan dia jelas-jelas tak bisa melakukannya.
Saat sup bebeknya sudah siap, Ma Zi mengetuk pintu Xiaoliu dan dia pun berjalan keluar kemudian memasuki kamar pria itu. Sama seperti saat dia menyuapi obat sebelumnya, Xiaoliu menyuapkan semangkuk sup kepada pria itu selama setengah jam penuh.
Setelah membiarkan pria itu beristirahat sejenak, Xiaoliu menggosokkan salep di tangannya dan bersiap untuk membantu menerapkan pijatan pada titik-titik akupuntur pria itu.
“Kau… setelah… meski sudah lama dan beberapa otot telah menyusut dan sangat menyakitkan, kalau dirangsang begini hal ini bisa membantu pemulihan.” Mata pria itu terpejam dan dia mengangguk.
Xiaoliu tersenyum. Setelah menahan siksaan serta rasa sakit sebanyak itu, hal ini bukan apa-apa bila dibandingkan, tetap saat dia memijat dia terus bicara untuk mengalihkan perhatian pria itu. “Saat aku berjalan menuju klinik aku melewati sebuah rumah dengan sukur-sulur dan bunga-bunga ungu yang tumbuh di seluruh permukaan dinding, dan saat angin bertiup semua bunga itu berguguran seperti hujan. Aku begitu terganggu karena aku tak bisa percaya kalau keluarga ini akan membuang-buang bunga yang begitu lezat yang bisa dibuat menjadi kue-kue yang enak….”
Dari luar kamar, Ma Zi berkata pada Chuan Zi, “Kupikir Kakak Liu takkan lagi menyuruhku untuk merawat pengemis itu.” Tubuh si pengemis itu rusak dan rapuh dan keburukannya begitu menakutkan untuk ditanggung. Bahkan Ma Zi juga tak terlalu ingin menatapnya terus-terusan.
Sesuai dengan kata-kata Ma Zi, Xiaoliu tak pernah lagi menyuruhnya merawat si pengemis. Dari menyuapi obat hingga menyeka tubuh untuk menerapkan salep, Xiaoliu melakukan semuanya sendirian.
Setelah sebulan berlalu, luka di tenggorokan si pengemis sudah sembuh sebagian besarnya dan dia bisa menelan, namun kebiasaan telah terbentuk. Setiap hari Ma Zi akan berdiri di luar kamar dengan semangkuk obat dan berteriak ke arah klinik, “Kakak Liu —“ Dan Xiaoliu akan cepat-cepat menyelesaikan mengurus pasiennya dan bergegas menuju kamar di halaman belakang.
Setelah lewat setengah tahun, luka-luka di tubuh pria itu pun berangsur-angsur sembuh. Kuku di jemarinya tangan dan kakinya belum sepenuhnya tumbuh kembali tetapi sekarang dia sudah bisa menyentuh air. Jadi Xiaoliu berhenti membasuh tubuhnya dan alih-alih menyiapkan sebuah bak mandi sehingga pria itu bisa mandi dengan benar.
Setelah dirawat oleh Xiaoliu selama enam bulan, pria itu tak lagi sekurus tongkat dan belulang tetapi dia masih sangat ringan. Saat Xiaoliu mengangkat tubuhnya, Xiaoliu memngomelinya, “Makan lebih banyak!”
Pria itu menuup matanya dan tak mengatakan apa-apa. Sepanjang waktu ini dia bersikap demikian. Setiap kali Xiaoliu menyentuh tubuhnya, dia memejamkan mata dan mengerutkan bibirnya. Xiaoliu mengerti. Setelah menahan siksaan sebesar itu, tubuhnya jadi membenci segala macam sentuhan dan setiap kali dia harus menahannya.
Xiaoliu meletakkan kain di sebelah pria itu dan berkata, “Kau basuhlah sendiri. Rambutmu belum tumbuh kembali sepenuhnya jadi jangan menggosoknya terlalu kuat.”
Xiaoliu duduk di samping sambil mengunyah kudapan dan menemaninya.
Mungkin karena masing-masing bekas luka pada tubuh pria itu adalah semacam penghinaan, pria itu selalu mendongakkan kepalanya dan memejamkan matanya supaya tak perlu melihat tubuhnya sendiri. Dia mengambil kain itu dan mulai membersihkan dirinya sendiri. Dari leher turun ke dada turun ke perut dan akhirnya menurun ke kakinya.
Mata Xiaoliu mengikuti tangannya saat tiba-tiba dia berpaling ke samping dan mengunyah leher bebeknya keras-keras, membuat suara krauk krauk.
Mata pria itu membuka dan dia menatap ke arah Xiaoliu. Sinar mentari menyorot lewat jendela dan memandikan Xiaoliu dalam cahaya. Pipinya merah dan disinari oleh cahaya mentari bagai sepotong kumala yang indah dengan bercak-bercak merah pada permukaannya.
Xiaoliu menunggu sampai pria itu selesai mandi dan membawa dia turun menuju bak mandi. Karena kakinya belum sembuh sepenuhnya, biasanya Xiaoliu membantunya berpakaian tetapi hari ini dia hanya meletakkan pria itu ke atas dipan lalu melepaskannya.
Pria itu terus menundukkan matanya, satu tangan pada dipan untuk menopang tubuhnya dan satu tangan lainnya memegangi pakaiannya tetap tertutup. Tangannya kurus namun sangat panjang, kuku yang baru tumbuh berwarna putih dan sehat.
Xiaoliu terus menundukkan kepalanya dan meletakkan pakaian di sebelahnya. “Kau… kau cobalah berpakaian sendiri. Kalau kau tak bisa melakukannya maka panggil saja aku.”
Xiaoliu buru-buru keluar dari kamar tapi berdiri di depan pintu untuk mendengarkan suara-suara di dalamnya, dan saat semuanya kedengaran normal, barulah dia pergi.
Chuan Zi sedang memilah-milah tanaman obat dan melihat Xiaoliu lalu bertanya, “Belum pernah dengar dia bicara selama setengah tahun. Bagaimana kalau ternyata dia bodoh?”
Ma Zi memukul Chuan Zi. “Tutup mulutmu yang tak punya otak! Setelah menahan siksaan yang tak terkatakan, bahkan bisa bertahan hidup pun sudah merupakan sumber kekaguman. Kekuatan kemauannya itu, dia tak mungkin orang bodoh.”
Ma Zi bertanya, “Apakah pita suaranya rusak dan sekarang dia tak bisa bicara?”
Xiaoliu berkata, “Aku sudah memeriksa tenggorokannya dan meski memang ada luka dan suaranya akan terdengar berbeda daripada sebelumnya, tapi seharusnya dia bisa bicara.”
Ma Zi gembira. “Baguslah kalau begitu.”
Xiaoliu berkata, “Mengenai luka-lukanya, tak peduli kapanpun kalian melihatnya, sejak saat ini hal itu tak boleh diungkit-ungkit lagi.”
Chuan Zi mengangkat sebelah tangan, “Sejak aawal aku tak pernah punya nyali untuk melihatnya, jadi aku tak lihat apa-apa.”
Ma Zi menambahkan, “Jangan khawatir, Lao Mu sudah mengingatkan kami. Aku punya ingatan yang buruk, melupakan urusan orang lain, aku bahkan lupa pada barang-barangku sendiri sepanjang waktu.”
Pintu terbuka dan pria itu menopang dirinya sendiri pada dinding dan terseok-seok keluar.
Sebelumnya, biasanya hari sudah senja ketika Xiaoliu membawa pria itu keluar untuk mendapatkan sedikir sinar matahari dan udara segar. Hari ini adalah kali pertama dia keluar ke halaman pada siang hari. Dia bersandar pada dinding dan mengangkat kepalanya untuk menatap langit biru dan awan putih dalam diam.
Ma Zi dan Chuan Zi melongo menatap pria itu. Karena luka-lukanya telah meninggalkan sebuah kenangan yang tidak mengenakkan pada mereka, mereka selalu menghidar dari menatapnya. Chuan Zi bahkan menolak untuk masuk ke dalam kamarnya.
Ini adalah kali pertama mereka berdua melihat pria itu dengan jelas. Pria itu memiliki alis hitam yang panjang, mata berbinar, hidung lurus yang tinggi, pakaian wolnya yang sederhana dan murahan dikenakan dengan keeleganan dan kemegahan. Dalam sekejap baik Ma Zi maupun Chuan Zi jadi merasa begitu tak berharga dan juga terkesima. Xiaoliu menggosokkan ejumlah rumput kering dan berkata, “Kalau kakimu tak terlalu sakit, cobalah lebih banyak bergerak. kau seharusnya bisa pergi dalam tiga hingga empat bulan lagi.”
Pria itu menundukkan kepalanya dan menatap langsung pada Xiaoliu. “Aku. Tak. Punya. Tempat. Untuk. Pergi.” Sepertinya dia sudah tidak mengucapkan sepatah kata pun dalam beberapa tahun terakhir dan suaranya terdengar parau, tetapi pelafalannya jelas. Xiaoliu menyandarkan punggung dan menekuk kakinya ke atas sambil mengunyah rumput kering. “Tak punya tempat untuk pergi? Apa itu benar?”
Pria itu mengangguk.
Xiaoliu bertanya, “Siapa namamu?”
Pria itu menggelengkan kepalanya.
“Kau tak tahu? Tak ingat? Apa kau tak mau mengatakannya padaku?”
“Kau. Selamatkan aku. Aku. Adalah. pelayanmu. Beri nama.”
Xiaoliu meludahkan gumpalan rumput keringnya. “Kau tak kelihatan seperti seseorang yang melayani dan akan patuh pada perintah. Aku tak menginginkanmu.”
Pria itu terus menundukkan matanya. “Aku. Mematuhi. Kamu.”
Xiaoliu mengunyah rumput kering lagi. “Kelak bila kau bertemu dengan orang yang mengenalmu, apa kau masih akan mematuhiku?”
Pria itu mengerutkan bibirnya dan tangannya mencengkeram pagar, wajahnya pucat dan dia tetap terdiam.
Xiaoliu sudah akan mendengus saat pria itu mendongak dan menatap dirinya lurus-lurus. “Aku mematuhi!” Dalam mata jernih pria itu terlihat adanya kilasan bara seakan menerakan kata ‘patuh’ dalam hatinya. Xiaoliu meragu selama sesaat dan kemudian berkata, “Kalau begitu kau boleh tinggal.”
Bibir pria itu bergerak seakan dia ingin tersenyum tetapi tidak melakukannya. Xiaoliu melemparkan sejumlah rumput kering padanya. “Pergi duduklah di suatu tempat dan kunyah ini.”
Dengan patuh pria itu duduk di atas undakan batu di samping dan perlahan mengobek beberapa helai rumput liar lalu memasukkannya ke dalam mulutnya.
Meski memakan rumput kering yang sama, gerakan pria itu tampak halus dan memberikan kesan bahwa dia tidak sedang memakan rumput kering melainkan buah para Dewa dari pegunungan.
“Ya, pengemis itu, rumput kering ini bagus untuk tenggorokanmu.”
Ma Zi menggaruk kepalanya dan berkata pada Xiaoliu, “Kak Liu, beri dia nama, kita tak bisa terus memanggil dia pengemis.
Xiao Liu berkata, “Kalau begitu panggil dia Gan Cao saja.” (T/N: Gan Cao = rumput kering)
“JANGAN!!!” Baik Ma Zi maupun Chuan Zi menolak. “Beri dia nama yang lebih baik, jangan seperti nama kita.”
(T/N: nama Ma Zi adalah istilah merendahkan untuk seseorang yang memiliki bekas penyakit lepra. Chuan Zi adalah istilah merendahkan untuk berandalan)
Xiaoliu menempeleng mereka berdua. “Apa yang salah dengan nama kita?”
“Nama kita cocok dengan kita, tapi nama tadi tidak cocok dengan dia,” Chuan Zi berkata dengan sangat tulus dan Ma Zi menganggukkan persetujuannya.
Xiaoliu menatap pria pengemis yang duduk di atas undakan batu lalu menjulurkan kepalanya dekat-dekat pada Ma Zi dan Chuan Zi dan menuding dirinya sendiri seraya bertanya dengan tidak percaya, “Aku tak sebagus dia?”
Chuan Zi dengan hati-hati bertanya, “Apakah Kak Liu ingin mendengar kebenaran atau yang bukan kebenaran?”
Ma Zi menghiburnya, “Kak Liu, beberapa orang terlahir di atas awan, yang lainnya tak lebih daripada debu. Tak ada yang perlu diperbandingkan. Marilah lebih menerima dan menjalani kehidupan debu kita sebaik yang kita mampu.”
Xiaoliu mengamuk, “Kalau begitu aku mau memanggil dia Debu saja!”
Ma Zi dan Chuan Zi sama-sama memekik, “Jangaaan!”
Ma Zi berharap kelak pengemis itu tidak marah kepadanya gara-gara nama yang mengerikan, jadi dia memohon, “Kak Liu, tolong pikirkan nama yang lain.”
Chuan Zi juga berkata, “ya, ya, pikirkan nama lain, nama lain yang sebagus nama Kak Liu.”
Xiaoliu jadi penuh semangat dan meraih tanaman obat dari dalam keranjang lalu melemparkannya pada Ma Zi. “Hitung jumlah daunnya dan itu akan jadi namanya.”
“… Satu, dua,…. tujuh belas helai daun.”
Xiaoliu berbalik dan berseru, “Pengemis, sejak saat ini namamu adalah Ye Shiqi.” (T/N: Ye berarti daun dan Shiqi berarti tujuh belas)
Ye Shiqi mengangguk dan Ma Zi serta Chuan Zi memikirkannya lalu memutuskan kalau nama itu tidak buruk. Mereka sama-sama tertawa dan maju untuk menyapa Shiqi.
Lao Mu menanggil dari depan. “Xiaoliu, ada satu pasien di sini.”
Xiaoliu menendang bokong Ma Zi dan Chuan Zi dan menggumamkan lagu pendek saat dia keluar untuk menemui pasiennya.
Waktu bagaikan terbang dan setengah tahun lagi telah berlalu. Luka-luka Shiqi yang bisa disembuhkan semuanya sudah sembuh dan yang tak bisa disembuhkan dibiarkan apa adanya. Tulang pahanya yang patah sudah disambungkan kembali tetapi sudah terlalu lama waktu berlalu sehingga saat berjalan dia jadi pincang. Bagaimana luka-luka di daerah yang tak bisa dilihat pulih, Xiaoliu tak mengetahuinya karena Shiqi tak pernah mengizinkan dia membantu menerapkan obat setelah dia bisa melakukannya sendiri.
Ma Zi diam-diam memberikan kepada Shiqi beberapa simpanan yang telah dia selundupkan diam-diam. “Klinik Hui Chun kecil kami… heh heh… kau bisa bilang kalau keahlian pengobatan Kakak Liu bukahkah hanya itu saja… heh heh… apa kau pernah dengar tentang Klan Shen Nong-nya Yan Di? Kalau kau pergi ke ujung lain kota, di sana ada Klinik Bao Cao yang dijalankan oleh seorang tabib yang secara dalam banyak generasi merupakan keturunan Klan Shen Nong. Keahliannya sangat hebat dan mungkin bisa menyembuhkan kakimu.”
Shiqi mengembalikan uang itu pada Ma Zi tanpa bersuara.
Ma Zi jadi tidak sabar. “Jangan! Kau bisa membayarku pelan-pelan tapi kakimu adalah urusan besar. Kau bisa membayarku dengan bunga kalau kau mau nantinya.”
Shiqi terus mendundukkan kepalanya dan berkata, “Ini. Bagus.”
“Apanya yang bagus tentang ini? Apa kau mau jadi orang pincang seumur hidupmu?”
“Dia. Tak peduli.”
“Apa? Siapa yang tak peduli?” Ma Zi menggaruk kepalanya. “Oh! Kau bilang kalau selama Kakak Liu tak peduli tentang itu? Bagaimana hal itu bisa membantumu kalau dia tak peduli? LIhatlah betapa malasnya dia, dia bisa makan dengan sebuah mangkuk dan memakai mangkuk kotor yang sama untuk makanan selanjutnya. Pakaiannya digunakan seperti kain lap kotor….”
Shiqi melirik ke belakang Ma Zi yang ingin terus menanamkan akal sehat kepada Shiqi saat tiba-tiba dia ditempeleng di bagian belakang kepalanya sehingga dia serta merta tutup mulut.
Kepala Xiaoliu muncul dalam pandangan dan dia mengambil uang dari tangan Ma Zi. “Oh, uang yang lumayan banyak ya! Malam ini kita bisa makan besar!”
Mata Xiaoliu membelalak melihat uangnya dan dia bahkan tak peduli dengan apa yang Ma Zi lakukan dengan curi-curi membawa uang. Dia mengambil uang itu dan bergegas keluar, dengan Ma Zi menangis dan mengejar di belakangnya. “Jangaaan, Kakak Liu, uang itu adalah simpananku supaya aku bisa mendapat istri… aku membutuhkannya untuk melakukan hal yang sepantasnya….”
Malam itu semua orang berpesta makan daging dan ikan, dengan Xiaoliu dan Chuan Zi dengan riang memenuhi mulut mereka, sementara Ma Zi makan sebanyak yang dia sanggup kalau tidak semuanya akan menjadi sia-sia meski hal itu membuatnya menderita sampai ke dalam-dalam; sementara Lao Mu menyesap araknya dan menatap Shiqi.
Setelah makan, Xiaoliu, Ma Zi, dan Chuan Zi semuanya ambruk tertidur karena mabuk. Hari ini seharusnya merupakan tugas Xiaoliu untuk mencuci peralatan makan, namun tak seorang pun yang ingat kapan daftar pekerjaan mereka di Klinik Hui Chun berubah sehingga Shiqi mengerjakan tugas-tugasnya sendiri tetapi juga mengerjakan semua tugas milik Xiaoliu. Shiqi mengumpulkan semua peralatan makan dan mengambil seember air lalu duduk di halaman untuk mencucinya.
Lao Mu berdiri di belakangnya dan bertanya, “Siapa kamu?”
Dalam suara desau angin sore, sebuah suara parau menjawab, “Aku adalah. Ye Shiqi.”