Nirvana In Fire - Epilog
Setelah enam musim dingin berlalu pada tahun Yuan You di Liang Yang Agung, Da Yu mundur setelah kalah dalam tiga perang dan kehilangan enam puluh ribu prajurit, mengirimkan hadiah untuk memohon perdamaian. Perfektur-perfektur dipulihkan, amnesti dianugerahkan, dan rakyat ditenangkan. Pasukan Meng Zhi bergabung dengan pasukan Shangyang yang telah kalah, disusun ulang dan diberi nama baru Pasukan Changlin*, dan ditempatkan di perbatasan utara sebagai garis pertahanannya. Selama perang ini, banyak pejabat muda yang menonjol, dan membentuk sekumpulan bakat terpendam yang bisa dilatih secara luar biasa. Baik Xiao Jingrui dan Yan Yujin juga memperoleh banyak jasa militer, tetapi karena kondisi hidupnya, Xiao Jingrui tak menerima hadiah apa pun.
(T/N: yang masih belum paham dari mana asal nama Changlin, jangan ngaku fans NiF!!)
Bagi rakyat, para menteri dan keluarga kekaisaran, ini merupakan sebuah kemenangan besar. Musuh yang kuat telah mundur, perbatasan telah distabilkan, dan perbaikan politis maupun militer meningkat pesat. Rumah-rumah yang telah dihancurkan di berbagai perfektur perlahan dibangun ulang. Dalam atmosfer sukacita dan penuh perayaan ini, rasanya seakan sebagian besar orang sudah melewatkan mereka yang telah menderita kekalahan dan sedang berkabung.
Namun Xiao Jingyan tidak lupa. Di dalam sebuah ruangan polos tanpa hiasan di Istana Timur, dia menghabiskan siang dan malam tanpa tidur, dengan sungguh-sungguh menyalin nama-nama semua orang yang telah tewas dalam medan perang, dimulai dari prajurit berperingkat terendah. Namun seringkali, ketika dia sampai pada nama yang terakhir, mau tak mau dia pun meletakkan kuasnya, dan berbaring seraya terisak di atas meja, tak sanggup mengendalikan kedukaannya yang mendalam. Bahkan Putri Mahkota yang tengah mengandung, yang berada di sisinya, tak mampu menghibur dan membujuknya.
Pada musim panas tahun ketujuh Yuan You, Nie Duo kembali dengan laporannya tentang situasi di Dong Hai. Mengenai pernikahan Nie Duo dengan Nihuang, Xiao Jingyan tak pernah memberikan restunya, dan barulah ketika Gong Yu memberikan kepadanya sepucuk surat tertulis dari Mei Changsu, Xiao Jingyan menyetujuinya tanpa bersuara. Setelah pernikahan, Ni Huang menyerahkan Pasukan Perbatasan Selatan kepada Mu Qing, yang telah mencapai usia dewasa, kemudian, setelah menemani Nie Duo memberikan penghormatan mereka kepada kuil leluhur Lin, mereka pun pergi ke garnisun perbatasan Timur, Haiphong.
Pada musim gugur tahun ketujuh Yuan You, Putri Mahkota melahirkan seorang bayi laki-laki. Tiga hari kemudian, Kaisar Liang mangkat. Setelah melaksanakan periode perkabungan selama satu bulan, Xiao Jingyan pun secara resmi naik tahta, menjadikan ibundanya, Selir Jing, sebagai Ibu Suri, dan Putri Mahkota dari Klan Liu sebagai Permaisuri.
Seperti yang telah diperkirakan, Xiao Jingyan mengangkat Ting Sheng sebagai putranya, dan menunjuk seorang cendekia ternama dan hebat untuk dengan seksama mengajarinya. Berkat kecerdasan, kegigihan, serta sifat Ting Sheng yang terus terang, Xiao Jingyan menyayanginya, jadi meski dia tak memiliki kedudukan sebagai pangeran, Xiao Tingsheng bisa datang dan pergi ke istana sesukanya, untuk mengunjungi Ibu Suri dan menghaturkan hormatnya.
Gao Zhan yang berumur panjang terus mempertahankan kedudukannya sebagai manajer kepala dari Istana Belakang, namun Ibu Suri telah dengan murah hati menganugerahkan pensiun kepadanya sehingga dia bisa menjalani masa-masa tuanya secara nyaman di istana tanpa perlu bekerja. Gao Zhan benar-benar menyayangi sang Pangeran Kecil, Yuxue, dan sering mengunjunginya di istana. Setiap kali Xiao Tingsheng menggendong sang pangeran kecil saat mereka bermain di luar, Gao Zhan akan bersikeras untuk terus mengawasi di samping.
“Gao gonggong, apa kau ingin menggendong dia?”
Melihat bagaimana pria tua berambut putih ini berdiri mengawasi dengan was-was, Tingsheng terkadang akan tersenyum dan mengajukan pertanyaan ini kepadanya, namun setiap kalinya, Gao Zhan akan membungkuk dan menggelengkan kepalanya, lalu berkata dengan nada melirih, “Ini adalah calon penguasa dunia. Pelayan tua ini tak berani menggendong dia….”
Ting Sheng hanya melewatkan saja jawaban ini, tak memedulikannya sama sekali, dan terus tertawa dengan sepenuh hati ketika dia menggoda sang pangeran kecil yang mengoceh, yang baru saja belajar berjalan.
“Melihat kedua kakak beradik ini, mereka tampaknya memiliki hubungan yang baik,” ujar ibu susu yang berdiri di samping. Mendongak menatap langit, dia melanjutkan, “Tetapi kita harus membawa dia masuk sekarang juga. Langitnya sangat mendung. Gao gonggong, apakah Anda merasakannya… anginnya naik?”
“Tidak, bukan anginnya yang naik. Lebih tepatnya, di dalam dinding istana ini… angin tak pernah berhenti…,” ujar sang kasim tua yang telah hidup hingga tiga dinasti, ketika matanya yang buram memicing.
————–
Versi Inggris bisa dibaca di: langyanirvana.wordpress.com/2021/01/28/chapter-174-part-2-final-chapter-rising-winds/