Nirvana In Fire - Chapter 112
Setelah semua urusan didiskusikan, Pangeran Jing berdiri untuk mengisyaratkan kesimpulan dari pertemuan. Dengan Pangeran Jing memunggungi dirinya, Mei Changsu mengambil kesempatan ini untuk melontarkan sebuah tatapan pada Meng Zhi dan memberi sinyal kepadanya. Sang Komandan Jenderal masih larut dalam pemikiran, memproses beragam analisa yang baru saja Mei Changsu utarakan, jadi dia tidak langsung mengerti apa yang Mei Changsu isyaratkan. Barulah saat Mei Changsu diam-diam menggerakkan mulut untuk mengucapkan kata-kata itu tanpa suara, Meng Zhi tiba-tiba teringat apa yang telah diinstruksikan untuk dia lakukan sebelumnya.
“Oh ya, Tuanku,” Meng Zhi buru-buru berkata saat Pangeran Jing sudah akan membuka pintu, “kali terakhir buku yang Anda bawa, ‘Melayang Melintasi Bumi: Sebuah Catatan’, apakah kebetulan Anda sudah selesai membacanya? Saya telah membolak-balik buku itu beberapa kali dan mendapatinya cukup menarik, jadi saya ingin membacanya untuk mendapatkan sedikit pandangan. Saya ingin tahu apakah Tuanku bisa meminjamkannya kepada saya selama beberapa hari?”
“Kenapa kau bertanya padaku? Pemilik dari buku itu adalah Tuan Su, kalau kau ingin meminjam buku ini, bukankah kau seharusnya bertanya kepadanya?” Pangeran Jing mengangkat alisnya, berkata, “Selama Tuan Su setuju, maka aku akan memberikannya padamu.”
Mei Changsu tersenyum, “Itu hanya sebuah buku, siapa pun yang menyukainya bisa mengambilnya untuk dibaca. Kalau Komandan Jenderal Meng tidak menyebutkannya, saya pasti sudah melupakannya.”
“Tapi, Jenderal Meng yang terhormat akan harus menunggu beberapa hari lagi,” Pangeran Jing berkata seraya tersenyum, “buku itu ada di tangan ibundaku – saat aku pergi untuk memberi salam kepadanya beberapa hari lagi, aku akan membawanya untukmu.”
Mei Changsu sedikit terlonjak, dan cukup terkejut, bertanya, “Bagaimana…. Kenapa bisa ada di tangan Selir Jing?”
Meski ibundaku biasanya pendiam, dia telah melakukan perjalanan ke banyak tempat sebelum memasuki istana. Sekarang karena dia berada di dalam istana dan tidak bisa pergi, dia sering merasa bosan dan karenanya menikmati membaca karya-karya tentang perjalanan. Buku Tuan Su merupakan hasil karya tulis yang begitu langka dan terperinci, jadi saat saya menunjukkannya, ibundaku jadi sangat tertarik dan ingin membacanya. Sekarang saat aku memikirkannya, dia telah membaca buku itu selama sekitar setengah bulan sekarang, dan pasti sudah hampir menyelesaikannya. Karena Jenderal Meng ingin membacanya, lain kali aku akan ingat untuk mengambilnya dari Ibunda.”
Meng Zhi bukan orang yang ingin membaca buku itu, alih-alih, Mei Changsu-lah yang menyuruh Meng Zhi meminta agar buku itu dikembalikan. Mendengar kata-kata Pangeran Jing dan melihat ekspresi di wajah Mei Changsu, Meng Zhi pun berpura-pura bersikap santai, namun mau tak mau merasa cemas. Dia tidak terlalu yakin apa yang tepatnya harus dikatakan, dan hanya merespon, “Oh,” bersama dengan, “Terima kasih,” sebelum meninggalkan lorong rahasia bersama dengan Pangeran Jing.
Saat Meng Zhi diam-diam memasuki kediaman Pangeran Jing, di luar sudah gelap, jadi sekarang sudah larut malam. Setelah berpamitan, Meng Zhi bersiap untuk pergi secepat dirinya masuk, namun saat dia baru saja mulai melangkah pergi, Pangeran Jing memanggil, “Tunggu sebentar.” Dia pun menghentikan langkahnya dan dengan cepat berbalik.
Bagaimanapun juga, setelah Pangeran Jing menghentikan Meng Zhi, dia tak bicara dalam waktu cukup lama. Setelah jeda panjang, perlahan dia bertanya, “Jenderal Meng, saat kau menanyakan buku itu, ‘Melayang Melintasi Bumi: Sebuah Catatan’, apa kau benar-benar ingin membacanya, ataukah seseorang lain telah memintamu untuk menanyakannya?”
Meng Zhi dibuat kelabakan oleh pertanyaan mendadak yang tak disangka-sangka ini, dan mau tak mau merasa terkejut. Untung saja, kata-kata yang dia ucapkan setelahnya sesuai dengan raut kaget di wajahnya, berujar, “Kenapa Tuanku berpikir begitu? Tentu saja saya mau membacanya! Memangnya Tuanku pikir siapa yang akan menyuruh saya menanyakan tentang buku itu? Selain dari kita, apa ada orang lain yang tahu bahwa Tuanku telah meminjam buku ini dari Tuan Su?”
Meski alasan atas keterkejutan Meng Zhi berbeda dengan yang dia utarakan, namun raut kaget di wajahnya memang asli, dan karenanya Pangeran Jing tak mempertanyakan apakah itu palsu. Mau tak mau dia merasa sedikit canggung, dan tersenyum seraya menjelaskan, “Aku hanya tak tahu kalau Jenderal Meng juga menikmati membaca, jadi aku hanya terpikirkan untuk bertanya. Tak usah terlalu memikirkan tentang pertanyaanku.”
Meng Zhi ikut tertawa dan berkata, “Saya adalah seorang seniman beladiri yang tak pernah punya urusan dengan buku-buku. Kalau bukan karena aya sudah membolak-balik beberapa halaman dan mendapatinya cukup menarik, saya takkan mau bertanya demi membacanya. Tak heran kalau Tuanku mendapatinya sedikit tak terduga….”
“Akulah yang telah bersikap tidak sopan.” Pangeran Jing sedikit menganggukkan kepalanya untuk minta maaf dan meneruskan, “Tak seharusnya aku menanyakannya dengan sikap seperti itu. Jenderal Meng tak perlu terlalu memikirkan tentang itu dan…. Tak perlu memberi tahu Tuan Su tentang ini….”
“Uh….” Meng Zhi tak bisa memahami apa yang sang Pangeran maksudkan, dan takut kalau dengan mengajukan lebih banyak pertanyaan lagi, dia akan mengucapkan sesuatu yang keliru dan nantinya akan disalahkan oleh Shu Kecil. Dia pun tertawa dan buru-buru berpamitan, pergi begitu cepat hingga tampak seperti terbang.
Begitu Meng Zhi sudah pergi, selama sesaat, Pangeran Jing duduk di bawah lentera tanpa melakukan apa-apa. Belakangan ini dia merasa seakan dirinya tak bisa memusatkan pikiran dengan sepenuhnya, dan malah keluar untuk menangani beberapa hal untuk militer dan para penjaga patroli Ibu Kota. Setelahnya, dia melatih ilmu pedangnya di kebun selama satu jam, dan barulah ketika sudah merasa lelah dia pun kembali ke kamarnya untuk beristirahat.
Keesokan paginya, Pangeran Jing memasuki istana untuk mengikuti sidang istana, namun administratif sidang mengeluarkan dekrit yang mengatakan bahwa Kaisar masih tak membuka sidang hari ini. Pangeran Jing lalu memasuki Istana Belakang lewat Gerbang Zhuque untuk mengunjungi ibundanya. Dia menghitung bahwa sudah lewat sekitar tujuh hari semenjak dirinya terakhir kali menjumpai Selir Jing. Pada beberapa kali terakhir, dia baru saja tiba di luar istana Selir Jing sebelum diberitahu bahwa Kaisar ada di dalam, dan dia pun hanya bisa membungkuk di luar istana sang ibunda, tak berani mengganggu mereka. Mendengar bahwa Kaisar tidak bersidang lagi hari ini, Pangeran Jing sudah siap kalau dirinya mungkin takkan bisa menjumpai sang ibunda lagi. Namun, begitu dia tiba di luar Istana Zhiluo, dengan cepat dirinya disambut untuk masuk oleh para pelayan.
Selir Jing menyambut putranya di ruang keluarga sehari-hari, Aula Xinuan, dan sedang mengenakan warna-warna muda serta riasan ringan seperti biasanya. Sang selir tersenyum lembut saat bertanya untuk memastikan bahwa putranya itu sehat dan baik-baik saja, kemudian memanggil pelayan untuk membawakan teh dan kue-kue yang telah dibuatnya sendiri. Dengan puas dia memandangi putranya makan.
“Kenapa Ayahanda Kaisar tidak berada di sini hari ini?” Pangeran Jing berkata santai saat dia memakan kue wijen hitam.
“Kudengar… Xia Jiang datang ke istana hari ini, untuk mendiskusikan beberapa urusan dengan Yang Mulia.” Selir Jing menjawab pertanyaan itu dengan singkat, lalu mengangsurkan semangkuk lagi puding kastanye kepada Pangeran Jing, berkata, “Cobalah ini, ini baru saja dibuat.”
“Setiap kali saya datang, Ibunda berlaku seakan saya tak punya makanan untuk dimakan di luar,” Pangeran Jing berkelakar, lanjutnya, “Semenjak saya bisa datang untuk mengunjungi Ibunda kapan pun saya kehendaki, saya jadi bertambah satu ukuran penuh.”
“Bagaimana kau bisa dibilang gemuk?” Selir Jing berkata lembut, “Sebagai seorang ibu, aku hanya takut kamu tidak makan dengan cukup.”
Puding kastanye itu disajikan dalam mangkuk yang sangat kecil, dan Pangeran Jing menghabiskannya dalam dua suapan. Dia menyeka mulutnya dengan serbet dan berkata, “Ibunda, buku yang saya bawa pada kali terakhir, ‘Melayang Melintasi Bumi: Sebuah Catatan’, apa Ibunda sudah selesai membacanya?”
“Aku sudah selesai membacanya. Apa kau ingin mengambilnya kembali?”
“Ada teman lain yang juga ingin membacanya.”
Selir Jing berdiri, dan dia sendiri yang berjalan ke arah rak untuk mengambilkannya. Tatapannya terpatri pada sampul buku itu selama sesaat sebelum menyerahkannya pada putranya.
“Ibunda…. Apa Ibunda benar-benar menyukai buku ini?”
“Ya….” Selir Jing tersenyum samar, lalu melanjutkan dengan penuh sesal, “Buku itu mengingatkanku pada masa lalu, dan memberikan suatu perasaan nostalgia…. Oh ya, catatan-catatan di pinggiran buku ini ditulis oleh Tuan Su yang sering kau bicarakan itu?”
“Ya.”
“Membaca catatan itu, sepertinya si penulis seharusnya adalah seorang pria muda cemerlang dan kesatria. Kenapa saat mendengar darimu, kesannya Tuan Su ini jadi penuh perhitungan dan manipulatif?”
“Tuan Su adalah orang yang memiliki banyak segi. Terkadang dia begitu manipulatif hingga menggigilkan hati saya, namun pada kali lainnya saya merasa kalau dirinya sangat mendalam.” Pangeran Jing menaikkan alisnya, bertanya, “Kenapa? Ibunda, apakah Ibunda mendapati kalau dia menarik?”
“Kamu punya ambisi besar, dan ingin membersihkan ketidakadilan yang dialami oleh kakandamu. Kau ingin mendukung rakyat dan memperbaiki sistem pemerintahan kekaisaran, dan aku sangat bangga padamu untuk hal itu. Sayangnya, aku lemah, dan tak bisa banyak membantumu. Aku hanya berharap bahwa ada seseorang yang setia dan mampu di sisimu untuk membantumu agar berhasil.” Mata Selir Jing berkilauan seperti pantulan di permukaan air, dan dengan lembut dia berkata, “Kupikir Tuan Su ini sangat baik, dia melepaskan jalan mudah untuk mendukung Putra Mahkota dan Pangeran Yu, dan sepenuhnya berdedikasi kepadamu. Kamu bisa melihat ketulusannya. Kamu selalu tak memihak, dan aku memiliki keyakinan padamu – jadi biasanya takkan ada apa pun yang perlu kuperingatkan kepadamu. Aku hanya merasa bahwa orang seberbakat Tuan Su itu sangat langka untuk ditemui, dan kau harus memperlakukan dia dengan lebih banyak rasa hormat ketimbang kepada yang lainnya. Tak peduli apa pun yang terjadi di masa mendatang, jangan pernah lupa kalau dia adalah orang yang telah membantumu sejak awal mula.”
Pangeran Jing mendengarkan tanpa bersuara, kemudian terdiam selama sesaat sebelum membuat kontak mata dengan ibundanya, dan perlahan berkata, “Ibunda sudah mengatakan ini kepada saya sebelumnya….”
“Ah?” Selir Jing cukup terkejut, dan berkata, “Apa?”
“Ibunda, tidak lama setelah Ibunda membaca buku ini, Ibunda secara spesifik menanyaiku siapa yang telah menuliskan catatan-catatan di pinggiran buku ini. Setelah itu, Ibunda mengingatkan saya untuk bersikap hormat dan baik kepada Tuan Su, dan untuk mengandalkan serta memercayai dia…. Bagaimana bisa Ibunda berpikir untuk mengungkit hal ini lagi? Kecuali Ibunda takut kalau saya akan lupa?”
“Oh, benarkah….” Selir Jing menertawai dirinya sendiri, dan dengan lembut menyeka mulutnya dengan sapu tangan, berkata, “Saat orang menjadi tua, mereka jadi semakin dan semakin pelupa. Hal-hal yang sudah pernah kukatakan sebelumnya, aku mengulanginya beberapa kali. Sepertinya, aku benar-benar sudah semakin tua….”
Pangeran Jing buru-buru berdiri dan membungkuk, berkata, “Ibunda, Ibunda masih luar biasa dan makmur, kenapa malah mengatakan hal seperti itu?? Ini semua karena saya telah salah bicara, harap maafkan saya.”
“Baiklah,” Selir Jing tersenyum padanya seraya tertawa kecil, “Aku adalah ibundamu, kenapa jadi tampak begitu ketakutan? Kamu sudah tumbuh dewasa dan ambisius serta bertanggungjawab. Aku sangat bangga. Tak peduli apa pun yang terjadi di luar, selama kau menjaga dirimu sendiri dan tetap aman, itu sudah cukup bagiku.”
“Baik.” Pangeran Jing sudah hendak menghibur ibundanya lebih banyak lagi, saat seorang dayang muncul di luar pintu masuk, dan memanggil, “Ada sesuatu yang perlu saya laporkan kepada Selir Jing.”
“Masuklah untuk bicara.”
Si dayang berjalan masuk dengan mata tertunduk, lalu berlutut, melapor, “Balai Wuying baru saja mengirimkan kabar bahwa Yang Mulia sedang dalam perjalanan kemari, harap bersiap-siap untuk menyambut Beliau.”
“Mengerti, kau boleh pergi sekarang.” Selir Jing perlahan berdiri, dan pergi mengambil dua kotak kue untuk diberikan kepada Pangeran Jing. Sang selir berkata padanya, “Aku telah mempersiapkan kue-kue herbal ini, satu kotak unutkmu, dan yang satu lagi untuk Tuan Su. Ini mewakili rasa terima kasihku untuknya atas kerja kerasnya dalam membantu putraku.”
Pangeran Jing mengerutkan bibirnya dan menumpuk kedua kotak itu satu di atas yang lainnya, memegang keduanya dengan satu tangan saat dia memakai tangan lainnya untuk mengambil bukunya. Dengan semua benda itu berada di tangannya, dia pun membungkuk pada Selir Jing, dan perlahan berjalan pergi. Untuk menghindari berpapasan dengan Yang Mulia, Pangeran Jing dengan sengaja memakai pintu samping dan melangkah menyusuri jalan memutari Paviliun Huaisu, pergi ke arah yang berbeda dari Gerbang Zhuque sebelum akhirnya tiba di keretanya, yang telah lama menunggu dirinya.
Begitu dia melangkah masuk ke dalam keretanya, Pangeran Jing meletakkan kedua kotak itu ke samping, dan mengeluarkan buku ‘Melayang Melintasi Bumi: Sebuah Catatan’. Dibolak-baliknya buku itu berkali-kali, secara khusus berfokus pada catatan-catatan Mei Changsu di pinggir halaman. Berulang kali dia memandangi setiap kata dan kalimat yang ditulis oleh Mei Changsu, membacanya secara jauh lebih mendetil daripada biasanya. Namun tak peduli bagaimana pun dia membacanya, dia tak bisa menemukan makna apa pun yang lebih mendalam, dan pada akhirnya, hanya bisa melemparkan buku itu ke samping tanpa daya.
Sebenarnya apa yang begitu aneh tentang buku ini? Pada awalnya, saat dia tanpa sengaja meminta untuk meminjam buku ini dari Mei Changsu, mendadak ada pergolakan dalam ekspresi Mei Changsu. Seakan ada seberkas retakan telah muncul pada lembaran es ribuan tahun, atau sebuah kilasan cahaya dari pintu rahasia yang terlihat di ujung lorong yang panjang dan gelap. Meski ekspresi itu menghilang tanpa jejak dalam sekejap, Xiao Jingyan langsung tahu bahwa pasti ada sesuatu dalam buku ini.
Tapi apa kemungkinan itu? Apa yang bisa membuat Mei Changsu, yang takkan mengubah ekspresinya bahkan bila Gunung Tai runtuh menjadi longsoran di depannya, jadi memiliki perubahan ekspresi seperti itu? Apa yang bisa membuat Jenderal Meng Zhi, yang tak pernah berminat untuk membaca, sampai menanyakan tentang buku ini? Yang paling penting, apa yang bisa membuat ibundanya, yang telah dengan acuh tak acuh hidup di kedalaman Istana Belakang selama lebih dari sepuluh tahun, jadi berulang kali menanyakan dan memedulikan tentang seorang penasihat yang tak pernah ditemuinya sebelumnya?
Pangeran Jing tahu, bahwa bila bahkan ibunda tersayangnya sampai dengan sengaja menghindari topik, maka mustahil baginya untuk menanyakan kepada orang lain tentang kecurigaannya. Bahkan bila dirinya memang bertanya, kemungkinan besar dia takkan mendapatkan kebenaran yang dicarinya. Bila dia ingin kebingungan ini dijernihkan, dia akan harus memikirkannya sendiri.
Xiao Jingyan mengambil buku yang telah dilemparkannya ke samping itu, dan membolak-balik kembali halamannya dengan seksama. Bahkan setelah dia dengan hati-hati berusaha membalik dan menyusun ulang karakter-karakter dan kalimat-kalimat di catatan kaki yang dituliskan oleh Mei Changsu, dia masih tak menemukan sesuatu yang istimewa.
Ketika keretanya memasuki gerbang utama kediaman Pangeran Jing, Xiao Jingyan mendesah tanpa daya dan menutup buku itu, lalu melompat turun dari kereta.
Saat seorang pelayan datang untuk membantunya melepas ikatanjubahnya, dia pun menyerahkan buku itu pada si pelayan dan memerintahkan, “Suruh orang untuk membawa ini ke kediaman Jenderal Meng, dan minta dia menerimanya.”
“Baik.”
Pangeran Jing berjalan beberapa langkah menuju ruang belajar, kemudian tiba-tiba teringat, menghentikan langkahnya, dan berkata, “Ada dua kotak kue di dalam kereta, bawa keduanya ke kamarku.”
“Baik.”
“Suruh Jenderal Lie, Jenderal Ji, Penasihat Liu, serta Inspektur Wei untuk datang ke ruang belajarku.”
“Baik!”
Pangeran Jing mendongak menatap langit, menghela napas dalam-dalam, dan mendorong semua kebingungannya ke bagian belakang kepala. Mengumpulkan kembali semangatnya, dengan penuh percaya diri dia berjalan menuju ruang belajarnya.
Tepat pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar pintu, dan seorang prajurit berlari masuk, melapor seraya terengah, “Dekrit kekaisaran dari Yang Mulia sudah tiba! Tuanku, silakan pergi untuk menerima dekrit….” Setelah dia selesai mengucapkan ini, si prajurit membersihkan tenggorokannya, dan menambahkan dengan penuh semangat, “Yang kemari untuk mengantarkan dekritnya, adalah Kepala Kasim Griya dari Griya Upacara Kekaisaran.”
Pangeran Jing langsung mengerti, dan mau tak mau merasakan serbuan rasa gembira. Akan tetapi, dia tetap tenang dan terkendali, dan hanya menunjukkan seulas senyum samar. Dia belum mengganti pakaian resmi istananya, jadi tak perlu menunda lebih lama lagi, dan karenanya buru-buru pergi ke luar.
Orang yang mengantarkan dekrit istana memang adalah Kepala Kasim Griya dari Griya Upacara Kekaisaran, yang mengenakan seragam resminya dan terdapat seulas senyum cerah di wajahnya. Setelah mereka saling bertukar sapa, Pangeran Jing berjalan ke dalam bersamanya. Pengurus rumah sudah mempersiapkan ruang altar dengan gembira, dan setelah mereka masuk, si Kepala Kasim Griya membuka dekrit kekaisan dari sutra kuning dan membacakan dengan lantang, “Atas nama Langit, Kaisar bertitah: Pangeran ketujuh, Xiao Jingyan, jujur, tulus, dan berbakti. Dirinya berbudi luhur dan kesatria, setia dan berani, juga telah memiliki pencapaian besar. Karena ini, dia dianugerahkan gelar Pangeran Qin Lima Mutiara. Silakan menerima dekrit dan kehormatan ini!”