Like Wind on A Dry Branch - Chapter 123
Di tengah kegelapan, di sebuah koridor yang kosong.
Rietta, berjalan sambil memegangi gaun panjang putihnya, berhenti dan berbalik pada suara yang datang entah dari mana.
“Warisan… besar….” Suara samar itu berbisik dari arah lain.
Rietta berjengit dan berbalik ke arah datangnya suara itu.
‘…?’
Namun dia berakhir dengan mencari berputar-putar karena tak bisa menemukan arahnya. Suara itu terdengar seperti datang dari tempat yang dekat sekaligus jauh.
“Kekuatan… mu….” Bisikan itu datang lagi dari arah lain. “Adalah… tugas suci….”
Suara itu tidak memiliki personalitas, seperti tulisan pada kertas alih-alih ucapan manusia.
Rietta kembali berbalik ke ara datangnya suara itu. Apa… katamu?
Dia tak mendengar tanggapan, tetapi perlahan bisikan-bisikan itu mengelilingi Rietta seakan dirinya berada di tengah-tengah kerumunan. Gumaman-gumaman yang datang dari semua arah itu bergetar samar.
“Hanya… bisa….” Suara tak dikenal itu berbisik seperti ukiran pada sepotong kaca. “Jangan… langgar janji….”
Rietta menatap nanar ke udara kosong. Dia kembali melihat sekelilingnya, hanya untuk mendapati kegelapan di mana dia tak bisa merasakan apa-apa.
Siapa di sana? Suara Rietta terdengar asing seperti orang luar. Suara itu tak bercampur dengan suara-suara latar belakang kerumunan.
Dia merasa seakan suara-suara tak dikenal itu, mengelilingi dirinya seperti penonton, sedang mengamatinya. Dia memeluk dirinya sendiri ketika merasakan hawa dingin menjalar ke sekujur tubuhnya.
Rietta meragu sejenak sebelum kembali bertanya, Kau bicara denganku?
Lagi-lagi, tak ada jawaban.
Dia berdiri diam di depan kegelapan.
‘.…’
Tepat ketika Rietta sudah akan melangkah maju sambil memegangi gaunnya, sesuatu yang gelap mencengkeram pergelangan kakinya.
Mata Rietta tersentak membuka. Dia merasakan sesuatu menggelincir menuruni kakinya diikuti oleh sesuatu yang terjatuh dari tangannya. Rietta berjengit dan mengerjap, dikejutkan oleh debum menggema dalam kesunyian hitam pekat.
Butuh waktu beberapa detik baginya untuk memperoleh kembali akal sehatnya dan menyadari suara apa itu. Dia telah menjatuhkan buku yang sebelumnya dia baca – sebuah buku tentang Lembah Naga.
Lilin-lilin sudah tertiup padam ketika dirinya terbangun di tengah malam.
kapan aku ketiduran? Aku tak merasa mengantuk.
Rietta mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar tidurnya yang ditelan kegelapan. Tadi dia sedang membaca di mejanya lalu pindah ke kursi lain untuk mengganti sesuatu. Dia pasti ketiduran setelahnya.
Rietta merunduk dan meraba-raba lantai untuk mencari buku itu tapi tak bisa langsung menemukannya dalam ruangan yang gelap.
Sejenak dia berdebat soal menyalakan lilin sebelum memutuskan untuk mengaktifkan kekuatan sucinya saja. Dia berniat memakai cahaya putih samar yang dikeluarkan oleh kekuatan itu.
Byaar!
Akan tetapi, dia kehilangan kendali atas energi yang rencananya hendak dia keluarkan sekedarnya. Energi itu memancar dramatis seperti sambaran petir.
“Ugh…!” Langsung dibutakan dan dibuat sesak napas, Rietta menarik napas tajam ketika dirinya kehilangan keseimbangan dan terjatuh dari kursi.
Buk.
Bukunya, yang tersenggol oleh tangannya yang berayun-ayun, menggelincir makin jauh.
“.…”
Sejak memperoleh kekuatan penyembuh, terkadang dia mengalami kelebihan aliran kekuatan suci yang tak terkendali seperti membuka pintu tanggul ketika kekuatannya membesar secara berlipat ganda.
Rietta menghembuskan napas tajam, menyeringai, dan berjuang untuk menekan kekuatan suci yang menyembur keluar tak terkendali dari tubuhnya.
Upayanya tak bekerja seperti harapannya.
Bahkan waktu juga mulai terulur ketika energi suci yang luar biasa besar menguatkan indera-inderanya. Sensasi ini mengingatkan dirinya pada saat-saat ketika melakukan upacara pemberkatan besar waktu itu.
Dirinya jadi sangat menyadari akan gerakan naik dan turun dari tulang rusuknya ketika dia menarik dan menghembuskan napas, udara yang mengalir masuk dan keluar dari paru-parunya. Semuanya menempel pada indera penyentuhnya yang luar biasa tajam, dari setiap kerutan gaun malam yang menyentuh kulitnya hingga setiap halaman buku yang telah terdorong hingga ke sudut.
Secara refleks Rietta mencari-cari ke sekelilingnya sambil berusaha mengendalikannya dengan ketenangan diri.
Dia menemukan sebuah obyek yang bisa membantunya pada saat itu, yang diletakkan di bagian atas meja rias tak jauh dari tempatnya berada.
Menopang dirinya sendiri pada dinding, perlahan Rietta mendekati benda itu dan mengulurkan tangannya. Tak lama setelahnya, benda itu pun terjatuh ke tangannya.
Begitu dia menggenggamnya, kekuatan suci tak terkendali itu pun mengalir keluar dari tangannya yang bersentuhan dengan benda itu. Rietta tak melewatkan kesempatan itu. Dia menggenggam erat benda itu dan dengan paksa mengekang masuk kekuatan suci yang berpusar-pusar.
Byaar! Suatu zat yang berkelip-kelip berpencaran ketika pusarannya padam seketika. Waktu kembali ke kondisi semula dan berjalan seperti normal.
“Fuuh….” Terhuyung karena vertigo ringan, Rietta menghembuskan napas lega pelan dan menunduk menatap benda yang tergenggam erat di tangannya.
Payung pemberian Lana memancarkan cahaya putihnya. Hanya sisa-sisa dari cahaya samar itu yang bertahan di udara dan menerangi kamar tidur yang gelap.
Kekuatan suci yang liar itu menekan dirinya sendiri sesuai bentuk payungnya dan pudar seketika.
Rietta teringat ketika dia menggenggam khakkhara di Kuil Agung Havitas. Kemudian dia menunduk menatap payung di tangannya.
Senjata-senjata suci yang diproses untuk menampung kekuatan suci membantu dengan menguatkan atau mengendalikan kekuatan itu.
Peralatan semacam itu tidak dibutuhkan ketika menggunakan kekuatan sihir kecil-kecilan untuk penggunaan sehari-hari, seperti pemberian berkat sederhana, pemurnian, atau penyembuhan. Akan tetapi, sungguh merupakan hal menantang untuk mengendalikan kekuatan suci sesuai dengan keinginan ketika menangani kekuatan suci yang lebih besar, seperti menjalankan upacara pemberkatan besar atau menghadapi iblis. Inilah sebabnya kenapa kepala pendeta atau peziarah yang menjalankan ritual akan memakai tongkat atau senjata yang bisa menampung kekuatan suci.
“.…”
Sebenarnya, Rietta telah beranggapan kalau Lana sedang bercanda dengan payung yang bisa berfungsi ganda sebagai senjata sihir. Akan tetapi, secara mengejutkan hadiah itu ternyata praktis juga.
Rietta merasakan kekuatan sucinya yang tidak stabil kembali tenang hanya dengan menggenggam payung itu. Dia merasa lega karena benda tersebut membantunya memecahkan masalah.
Tubuh Rietta telah mengalami pertumbuhan kekuatan suci yang luar biasa semenjak kekuatan penyembuhnya mewujud. Mungkin karena pengalamannya pernah berperan sebagai kepala pendeta di Kuil Havitas, dirinya telah menekan sejumlah kekuatan yang sulit untuk dikendalikan.
Pengalaman di Kuil Havitas rupanya telah meninggalkan tanda pada Rietta dalam banyak cara.
Meski merupakan hal baik jika memiliki kekuatan suci, kekuatan itu tak berguna ketika yang bersangkutan tak mampu mengolahnya ke bentuk-bentuk yang diinginkan. Kekuatan suci yang berlebihan juga bisa mengacaukan indera dan menghancurkan tubuh.
Rietta menatap payungnya sambil menggenggam gagangnya dengan kedua tangan, seakan menatap inkarnasi dari kekuatan suci.
“Oh Dewi, cangkirku sudah penuh,” dia menggumam. Baik payung maupun sang Dewi tidak ada yang merespon.
Rietta tersenyum lemah dan menjinakkan sisa kekuatan sucinya. Kekuatan itu, yang bergetar di sekitar payung yang bersinar putih, kembali tenang di bawah kendalinya.
Memiliki senjata jelas membuatnya lebih mudah dalam mengendalikan kekuatan suci.
Haruskah aku membawa-bawa payung ini bersamaku?
Belakangan ini kekuatan sucinya telah sering berpusar tak terkendali tanpa disadari.
Rietta meletakkan payungnya di dekat ranjang, di suatu tempat lebih dekat yang ada dalam jangkauannya.
“.…”
Khakkhara di Kuil Agung adalah salah satu benda suci terberkati paling terkenal dan kuat di benua ini. Akan tetapi, payung ini sebanding dengan khakkhara tersebut dalam bagaimana benda itu pas pada genggamannya dan mengendalikan kekuatan suci dengan mudah.
Dia mengambil payung itu dan mengamatinya dengan kekuatan sucinya untuk berjaga-jaga, tapi payung itu ternyata bukan benda suci.
Payung itu sendiri tampaknya seperti sebuah senjata suci biasa dengan sihir lemah bahkan meski benda tersebut sedang bergetar dengan tubuh hangat karena kekuatan suci yang masih bertahan di dalamnya. Dan energi familier yang Rietta rasakan pastilah sihir anti maling dari Lana.
Memungut buku yang terjatuh di lantai, Rietta memiringkan kepalanya dengan penasaran. Omong-omong, kupikir aku bermimpi.
Dia lupa tentang apa mimpinya itu. Samar-samar dia teringat seseorang berusaha mengatakan sesuatu kepadanya berulang kali.
Tak ada yang tertinggal dalam ingatannya, termasuk suara itu, apa yang dikatakan, dan apakah dirinya bahkan bermimpi.
Rietta meraba tengkuknya untuk berpikir, kemudian mengabaikannya tak lama setelah itu. Dia menyalakan lilin dan kembali membuka bukunya.
****
Duk.
Killian menutup buku yang dipegangnya. Diarahkannya mata merah dinginnya ke bawah.
Ferdian Sevitas, sekarang Count Calligo….
Dia memiliki gelar tingkat tinggi. Ini karena kediaman Calligo adalah wilayah yang bagus.
Wilayah itu merupakan rumah bagi Kuil Barat Lenatus. Sebuah serangan dari sesosok iblis wabah tingkat tinggi telah memusnakan seluruh wilayah itu termasuk keluarga sang penguasa bertahun-tahun yang lalu, namun lokasi bagus dan tanah yang subur telah membuat wilayah itu dengan cepat menarik para pedagang dan sebagian besarnya telah pulih kembali.
Namun gelar incaran banyak orang yang telah dikembalikan ke istana kekaisaran tersebut malah diberikan kepada Ferdian, seorang cendekia biasa.
Mengetukkan ujung-ujung jemarinya pada sandaran tangan, Killian memejamkan mata merahnya yang tanpa emosi lalu membukanya kembali.
Setiap alibinya sempurna, seperti yang sudah diperkirakan. Kalau tidak, Ferdian takkan berani mengambil inisiatif. Sudah bisa diperkirakan juga kalau ada seseorang di belakangnya.
Meski Killian punya waktu untuk mencari tahu apakah cerita Ferdian memang benar, pada saat ini dia tak bisa menemukan alasan untuk mempermasalahkan hal tersebut.
Akan tetapi, alasan kenapa Ferdian Sevitas bisa tinggal di Axias sudah lebih dari sekedar menyinggung.
Kau ingin menyelamatkan Rietta dari tiran berdarah dingin yang membeli dirinya untuk dijadikan mainan.
Menurunkan buku di tangannya, Killian bersandar pada kursi yang keras.
“.…”
Dia tak pernah merasa tersinggung pada fakta bahwa orang lain telah menjaga dan menghibur Rietta. Bahkan saat wanita itu mendorongnya menjauh dengan alasan sebagai seorang janda yang masih berkabung atas kematian suaminya, Killian tak pernah merasa tidak nyaman karena Jade masih punya tempat di dalam hati Rietta.
Walaupun dirinya sudah nyaris kehilangan akal sehat ketika bertemu dengan Ferdian di rumah Rietta, dia telah berniat memaafkan pria itu sebanyak yang Rietta inginkan setelah mendengarkan tentang cerita mereka.
Kalau di masa lalu seseorang ada untuk Rietta, dan kalau penderitaannya berkurang berkat mereka, maka tak menjadi masalah siapa yang pada waktu itu ada di sekitar Rietta. Tidak masalah.
Akan tetapi, kasus yang ini berbeda.
“Kalau Anda mengizinkan saya, saya akan membayar hutangnya.”
“Saya akan membayar hutang yang telah dibatalkan… dan Anda tak perlu menyuruh Rietta pergi. Saya memohon belas kasihan Anda untuk Rietta.”
“Dan jikadiperbolehkan, saya mohon… kalau dia pernah, pada saat kapan pun di masa mendatang, membuat Anda merasa tidak nyaman atau jika Anda tak lagi menginginkan dirinya…. Mohon jangan membunuhnya tetapi berbelaskasihanlah untuk melepaskan dirinya….”
“Inilah satu-satunya permintaan saya.”
“Saya datang untuk meminta kemurahan hati ini dari Anda.”
Ferdian, berusaha sebaik mungkin untuk mempertahankan raut terkendali, sudah kehilangan ketenangannya. Dia telah menyebut Rietta dengan nama kecilnya lagi karena dia lupa menambahkan sebutan ‘Nona’ atau ‘Pemberi Berkat’.
“.…”
Apakah ini adalah demonstrasi persahabatan mendalam serta niat baik? Atau…. Killian menyangga daggunya seraya menatap ujung mejanya. Ferdian. Bagaimanapun juga kurasa kau memang peduli pada orang-orangmu.
Dia teringat pada bagaimana Ferdian telah membela Cedric Caballam padahal dia sendiri seperti sedang berjalan di atas seutas tali, seakan hendak membantu mewakili si pelayan bahwa si pelayan telah dengan setia menjalankan tugasnya.
Ferdian berkali-kali telah menambahkan alasan yang tidak penting, bahwa Cedric telah terus-terusan memberitahunya bahwa Rietta sudah mati, dan bahwa dia telah menemukan kebenarannya bukan lewat Cedric Caballam melainkan lewat desas-desus.
Walaupun dia bisa saja mengesankan dari penampilan Cedric bahwa kemungkinan besar dirinya telah dibujuk untuk berbohong, Ferdian tidak berkata demikian.
Bahkan tidak terasa lucu bagi Killian bahwa Ferdian telah membela Cedric Caballam.
Apa dia pikir dirinya akan diperlakukan dengan lebih baik dari Cedric Caballam? Apa dia percaya kalau aku takkan menyentuh seorang delegasi Kaisar?
Dia telah menampar Ferdian tepat di wajah dengan pedangnya begitu mereka bertemu kembali..
“.…”
Dan di sinilah dia berada, mengingat-ingat kembali dan mencurigai setiap patah kata yang diutarakan oleh Ferdian yang punya niat baik demi kepentingan Rietta.
Tak mungkin. Dia tak mungkin mengucapkan yang sebenarnya. Di sinilah dia berada, mati-matian berusaha mencari-cari kesalahan atau cela pada cerita Ferdian karena tak mungkin pria itu benar-benar peduli pada Rietta.
Ferdian itu tak lebih dari seorang penjahat menyedihkan.
Jauh di dalam hati Killian tahu kalau orang lain akan memandang hubungannya dengan Rietta – seorang wanita yang dijual sebagai seorang selir untuk ditukarkan dengan nyawanya, dan seorang pria yang telah membelinya sebagai ganti pembayaran hutang. Jelas sekali.
Tak ada keraguan tentang bagaimana dunia akan memandang seorang tiran berdarah ningrat yang telah membunuh dua orang saudaranya.
Kesemua fakta ini membuat Killian merasa terhina. Dia merasa seakan seseorang telah menuangkan seember air dingin pada dirinya entah dari mana.
Mungkin Sang Duke Agung dan Pemberi Berkat adalah tentang seorang wanita cantik tak berdosa yang terkurung di dalam kastel serta seorang penjahat terkutuk yang mengurungnya.
Dengan pola pikir itu, tidak kedengaran aneh jika seorang kesatria pemberani muncul untuk menyelamatkan dirinya. Lagipula, sebagian besar kesatria bukanlah pembunuh berantai yang memenggal dan melemparkan kepala saudara-saudaranya sendiri ke depan kaki orangtua mereka. Dijamin, para cendekia kutu buku juga bukan seorang kesatria yang hebat.
Killian tersentak sadar dari aliran pikirannya. Dia tersenyum miring dan melemparkan buku itu ke atas meja.
Aku bukan lagi seorang bocah remaja. Apa-apaan dengan semua melodrama itu? Malam musim gugur memang memiliki kekuatan semacam itu terhadap orang-orang.
Killian sudah akan berdiri dengan tempat lilin di tangannya ketika gerakannya berhenti.
Dia mendengar suara desir samar – keberadaan dari seseorang yang familier.
Pintu menceklik terbuka, diikuti oleh pekikan cepat, “Ah, Anda mengagetkan saya di sana.”
Wanita itu berjengit, menghembuskan napas tajam, kemudian mengangkat tangannya ke depan dada.
“Tuan…?” wanita itu memanggilnya.
Wanita yang dia cintai, memanggil dirinya.