Grave Robber Chronicles - Chapter 75
Aku memeriksa semua peralatan yang ada di atas kapal dan mendapati kalau semuanya kelihatan normal. “Sepertinya kapalnya bisa bekerja dengan baik,” ujarku pada Pangzi, “dan tidak kelihatan seperti kalau telah terjadi sesuatu. Apa menurutmu mereka ditangkap oleh Penjaga Pantai dan semua orang ditangkap?”
Pangzi menggelengkan kepalanya tidak setuju dan berkata, “Tidak benar. Kalau semua orang ditangkap, maka kapalnya juga pasti akan ditarik kembali. Apa gunanya meninggalkan kapal ini di sini? Ini jelas tak ada hubungannya dengan Penjaga Pantai. Tapi area ini kacau dan kelihatan seperti kalau kapalnya telah digeledah. Ayo kita ke kabin barang dan periksa di sana. Kalau semua barangnya hilang, maka berarti mereka bertemu bajak laut.”
Aku tahu soal bajak laut – sang kapten pernah memberitahuku banyak hal tentang mereka saat aku pertama kali naik ke kapal – tapi aku selalu merasa kalau cerita-cerita itu tak mungkin benar. Itu jugalah sebabnya kenapa aku agak terkejut ketika mendengar Pangzi mengatakan hal ini. “Walaupun tempat ini berada di laut, jaraknya dengan daratan tak terlalu jauh. Apa bajak laut bisa benar-benar berkeliaran seenaknya begini?” kutanya kepadanya.
Pangzi tertawa pada kepolosanku, “Ah, masih sangat muda. Apa kau benar-benar berpikir kalau Pasukan Pembebasan Rakyat itu benar-benar tak terkalahkan? Ada saat-saat ketika harimaunya ketiduran. Biar kukatakan padamu. Di laut ini, ada orang Vietnam, Jepang, dan Malaysia. Walaupun di permukaan tidak kentara, sebenarnya ada arus bawah di sini. Andai saja kau tahu ada berapa banyak obat-obatan terlarang yang telah melewati wilayah perairan ini dan berapa banyak penyelundupan dan perampokan telah terjadi dalam hitungan hari. Ditambah lagi, ada kapal-kapal bajak laut yang penuh dengan awak bersenjata. Bukan hal tidak lazim bagi suatu kapal tanpa nama muncul di sini.”
Begitu kami berjalan memasuki ruang kargo, kami bisa mencium aroma daun teh. Dengan Pangzi berjalan di depan dan aku di belakang, kami berdua mulai memeriksa sekeliling – semua peralatannya masih berada di tempat yang sama persis dengan ketika kami pertama masuk ke dalam air. Bahkan ada sebuah cangkir teh tergeletak di atas salah satu ranjang. Aku menyentuhnya dan berkata, “Ini aneh banget. Cangkirnya masih hangat.”
Pangzi tersenyum pasrah dan berkata, “Hal-hal aneh terjadi tiap hari, terutama semua hal yang telah terjadi hari ini. Mungkin seluruh kru kapal dibawa pergi oleh hantu?”
“Mereka baru menyesap sedikit teh ini tapi masih memasang tutupnya,” ujarku. “Ini menunjukkan kalau mereka pergi dengan terburu-buru tapi tidak panik. Dalam situasi apa kau akan pergi dengan terburu-buru tapi tidak panik?”
Pangzi mengangkat bahu dan bilang kalau dia tak tahu. Aku memikirkannya sejenak tapi tak bisa membayangkan apa yang mungkin telah terjadi di sini. Ketika aku lanjut memikirkannya, kami berjalan kembali ke ruang kemudi. Pangzi memungut mikrofon pengirim pesan dan memanggil bantuan keras-keras beberapa kali tapi tak ada seorang pun yang merespon. Pada saat ini, aku melihat sebuah radio tergeletak di samping. Aku menyalakannya dan langsung mendengar suara peringatan topan yang dikeluarkan oleh stasiun radio nelayan Taiwan.
Ketika tadi kami memanjat naik ke kapal, kami sudah bisa merasakan anginnya semakin kuat tapi saat ini sudah senja sehingga kami tak bisa melihat terlalu jauh. Aku tak bisa mengerti beberapa istilah dalam peringatan topannya, tapi kalimat terakhirnya sangat jelas: “Kami minta kapal mana pun yang masih ada di laut segera berlindung di pelabuhan terdekat.” Kata-kata itu ditekankan beberapa kali.
Aku dan Pangzi saling berpandangan dengan ekspresi gelap di wajah kami. Mulanya, pada saat ini kami takkan perlu mencemaskan apa-apa karena tentu saja akan menemukan jalan untuk menyelamatkan diri. Tapi sekarang, semua orang di atas kapal sudah pergi. Tampaknya Langit memang sedang mempermainkan kami.
Pangzi melihat jam tangannya dan berkata, “Kelihatannya kita tak bisa tetap berada di sini dan menunggu saja. Dengan kapal bobrok kecil ini, kita akan dilontarkan tinggi ke langit dalam hitungan menit. Pertama-tama aku akan bawa kapalnya menjauh. Kalau kita bertemu dengan topan, kita akan menunggang gelombang sebaik mungkin. Tapi kalau kita tetap tinggal di sini dengan semua karang ini, gelombang pasti akan menghantamkan kita ke situ. Kau pergilah dan naikkan jangkarnya.”
Setelah berkata demikian, dia menyalakan rokok dan mulai mengutak-atik beberapa peralatan di situ. Pergerakannya membuat dia kelihatan seperti mengetahui apa yang sedang dia lakukan, yang kudapati agak mengejutkan. “Memangnya kau tahu cara mengendalikan kapal?” Aku bertanya kepadanya. “Ini bukan main-main. Kita berempat akhirnya berhasil keluar tapi kita semua akan jadi makanan ikan kalau kau sampai membuat kita menghantam karang.”
Pangzi tersenyum padaku dan berkata bahwa dia punya keahlian tak terbatas – bukan hanya dia bisa mengendalikan kapal tapi juga bisa menerbangkan pesawat. Semua yang perlu dia lakukan adalah mengutak-atik sedikit peralatannya.
Aku tak tahu apakah dia serius atau tidak, jadi aku masih sangat cemas. Dengan lihai Pangzi menyalakan mesin dan memberitahuku bahwa ketika dia ambil bagian dalam Pergerakan Turun Desa, dia adalah pemimpin kelompok dari sebuah tim pemancing jadi dia masih tahu bagaimana cara melakukan beberapa hal dasar. Selain itu, ketika dia pertama kali naik ke kapal ini, dia sudah melihat bagaimana mereka menjalankannya dan memiliki pemahaman umum tentang apa kegunaan semua barang canggih ini. Dia tak merasa kalau akan ada masalah untuk mengendalikan kapal ini pulang asalkan kita tidak bertemu dengan badai besar.
Belakangan aku mendapati bahwa yang dia sebut-sebut sebagai ‘pemimpin kelompok tim pemancing’ sebenarnya hanyalah dia mengendalikan rakit bambu di sungai gunung sementara yang lainnya memancing, namun pada saat itu, keyakinan teguhnya telah meyakinkanku bahwa dia tidak sedang mengakaliku. Alhasil, aku benar-benar memercayai apa yang telah dia katakan dan berlari untuk mengangkat jangkarnya.
Setelah kapal mulai bergerak, Pangzi memberitahuku agar membiarkan dia sendirian, berkata bahwa dia perlu berkonsentrasi karena kami masih ada di area berbatu karang. Aku melihat keringat membasahi dahinya serta tatapan tegang di wajahnya dan tahu kalau dia sedang serius, jadi aku berjalan kembali ke dek.
Muka Datar sedang menggosok tangan A Ning untuk berusaha meningkatkan peredaran darahnya. A Ning tampak sedikit lebih baik daripada ketika kami pertama kali naik ke kapal tapi wajahnya masih pucat dan napasnya pendek-pendek dan kacau. Muka Datar mengangguk ketika aku bertanya bagaimana keadaan A Ning jadi aku berasumsi kalau ini bukan hal yang serius.
Aku mengeluarkan beberapa makanan kering dan membagikannya untuk dimakan semua orang. Walaupun kami belum keluar dari bahaya, sekarang aku mulai merasa rileks karena akhirnya aku kembali ke tempat yang kukenal setelah melalui begitu banyak pengalaman berbahaya. Kemudian aku mulai mengantuk, jadi aku mengganti pakaianku, membungkus diriku dengan selimut, dan terkantuk-kantuk di luar ruang kemudi.
Mulanya aku berencana untuk tidur selama beberapa jam dan kemudian melihat apakah Pangzi ingin aku mengambil alih, tapi ternyata aku tak sesuai dengan harapan. Ketika akhirnya aku terbangun, ternyata sudah keesokan harinya tapi aku tak tahu apakah sekarang pagi atau siang.
Aku melihat pada laut yang melewati kami. Gelombang-gelombangnya sangat besar dan aku bisa melihat beberapa ekor burung laut bertebaran di udara, semuanya terbang sangat rendah. Langitnya mendung dan awan-awannya sangat rapat – tampaknya hujan sudah hampir turun. Tak ada bangunan tinggi yang menghalangi pandangan jadi awan-awan gelap membentang di seluruh cakrawala, memenuhi pandanganku. Ketika dihadapkan dengan pemandangan semacam ini, biasanya orang akan merasa sangat kecil dan tidak penting. Ini adalah suatu perasaan menekan yang takkan bisa dibandingkan dengan apa yang akan kau rasakan di kota.
Aku melirik ke ruang kendali dan melihat Pangzi sedang tidur di satu sisi, dengkurannya terdengar seperti guntur. Muka Datar sedang berdiri di ruang kendali, mengendalikan kapalnya. Walaupun aku baru saja terbangun dan tidak berpikir kalau pemandangan ini terlalu benar, aku tak cukup peduli untuk melakukan apa-apa soal itu dan sekedar berbalik lalu kembali tertidur. Aku tidak bangun lagi hingga siang ketika Pangzi membangunkanku.
“Rekan Wu Xie, Pak Naif, sudah waktunya untuk makan. Ambil sumpitmu.”
Aku membuka mataku dan melihat kalau Pangzi memasak hotpot kepala ikan, yang sedang dia aduk dengan sumpit. Kaldunya sudah memutih, dan suhunya pas. Aku melihat lebih dekat dan mendapati kalau ikannya sangat familier – kelihatannya ini adalah kerapu milik kapten yang berharga. Mau tak mau aku terkikik sendiri. Pangzi telah mengincar ikan ini sejak lama tapi sang kapten tak mau memakannya, berkata bahwa dia ingin menjualnya ke restoran. Siapa yang akan menyangka kalau pada akhirnya ikan ini tetap tak bisa lolos dari muslihat keji Pangzi?
Pangzi menyibukkan dirinya sendiri dengan mencincang daun bawang, memasukkan lada, dan mengoleskan bumbu pada ikannya – tampaknya dia juga merupakan seorang profesional dalam hal ini. Aku tersenyum dan berkata, “Baiklah, Pangzi. Tampaknya kau benar-benar tahu yang sedang kau kerjakan. Di mana kau mempelajari semua ini?”
“Pada Gerakan Turun Desa*, aku tak punya ibu ataupun istri jadi aku harus melakukan semuanya sendiri.” Pangzi berkata. “Pada saat itu, aku berburu, memancing, dan mencari sarang lebah di pegunungan terpencil. Ini bukan sesuatu yang rumit, cuma sup ikan biasa.”
(T/N: Gerakan Naik ke Gunung dan Turun ke Desa (atau Gerakan Turun Desa) adalah kebijakan yang dijalankan di RRT pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an. Ketua Mao Zedong mendeklarasikan bahwa para pemuda kota yang berada (sebagian besarnya adalah siswa SMU dan kuliah) akan dikirim ke wilayah-wilayah pegunungan atau desa-desa petani untuk belajar dari para pekerja dan petani di sana. Totalnya, kira-kira ada 17 juta pemuda yang dikirim ke area pedesaan sebagai hasil dari pergerakan ini. Pada tanggal 1 Oktober 1980, partai mengakhiri gerakan ini)
Aku mengacungkan jempol kepadanya, “Kakak Pang – bukan, Tuan Pangzi, aku jarang mengagumi orang tapi kau ini sungguh luar biasa. Aku jelas perlu belajar darimu.”
Dia tak terlena oleh sanjunganku dan malah mulai menghardikku, “Sial, berhentilah coba-coba mencium pantatku. Cepat makan kalau kau mau. Kalau tidak, keluar dari sini. Aku tak butuh kau menyemburkan ilermu di makanan kita!”
Tentu saja, aku takkan menyerah atas makanan selezat itu. Aku menurunkan sumpitku ke dalam mangkuk dan langsung mengambil sepotong ikan. Dalam waktu kurang dari dua puluh menit, kami berdua berhasil menghabiskan kerapu itu, yang beratnya tiga kati. Aku makan banyak sekali sampai-sampai merasa agak mual.
Sekarang karena perutnya sudah kenyang, Pangzi pergi untuk menggantikan Muka Datar di ruang kendali. Kapalnya memiliki sistem navigasinya sendiri tapi kami tak tahu bagaimana cara menggunakannya. Kalau tidak, kapalnya akan bisa jalan sendiri. Pangzi, setelah makan dan minum hingga kenyang, memegangi roda kemudi kapal dengan satu tangan dan mengeluarkan mutiara malam yang telah dia ambil dari dalam makam dengan tangannya yang lain. Dia mulai mendendangkan lagu pendek seraya memandanginya, “Di dalam pondok bambu itu tinggal seorang gadis baik, cemerlang dan memukau seperti mutiara malam*.”
(T/N: Ini adalah lirik dari lagu ‘Bambu Phoenix dalam Cahaya Bulan oleh Yan Ni)
Setelah berdendang sebentar, akhirnya dia menyadari keberadaanku yang sedang duduk di sana lalu menyerahkan mutiara itu kepadaku, “Karena kau cuma duduk-duduk gabut di sana, bantu aku memperkirakan nilai benda ini. Menurutmu berapa yang bisa kudapatkan darinya?”
Aku mengambilnya dan menimbang-nimbangnya sebelum berkata, “Ini palsu. Benda ini bukan mutiara malam.”
Pangzi tersedak dan cuma duduk diam di sana sambil menatapku, jadi aku buru-buru berusaha menghiburnya, “Jangan ketakutan dulu. Barang palsu juga masih ada nilainya. Ini adalah batu mata ikan*. Kau tahu apa ini? Benda ini juga langka tapi nilainya akan tergantung pada apakah kita bisa menemukan pembeli benda ini atau tidak. Aku tahu kalau benda-benda itu palsu begitu aku melihatnya di dalam makam. Coba pikirkan saja. Bagaimana mungkin Wang Zanghai bisa memiliki begitu banyak mutiara malam di langit-langit makamnya ketika seluruh keluarga istana Tiongkok hanya bisa mengumpulkan sekitar belasan selama ratusan tahun?”
(T/N: Batu mata ikan secara resmi bernama apophyllite. Batu ini memiliki kecenderungan untuk menyerpih ketika dipanaskan, karena kehilangan kandungan air. Biasanya berwarna putih atau tanpa warna tapi juga bisa berwarna biru, hijau, coklat, kuning, merah muda, atau violet.)
Pangzi merasa jauh lebih tenang setelah mendengar hal ini tapi tetap saja mengomeliku, “Kampret, tak bisa ya kau mengatakannya sekaligus alih-alih membuatku ketar-ketir seperti itu? Cepat beri aku perkiraan harganya. Benda ini berapa nilainya?”
Sejujurnya saja aku tak pernah menangani benda semacam ini sebelumnya jadi aku hanya bisa menerka seberapa besar pelanggan-pelangganku sendiri bisa membayarnya. Aku menyebutkan beberapa harga tapi Pangzi tidak puas dengan satu pun di antaranya, berkata bahwa ini adalah mutiara yagn dia dapat setelah mempertaruhkan nyawanya. Kalau tak ada harga yang bagus untuk benda itu, dia lebih baik meninggalkannya di rumah dan menjadikannya lampu meja. Aku mendesah dan berkata, “Baiklah. Pada kali terakhir aku telah bertemu dengan seorang pembeli besar di Jinan, jadi nanti aku akan membawanya ke sana dan lihat apa mereka tertarik. Seharusnya takkan menjadi masalah untuk menukarnya dengan sebuh vila. Jangan khawatir.”
“Kalau begitu akan kubiarkan kau yang menangani ini,” Pangzi berkata. “Vilaku mengandalkanmu. SIal, sekarang saat aku memikirkannya, seharusnya aku bertahan beberapa menit lagi dan mengambil satu lagi. Dengan begitu aku akan bisa menukarkannya dengan sebuah pesawat kecil dan terbang berkeliling seperti orang-orang Amerika kaya itu.”
Aku melihat kalau sekarang lamunannya sudah lepas kendali jadi aku pun mengabaikannya saja. Dia memasukkan mutiara itu ke dalam kantongnya dan bertanya padaku, “Kali ini kita tak menemukan Paman Ketigamu, jadi apa rencanamu? Aku ragu kalau urusan ini sudah selesai. Aku yakin kau masih punya beberapa masalah untuk diurus.”
Mulanya aku berencana untuk pulang dan menggeledah seisi rumah untuk mencari tahu apa sebenarnya yang telah dia rencanakan, tapi aku tak bisa memberitahukan kebenarannya pada Pangzi jadi aku pun hanya tersenyum tanpa daya dan berkata, “Aku bisa apa lagi? Aku cuma bisa kembali dan lanjut bekerja di tokoku seperti biasanya. Aku jelas terlalu takut untuk turun ke dalam makam lagi. Uangnya mungkin besar tapi tidak kalau sampai mempertaruhkan nyawaku. Ini benar-benar tak sepadan.”
Pangzi tertawa tapi tak bilang apa-apa lagi.
Beberapa jam kemudian, kami tiba di Pulau Yongxing. Seluruh pulau itu sedang bersiap untuk menghadapi bencana alam dan ada banyak kapal nelayan yang berlindung. Kami mengemasi barang bawaan kami dan memanfaatkan kekacauan itu untuk kabur, meninggalkan kapalnya. Pangzi menggendong A Ning di punggungnya dan kemudian membawanya ke rumah sakit militer di pulau itu. Setelahnya, kami mencari rumah penginapan untuk ditinggali. Pada dasarnya rumah penginapan itu kosong karena para nelayan biasanya tinggal di atas kapal mereka untuk memastikan tak ada sesuatu yang salah dan hanya ada sedikit turis pada musim topan seperti ini.
Kami tinggal di pulau itu hingga penerbangannya kembali dibuka, yaitu sekitar tujuh hari kemudian. Pada saat-saat ini, kami mendiskusikan makam bawah lautnya lebih dari sekali dan menghasilkan banyak kesimpulan.
Pertama, kami semua sepakat bahwa ini adalah makam Wang Zanghai, tapi kami tidak yakin apakah tubuh emas di atas panggung batu itu adalah dia atau bukan karena muminya jelas-jelas sudah direkayasa. Walaupun Wang Zanghai memang aneh, dia tidak gila.
Kedua, Istana Langit di atas Awan ada di Gunung Changbai. Lalu untuk siapa yang dikubur di sana, tidak jelas. Kami hanya bisa memperkirakan kalau orang itu adalah orang Mongol, mungkin seorang wanita dengan status yang sangat istimewa.
Ketiga, ikan tembaga beralis ular dan lonceng-lonceng segi enam telah muncul baik di Istana Tujuh Bintang Lu dan makam bawah laut, yang sepertinya mengindikasikan kalau mungkin ada suatu hubungan di antara kedua obyek itu. Raja Shang dari Lu adalah seorang perampok makam sementara Wang Zanghai adalah seorang insinyur. Sau-satunya kesamaan di antara mereka adalah bahwa mereka sering harus menggali tanah. Tapi apakah mereka mereka berdua telah menggali barang-barang ini dari tempat yang sama tidak diketahui.
Kesimpulan keempat diajukan oleh Muka Datar. Dia memperkirakan bahwa struktur makam ini sedikit mirip dengan makam kekaisaran dari Periode Negara Berperang itu. Dia menggambar sketsa kasar dari struktur makam kunonya – termasuk rute yang telah kami ambil – dan kemudian menunjuk ke beberapa tempat yang terjepit di antara bagian atas (tempat kami melarikan diri) dan bagian bawah dari makam. Tampaknya ada beberapa ruangan di sana, yang salah satunya kemungkinan berisi sebuah lubang penguburan burung-burung eksotis dan binatang-binatang langka. Mungkin dari situlah makhluk-makhluk aneh itu berasal.
Keringat dinginku mengucur setelah mendengar hal ini dan bertanya kepadanya, “Maksudmu, kau bilang kalau Wang Zanghai telah menangkap iblis kemarau dan Wanita Terlarang lalu menyimpan mereka sebagai peliharaan? Bukankah terlalu hebat kalau dia sampai bisa melakukannya?”
Muka Datar mengangguk dan berkata, “Dia bukan yang pertama. Ada beberapa makam kekaisaran Zhang dan Zhou yang memiliki makhluk-makhluk seperti ini, seperti juga halnya dengan makam Kaisar Pertama Qin*. Bisa dipahami kalau orang seterkenal Wang Zanghai akan ingin mengikuti tren ini.”
(T/N: Kaisar pertama Qin – Qin Shihuang, Kaisar pertama di Tiongkok)
Dalam waktu luangku, aku akan mengeluarkan laptopku dan tersambung ke internet untuk coba-coba mencari informasi tentang Wang Zanghai. Tapi hampir tak ada informasi tentang dia jadi aku hanya berhasil mengetahui kalau dia telah mendesain Makau dan dan beberapa kota lainnya dengan desain yang sama.
Selama beberapa hari berikutnya, aku bosan setengah mati – anginnya sangat kuat sehingga kami tak bisa keluar, dan kemudian pada hari keempat sambungan teleponnya putus jadi aku bahkan tak bisa menyambung ke internet. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain bermain Dua Besar* dengan Pangzi. Muka Datar tak terlalu berminat dengan permainan itu jadi dia cuma rebahan di ranjang dan menatap langit-langit sepanjang hari. Dia kelihatannya tak masalah melakukan hal itu sepanjang hari jadi aku tak memedulikan dia.
(T/N: Dua Besar adalah permainan kartu dari Tiongkok. Biasanya terdiri dari 2 hingga 4 pemain dan tujuan dari permainan ini adalah menghabiskan kartu yang ada di tangan. Nama lainnya adalah capsa)
Lumut putih pada punggung Pangzi tak lagi mengganggunya dan sepertinya telah membaik secara ajaib. Aku curiga kalau ini adalah berkat liurku – yang sebenarnya aneh kalau aku benar-benar memikirkannya – tapi aku tak mau menenggelamkan diri dalam hal-hal ini dan segera melupakannya. Sebenarnya, seharusnya aku berpikir kalau ini aneh, tapi sayangnya, aku cuma memusatkan diri pada betapa gembiranya aku karena kami sudah berhasil melewati situasi hidup dan mati semacam itu. Aku benar-benar pantas mendapat takdir ini.
Selama beberapa hari terakhir, aku berusaha bertanya kepada Muka Datar tentang masa lalunya tapi dia sepertinya tidak mendengarku sama sekali. Kemampuan orang ini untuk pura-pura bego mungkin sedikit lebih baik daripada sandiwara A Ning di makam itu.
Pada hari kelima, sambungan teleponnya menyambung kembali jadi aku lanjut berselancar di internet. Pada saat ini, aku memikirkan tentang masa lalu Zhang Qiling dan tiba-tiba mendapat kilatan inspirasi – karena dia bisa memulihkan ingatannya, mungkin orang lain di timnya juga bisa memulihkan kembali ingatan mereka? Memikirkan hal itu, aku pun mengetikkan namanya ke dalam kotak pencarian dan membaca semua hasil yang keluar. Namanya terlalu umum jadi pada dasarnya hal ini tak berguna tapi aku toh masih mengeklik beberapa tautan. Sayangnya, tak satu pun di antaranya yang memiliki informasi berguna.
Tak mungkin bisa menemukan apa pun dengan cara ini jadi aku menambahkan nama Paman Ketiga ke dalam kotak pencarian. Begitu aku mengeklik enter, hanya satu hasil yang tersisa. Melihat judulnya, kelihatannya ini adalah iklan orang hilang.
Penemuan ini melampaui dugaanku. Tiba-tiba aku jadi merasa kesulitan bernapas ketika aku menggerakkan tetikusnya dan mengeklik tautannya. Halaman yang muncul ternyata adalah foto kelompok yang sama dengan yang sudah diambil sebelum mereka pergi. Seseorang telah memindai foto itu dan mendaftar nama-nama semua orang di bawahnya. Setelah membaca masing-masing nama itu secara seksama, aku menemukan kalau ada satu kalimat di bagian paling bawah gambar itu.
Kalimat ini hanya terdiri dari beberapa kata pendek, tapi membuat benakku jadi luar biasa kacau balau.
“Aku punya ikannya.”
[Akhir Volume 1]