Ashes of Love - Epilogue 5
Meski Phoenix masih agak sedikit labil, dia selalu mengabulkan semua keinginanku. Tak peduli seberapa banyak pun lingli yang kuminta dengan tak tahu malunya, dia akan memberikannya kepadaku tanpa protes sekalipun. Terkadang, setelah menerima begitu banyak lingli, aku bertanya kepada diriku sendiri, “Apa aku benar-benar sangat menyukai lingli sampai sedemikian rupa? Karena aku bukan prajurit, juga tidak memiliki kekuatan politis, memiliki sedemikian banyak lingli itu sungguh sia-sia.”
Suatu hari, aku terbangun di tengah malam, setelah mendadak menemukannya. Kusimpulkan bahwa sebenarnya, permintaanku atas lingli kepada Phoenix yang begitu tak tahu malu hanyalah sebuah cara bagiku untuk membuktikan bahwa Phoenix benar-benar mencintaiku; bahwa dia mencintaiku sebesar lingli yang dia berikan kepadaku – cinta dalam jumlah yang tak terbatas. Setelahnya, sesuatu terjadi untuk membuktikan kesimpulanku.
Hari itu, aku membawa bayi kami untuk memancing di Sungai Kelupaan. Umm… mari anggap saja anggap saja sebagai memancing (Setelah mendengar dari Raja Pertama Dunia Iblis bahwa ada banyak jiwa wanita-wanita cantik di dasar sungai, kupikir akan cukup bagus bila kita bisa memancing seorang putri duyung cantik untuk menjadi pengantin kecil putraku).
Setelah lewat setengah harian, kami masih belum berhasil menangkap seekor ikan pun. Bagaimanapun juga, kami malah melihat jenis ikan yang lain.
Mendadak aku merasakan angin dari qi milik xian yang kuat. Kudongakkan kepalaku dan melihat sekelompok xian sedang menunggangi awan menyeberangi Sungai. Pakaian putih dari pimpinan mereka berkelepak dihembus angin, pembawaannya elegan – siapa lagi itu selain sang Kaisar Langit sendiri? Tepat saat aku berpikir apakah aku bisa berpura-pura tak melihat apa-apa, dia menunduk dan bertemu pandang denganku. Dia menatap selama sesaat sebelum berbalik untuk bicara dengan para xian yang lain. Dia kemudian terbang ke bawah untuk mendarat di antara kami.
Dia menatapku dan aku meantapnya, kami berdua sama-sama tak tahu harus mulai dari mana; suasananya jadi sedikit canggung. Akhirnya, dia membuka mulut tetapi tak bicara denganku. Dia membungkuk dan menyentuh pipi tembam Tang Yue, tersenyum dan bertanya, “Apa yang kau lakukan di sini?”
Tang Yue mengerjapkan matanya dan menjawab, “Memancing seorang istri.”
Yang Mulia terdiam selama sesaat sebelum tertawa, “Tentunya ini pasti ide ibumu.” Dia kemudian bertanya, “Siapa namamu?”
Tang Yue pada saat itu mirip dengan ayahnya (sudah mewarisi kepongahan Phoenix sejak amsih kecil), dan kadang-kadang akan menolak menjawab saat ditanyai. Gayanya hanya sedikit lebih baik daripada ayahnya karena tak seperti ayahnya, dia takkan mempermalukan orang lain dengan mengabaikan orang itu terang-terangan. Dia hanya akan mengubah topiknya. Dalam kasus ini, dia bermain-main dengan kailnya dan bertanya, “Kenapa kamu tak bergabung dengan kami untuk memancing?”
Aku takut kalau dia akan melukai dirinya sendiri dengan kailnya, jadi aku segera mengambil tongkat pancing darinya. Kukatakan padanya, “Panggil dia Bo Bo (T/N: Paman, kakak lelaki dari ayah).”
“Bu bu.” Tang Yue menatap Yang Mulia.
Mendadak aku menyadari bahwa saat Lao Hu pertama kali mengunjungi kami, Tang Yue masih kecil dan tak bisa bicara dengan benar. Aku takut dia tak bisa melafalkan nama Lao Hu, jadi kuajari dia memanggil Lao Hu sebagai ‘Bu Bu’ dari ‘hu luo bu’(T/N: wortel). Sekarang, putraku telah menjadi bingung antara bo bo dengan bu bu.
Xiao Yu Xian Guan, yang mungkin tak tahu bahwa putraku telah menyamakan dirinya dengan Lao Hu di dalam hati, hanya mengulurkan tangannya untuk membelai puncak kepala Tang Yue sebelum menatapku dan bertanya, “Apa sekarang kau bahagia?”
Setelahnya, dia menyunggingkan seulas senyum kecil dan menjawab sendiri, “Tentunya kau psti bahagia.”
Kubuka mulutku, tapi tak tahu bagaimana harus menjawab. Pada akhirnya, kami berdiri di tepi Sungai Kelupaan selama beberapa saat, menatap awan dan air; awan-awannya teramat jauh dan airnya, teramat jernih.
Sesaat kemudian, akhirnya kukatakan padanya, “Kau sendiri juga pasti bahagia.”
Dia mengulas senyum kecil, dan tanpa menjawab, terbang prig di atas awan. Aku berpikir, dia pasti juga bahagia. Apa yang selalu dia inginkan adalah kekuasaan mutlak tertinggi, posisi sebagai Kaisar Kahyangan. Sekarang karena dia telah mendapatkan posisi itu, dan kedua Dunia telah bersumpah untuk takkan pernah saling berperang lagi, hanya akan lebih memperkuat posisinya sebagai Kaisar Langit, dia tak lagi punya kekhawatiran.
Aku memegangi tongkat pancingnya dan meraih tangan Tang Yue, “Ayo pulang.”
Tang Yue menatapku dengan sorot bertanya-tanya, “Tapi kita belum berhasil menangkap seorang istri.”
Kucubit pipinya dan berkata, “Kita memancing seperti Jiang Taigong, yaitu, biarkan dia menggigit kailnya dengan sukarela.”
(T/N: 姜太公钓鱼—愿者上钩. Ini adalah idiom populer yang mengacu pada Jiang Taigong / Jiang Ziya. Dia adalah seorang ahli strategi dan penasihat yang membantu Raja Wen dan Raja Wu dari Dinasti Zhou untuk menggulingkan Dinasti Shang. Dia adalah tokoh utama dalam kisah klasik Tiongkok yang berjudul Feng Shen Yan Yi / Penganugerahan Dewata. Dalam legenda dikisahkan, Jiang Taigong memancing dengan menggantungkan sebuah kail lurus setinggi tiga kaki di atas permukaan air. Seorang nelayan berkata padanya bahwa dia takkan bisa meanngkap ikan apapun bila dia memakai kail yang lurus. Jiang Taigong menjawab bahwa dia tak di sana untuk menangkap ikan, tetapi menangkap seorang raja: “IKan, bila kau putus asa untuk hidup, datang dan tangkap kailnya sendiri.” Kisah ini pada akhirnya sampai ke telinga Raja Wen, yang sedang mencari orang berbakat untuk membantunya. Raja Wen mengirim utusan untuk mengundang Jiang Taigong, namun ditolak. Raja Wen akhirnya datang sendiri, membawa banyak hadiah, untuk menemui Jiang Taigong. Setelah pertemuan itu, Jiang Taigong bersedia melayani Raja Wen.
Idiom ini sering dipakai untuk menggambarkan ‘korban’ yang sukarela atau seseorang yang melakukan sesuatu tanpa memedulikan hasilnya. Juga, idiom ini dipakai dalam konteks bahwa dalam beberapa hal, orang tak boleh ‘memancing’ dengan cara-cara bengkok / kotor.)
Tang Yue tampak separuh bingung. Aku membungkuk dan membisikkan rahasiaku selama bertahun-tahun ke telinganya, “Dahulu, ayahmu adalah orang yang bersedia menggigit kail lurus dan membiarkan dirinya dipancing.”
Kutarik tangan putraku tetapi sebelum kami sempat berjalan dua langkah, kami melihat Phoenix bergegas menghampiri kami di atas sebuah awan gelap, seakan masalah akan muncul dalam setiap langkah. Saat dia melihat Tang Yue dan aku, tubuhnya kelihatan semakin menegang. Kerentanan sesaatnya membuat hatiku terasa agak sakit.
Malam itu, dia tak bisa tidur dengan nyenyak. Dia membolak-balikkan tubuhnya dua kali sebelum duduk tegak untuk menatapku. Sesaat kemudian, dia bertanya padaku, “Apa ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku?”
“Tidak.”
Mata Phoenix berkedut. Aku berpikir ulang dengan seksama, “Sungguh, tidak.”
Dia kelihatan marah dan bertanya dengan kasar padaku, “Kenapa kau tak meminta lingli dariku?”
Aku terkejut. Jadi alasan kenapa dia tak bisa tidur malam ini adalah karena aku belum meminta lingli? Tapi bahkan sebelumnya, aku tak meminta lingli setiap hari darinya. Namun melihat wajah marahnya, kupikir sebaiknya aku mengalah saja dengan kemauannya. Setelah berpikir selama sesaat, aku meminta lingli lima ratus tahun darinya.
Setelah dia memindahkan lingli itu kepadaku, dia pun langsung berbaring dan tertidur.
Aku berbaring selama separuh malam dan akhirnya menyadari bahwa kami berdua memiliki masalah yang sama. Aku terus meminta lingli darinya untuk membuktikan bahwa dia mencintaiku. Dia menungguku meminta lingli untuk membuktikan bahwa aku mencintainya. Yang satu melakukan perampokan dengan mengambil seember emas bersamanya, yang lainnya bersedia selalu membuka dompetnya untuk dirampok.
Cinta terkadang bisa menjadi begitu sederhana. Umat manusia memiliki perkataan umum seperti ini: ‘Yang satu bersedia memukul dan yang lain bersedia untuk dipukul!’