Thousand Miles of Bright Moonlight - Chapter 54
Ruang meditasi sudah disapu bersih, dan beberapa batang pohon jujube padang pasir tumbuh di keempat sudut halaman. Bunga-bunga putih keperakan bergerumbul di atas dahan-dahan bersisik yang merunduk. Gerumbul-gerumbul itu laksana mutiara; ketika cahaya mentari menyinarinya, cabang-cabang rimbun dan daun-daun tanaman itu bersinar dengan pendar samar.
Tumoroga masih tak berbalik, jemari putih panjangnya terus membalikkan kitab, punggungnya yang mengenakan kasaya ramping dan tegak.
“Ada apa?” Dia bertanya dengan suara lembut.
Ashina Bisha berlutut di luar pintu, sejenak meragu. Wajahnya agak kemerahan, dia mendongakkan kepala dan menegakkan punggungnya, mengucapkan kata demi kata: “Raja, Saya menyukai Putri Wenzhao dari Wei yang Agung. Dia cantik, tangguh, dan berani. Saya mengagumi dirinya dan ingin melindunginya supaya dia bisa tertawa dengan bebas setiap harinya.”
Angin berhembus melintasi halaman, dan ranting-ranting berbunga dari pohon jujube padang pasir berayun lembut, menyebarkan keharuman nan ringan.
Tumoroga terdiam sejenak, matanya sedikit merunduk: “Bisha, Putri Wenzhao adalah putri dari Wei yang Agung, bukan putri dari Mahkamah Kerajaan.”
Bisha tersenyum, “Saya tahu. Putri Wenzhao bukan putri dari Mahkamah Kerajaan. Raja, saya kemari bukan untuk meminta Anda menganugerahkan pernikahan kepada saya… saya kemari untuk mendapatkan izin Anda.”
Dia terdiam sejenak dan menatap punggung Tumoroga dengan ekspresi sungguh-sungguh.
“Raja, apa Anda mengizinkan saya menyukai Putri Wenzhao?”
Gerakan Tumoroga dalam membalikkan kitabnya terhenti.
Kemudian Bisha berkata: “Bagaimanapun juga, Putri Wenzhao mengikuti contoh dari Gadis Mordenga untuk tinggal di Mahkamah Kerajaan. Walaupun Raja adalah Putra Buddha, yang telah lama melampaui tujuh emosi, enam keinginan, hidup dan mati, melepaskan diri dari keinginan, dan tidak akan tergerak oleh sang Putri. Meski demikian, bawahan ini menghormati Raja, jadi saya akan memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan… Raja, bisakah bawahan ini menyukai sang Putri?”
Jemari Tumoroga memutar manik-manik yang tergenggam di tangannya ketika dia berkata, “Bisha, kau tidak seharusnya bertanya kepadaku.”
Bisha tertegun. Kemudian, dia tersenyum pahit.
Ya, tidak seharusnya dia datang untuk bertanya kepada Roga. Putri Wenzao bukanlah harta yang dijual, gadis itu adalah manusia hidup. Kalau dia tulus menyukai Putri Wenzhao, bahkan meski sang Raja tidak setuju, dia seharusnya punya keberanian untuk mengejar sang Putri.
Dia menatap Tumoroga dan berkata, “Bawahan ini mengerti.”
Tumoroga merundukkan matanya dan lanjut membaca kitab, “Putri Wenzhao masih muda, terlunta-lunta di luar negaranya, tidak yakin tentang bertahan hidup hingga esok hari. Bisha, jangan perlakukan dia dengan ketidaktahuan.”
Bisha kembali pada akal sehatnya dan menyentuh tanah dengan kepalanya: “Bawahan ini bersumpah takkan pernah melakukan apa pun yang tidak bermoral kepada sang Putri karena saya mengagumi dirinya, apalagi sampai mengambil keuntungan dari situasinya dan status saya untuk memaksa dia. Kalau saya melanggar sumpah ini, Raja boleh menghukum saya sesuka Anda!”
Dia menunggu sejenak sebelum mengambil pedangnya dan keluar dari ruang meditasi. Berdiri di ambang pintu, dia menatap kembali pada punggung Tumoroga.
Sebelum guru mereka wafat, Beliau pernah berkata pada Roga belum lepas dari takdir duniawi.
Dahulu, Bisha tidak menganggap serius kata-kata ramalan ini. Akan tetapi, ketika dia bertemu dengan Putri Wenzhao yang cemerlang dan jelita serta menghabiskan beberapa hari bersama dengan sang Putri, kata-kata gurunya menggema di dalam benaknya, lagi dan lagi.
Dia takut kalau kata-kata gurunya akan menjadi kenyataan.
Sebuah pemikiran untuk menjadi Buddha, sebuah pemikiran untuk menjadi iblis. Roga berbeda dari orang lain. Kalau dia sampai tergerak, mengetahui tentang perasaan cinta….
Rona wajah Bisha menjadi suram.
Serangkaian langkah kaki terdengar di belakangnya, dan Banruo diam-diam mendekat ke sisinya: “Jenderal Ashina, Anda benar-benar mengagumi Putri Wenzhao?”
Bisha mengangguk, suaranya berkumandang dan jernih: “Benar. Aku mengagumi sang Putri, rasa sukaku bagaikan matahari dan bulan!”
Setelah berkata demikian, dia berbalik dan pergi.
Mata Banruo tertuju pada punggung tinggi itu ketika menghilang di sekitar jujube padang pasir, begitu gembira sehingga dia menggosokkan kedua tangannya: Jenderal Ashina berkedudukan dan elegan. Pada usia tiga belas tahun, dia mampu merayu gadis-gadis muda dari keluarga-keluarga bangsawan agar jatuh cinta kepadanya, dan selama bertahun-tahun ini, urusan percintaan sang jenderal tak pernah berhenti. Ini bagus, sang jenderal jatuh cinta kepada Putri Wenzhao. Akhirnya Raja bisa menyingkirkan Putri itu!
Angin bersiul melewati jalan setapak yang kosong dan sejuk, menderu masuk ke dalam ruang meditasi. Halaman-halaman kitab di atas meja dibuat beterbangan oleh angin. Tumoroga menundukkan kepalanya dan membaca kitab tanpa bersuara, kasayanya membelai meja panjang, berdesir dan bergemerisik.
Setengah sichen kemudian, suara langkah kaki kembali terdengar di koridor panjang.
Yuanjue berdiri di luar pintu dan menangkupkan kepalan tangannya: “Raja, orang-orang di Kota Sha teah mengirim balik kabar bahwa Pangeran Haidu Aling belum kembali ke Rong Utara.”
Tak ada Ibu Kota yang tetap untuk Rong Utara. Ke mana pun tenda Wakhan Khan berpindah, tenda-tenda Rong Utara akan ada di sana. Setelah persekutuan antara Rong Utara dan Mahkamah Kerajaan dibentuk, kondisi Wakhan Khan benar-benar membaik. Selama beberapa waktu, pembicaraan tentang murka Langit menjadi sangat populer, dan ketenaran Tumoroga telah meningkat lebih tinggi lagi. Wakhan Khan membuat keputusan mendadak untuk pindah kembali ke Izhou, supaya tidak semakin menurunkan moral pasukan. Haidu Aling, yang dikirim ke Mahkamah Kerajaan, menurut hitungan jarak, seharusnya sudah kembali ke Rong Utara pada saat ini, namun para penggembala di sana tidak melihat sosoknya.
Wajah Tumoroga tampak lembut, dan jemarinya membelai manik-manik doanya: “Perkuat kewaspadaan di semua bagian Mahkamah Kerajaan.”
Yuanjue mengiyakan.
****
Mahkamah Kerajaan panas di siang hari dan dingin di malam hari. Sinar rembulan yang jernih dan murni menyorot turun bagai embun beku nan dingin.
Di dalam rumah, api lilin yang tampak bagai bintang berkedip-kedip. Yaoying dan para prajurit pribadinya duduk di atas tikar felt untuk mendiskusikan penempatan kembali orang-orang Han dari Dataran Tengah di Shazhou dan Guazhou.
Sebelumnya dia telah meminta Xie Qing agar mengambilkan meja pasir dan membangun topografi umum dari jalan utara Xi Yu. Dia menjelaskan kepada Xie Chong dan orang-orang lain yang mendengarkan: “Xi Yu sebagian besarnya tandus. Jalur perdagangan bergantung pada oase yang dibangun pada jalur sempit ini. Di sepanjang perjalanan, terdapat pangkalan-pangkalan penjagaan, namun akibat perang, banyak pangkalan yang ditinggalkan. Para pedagang Hu yang berpengalaman sering mengendalikan perdagangan di area-area tertentu. Ketika berurusan dengan mereka, visimu haruslah berjangka panjang, jadi untuk bekerjasama dengan mereka, akan lebih baik jika memberikan lebih banyak keuntungan. Kalau kita bisa memperoleh pijakan yang kokoh di Mahkamah Kerajaan, kelak kita akan bisa menyelamatkan lebih banyak orang.”
Xie Chong dan yang lainnya mendengarkan dengan seksama dan bertanya, “Putri, apa kelak kita perlu mengikuti para pedagang Hu untuk berbisnis? Saat berhubungan dengan memimpin prajurit ke medan perang, saya masih bisa menyombong sedikit. Tapi soal bisnis, saya tak bisa bicara sedikit pun….”
Yaoying menatapnya dan berkata, “Sekarang ini, banyak suku kecil yang bergantung pada rute-rute perdagangan telah mengalami kemerosotan, dan karavan-karavan pedagang yang melakukan perjalan dari dan ke berbagai negara pada masa-masa ini memiliki bantuan bersenjata di belakang mereka. Kalian semua harus belajar bagaimana mereka berinteraksi dan berdagang. Mereka tahu banyak dan mungkin bisa membantu kita menyampaikan informasi.”
Di masa-masa kacau, para pedagang dari Xi Yu seringkali memiliki hubungan erat dengan berbagai suku, mengandalkan harta emas dan perak untuk menarik para bangsawan besar, memengaruhi situasi setempat, demi bisa memfasilitasi perdagangan. Orang-orang ini bahkan bisa menggerakkan pasukan.
Xie Chong mengerti sedikit, mengangguk sebagai tanggapannya, dan tertawa: “Asalkan Putri tidak menyuruh saya mengurus pembukuan!”
Xie Peng melontarkan tatapan hampa padanya: “Menyuruhmu mengurus pembukuan? Kalau begitu kita akan menunggu untuk meminum angin baratlaut!”
Yang lainnya meledak tertawa.
Setelah mendiskusikan urusan ini hingga tengah malam, mereka semua pun mengundurkan diri.
Xie Qing tetap tinggal dan mengeluarkan buku-buku mengenai seni peperangan yang telah Yaoying berikan kepadanya beberapa hari yang lalu: “Putri, saya telah selesai membaca semuanya.”
Kata ‘semuanya’ diucapkan dengan sedikit penekanan, dan tidaklah sulit untuk mendengar rasa bangga di dalamnya.
Yaoying tak tahu apakah harus menangis atau tertawa. Apakah ini merupakan sesuatu yang patut dibanggakan?
“Ah Qing, buku-buku militer ini adalah untuk kau pelajari secara menyeluruh. Simpanlah untuk dipelajari beberapa kali lagi, tak usah dikembalikan.”
Xie Qing mengerti dan mengambil kembali buku-buku strategi itu.
Yaoying berbisik, “Ah Qing, kebetulan sekali kita ada di Mahkamah Kerajaan. Kalau kau bertemu dengan sesuatu yang tak bisa kau mengerti, kau bisa minta saran dari Bisha dan yang lainnya. Walaupun buku-buku militer kedua negara ini berbeda, intinya tetap sama.
Xie Qing menganggukkan kepalanya.
Dia terlahir dengan kekuatan besar dan telah berlatih ilmu beladiri dengan saudara-saudaranya di rumah sejak dia masih kecil. Akan tetapi, karena dirinya adalah wanita, ayahnya tak pernah mengajari dirinya bagaimana cara memimpin pasukan, dan dia juga tak pernah ingin pergi ke medan perang, dia hanya ingin menjadi pelindung yang kompeten. Kini, ketika berada di luar, para prajurit pribadi lain semuanya mematuhi perintahnya. Sang Putri telah menyuruhnya mempelajari taktik-taktik militer, maka dia akan belajar dengan baik.
Sang Putri tak pernah memandang dirinya secara berbeda hanya karena dia adalah wanita. Tanpa prasangka ataupun pilih kasih, semua apa adanya. Di mata sang Putri, ini tak lebih dari suatu hal yang normal.
Dia tak boleh mengecewakan kepercayaan sang Putri.
Xie Qing menyimpan buku militernya, menatap cahaya rembulan yang bagaikan air di depan jendela, dan tiba-tiba bertanya, “Putri, kalau pesan kita terkirim kembali ke Dataran Tengah, akankah ada tanggapan dari Dataran Tengah?”
Yaoying mengangguk: “Ya.”
Yaoying yakin kalau Dataran Tengah akan menanggapi karena dia menganggap Li De, Li Xuanzhen, dan para menteri sebagai seorang politisi. Tak peduli kerumitan hubungan macam apa pun yang mereka miliki, para politisi takkan menolak kesepakatan yang menguntungkan. Terlebih lagi, ada orang-orang baru nan cemerlang seperti Zheng Jing yang berasal dari keluarga-keluarga bangsawan, dan ada para pejabat yang terlahir dari rakyat jelata seperti Du Sinan yang ambisius, bernafsu ingin membangun karir, dan bisa melakukan apa saja demi masa depan mereka. Dari orang-orang in, ada banyak orang yang memiliki pandangan jangka panjang dan peduli tentang rakyat negaranya. Akan ada seseorang yang pasti memberikan tanggapan.
Lalu untuk perselisihan pribadi antara ayah dan anak, kakak dan adik mereka. Selalu ada waktu lain untuk membereskannya.
Xie Qing mengernyit: “Bagaimana dengan setelah kembali ke Dataran Tengah? Putri, Anda harus lebih banyak merencanakan untuk diri Anda sendiri.”
“Aku mengerti.” Yaoying menguap, suaranya lembut dan malas, “Kembali ke Dataran Tengah tidak berarti kembali ke Chang’an. Aku tahu posisinya, Ah Qing. Aku melakukan hal ini, mengakhiri peperangan, adalah demi kebaikan yang lebih besar, namun juga untuk kebaikanku sendiri. Kau tak usah cemas.”
Xie Qing mengekspresikan pemahamannya. Menatap wajah Yaoying yang sarat dengan rasa lelah, dia pun bangkit dan memindahkan lilin-lilin dan lentera-lentera menjauh, “Putri, istirahatlah lebih awal.”
Kelopak mata Yaoying terasa berat, jadi dia mengganti pakaiannya dan langsung tertidur begitu kepalanya menyentuh bantal. Dalam kondisi setengah sadar, tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang tidak biasa dan terbangun tepat pada waktunya untuk mendengar suara-suara kaki menjejak dari atap.
Seseorang sedang berjalan di atas atap!
Yaoying mendengarkan dengan seksama. Ada beberapa suara teredam dari halaman ketika orang-orang, satu demi satu terjatuh ke tanah. Xie Chong berteriak tapi disela oleh seseorang, dan teriakannya berhenti mendadak.
Suara banyak langkah kaki datang dari koridor panjang, dan bayang-bayang manusia berkelebatan di depan jendelanya.
Jantung Yaoying berdebar kencang. Dalam kegelapan dia menggenggam belatinya, bangkit dari ranjang, dan, dengan bertelanjang kaki, mengendap ke belakang pintu.
Dengan suara berderit, selot pintu dibuka dari luar. Sepasang tangan mendorong pintu itu hingga terbuka, dan beberapa bayangan hitam menyelinap ke dalam kamar, bergerak perlahan menuju ranjang.
“Putri!”
Ledakan teriakan Xie Qing dan Xie Peng terdengar, dan halaman pun dipenuhi oleh kilatan pedang dan bayangan. Sementara pada prajurit pribadi berteriak dan bergelut dengan orang-orang yang berpakaian sehitam malam, koridor panjang dipenuhi oleh orang, luar dan dalam.
Yaoying bersembunyi di belakang pintu, mencengkeram belati di tangannya.
Bayang-bayang hitam berlari menuju kursi panjang dan mengangkat selimut tipisnya. Tidak melihat Yaoying, mereka langsung berbalik dan mencari di dalam kamar.
Salah satu bayangan hitam itu memicingkan matanya dan berputar, tubuhnya berkelebat. Dalam sekejap mata, tubuhnya yang tinggi dan kuat sudah berada di depan Yaoying. Lengan-lengannya yang panjang dan berotot terjulur, tangan-tangan besarnya memeluk kokoh pinggang Yaoying, dan mengerahkan sedikit tenaga.
Kedua tangan Yaoying langsung gemetar. Dengan bunyi berdentang, belati di tangannya terjatuh ke lantai.
Di balik topeng mengerikan pria itu terdengar beberapa kali suara tawa rendah. Tawa itu penuh keliaran dan ketidaksenonohan: “Putri Wenzhao, kau selalu suka bersembunyi di tempat seperti bagian belakang pintu.”
Darah yang mengalir di tubuh Yaoying serasa membeku. Matanya melebar ketika dia bersitatap dengan sepasang mata emas pucat itu: Haidu Aling!
Haidu Aling mencibir. Jemarinya yang kasar meremas dagu Yaoying, dan dia berkata penuh kepuasan diri, “Sudah kukatakan kepadamu, kau tak bisa lolos dari tanganku.”
Gigi Yaoying bergemeletukan. Dia meronta untuk melepaskan dirinya dari pelukan pria itu, namun tangan dan kakinya terasa kaku dan dia bahkan tak bisa bergerak.
Haidu Aling tertawa dan membungkuk untuk mengangkatnya, mata emas pria itu sarat dengan hasrat untuk menakhlukkan mangsanya: “Putri, kau sudah cukup bersenang-senang di luar. Sudah waktunya untuk kembali.”
Dia membawa Yaoying keluar dari koridor panjang. Dalam beberapa langkah, dia melompat ke atas dinding griya. Sosoknya naik dan turun beberapa kali, pergerakannnya gesit. Dalam sekejap mata, dia telah memelesat di atas barisan atap.
Xie Qing dan yang lainnya menatap tanpa daya ketika Yaoying dibawa pergi. Mata penuh dengan kecemasan, mereka mengejar dengan pedang terangkat tapi dihalangi oleh beberapa orang bertopeng dalam pertempuran sengit. Ketika mereka kembali mendongak, hanya ada rembulan perak di depan mereka. Mana ada jejak Yaoying?
“Putri!”
Xie Chong berseru panik.
Yaoying dibawa keluar dari istana, sejak lama sudah tak bisa mendengar teriakan gelisah para prajurit pribadinya. Satu-satunya suara di telinganya adalah deruan angin dan napas Haidu Aling yang tenang dan perlahan. Lengan kuat berotot pria itu memeluk erat dirinya, seperti rantai besi, mengikatnya hingga tak bisa bergerak.
Yaoying bergidik. Melihat kalau dirinya kian dan kian jauh dari istana, dia mengerahkan seluruh kekuatannya dan menggigit leher Haidu Aling kuat-kuat.
Haidu Aling tertawa pelan dan menghindarinya dengan lihai. Dia menangkap dagu Yaoying dan napas hangat pria itu menyentuh hidung sang putri: “Aku sudah tak bertemu denganmu selama beberapa hari, bagaimana bisa Putri sudah belajar cara menggigit?”
Tepat pada saat itu, sebuah lengkung keemasan memukau tiba-tiba berkelebat di bawah cahaya rembulan nan dingin.
Dengan cepat Haidu Aling merasakan bahaya. Pupil matanya mengerut tajam, dia mengeratkan pelukannya pada Yaoying dan melompat.
Lengkung cahaya itu lebih cepat daripada pergerakan Haidu Aling. Mengejarnya dalam sekejap, juluran tubuh lengkung itu mengarah ke punggung Haidu Aling, Kuku-kuku tajam mencakar turun.
Zirah kulit yang keras dan lentur terkoyak, dan kain di bawahnya robek.
Haidu Aling mengeluarkan serangan teredam, otot-otot pada lengannya yang panjang berputar, telapak tangan terangkat di udara dan menarik, mengguncang bayangan hitam itu. Dia melompat ke tepi atap dan berbalik untuk menatap dingin pada si bayangan hitam.
Yaoying mengikuti arah pandangannya dan menatap.
Seekor macan tutul perlahan melangkah keluar dari kegelapan, sosoknya penuh tenaga. Hewan itu memiliki sikap luwes serta anggun dan sepasang pupil kuning berkilat dengan pendar cahaya yang aneh.
Haidu Aling memperlihatkan wajahnya, ekspresinya garang. Meletakkan Yaoying, dia menghunus pedangnya, matanya dingin: “Su Dangu, sudah lama aku ingin bertemu denganmu!”
Beberapa genting atap bergetar pelan. Si macan tutul mengangkat ekronya dan berlari menuju ke timur.
Cahaya bulan begitu jernih, angin malam bersiul. Dalam cahaya rembulan yang kemilau, satu sosok tinggi dan kurus berdiri di atas atap, tangan menggenggam sebilah pisau panjang. Dari kepala hingga ujung kaki mengenakan baju hitam, diam dan dingin, sosoknya sungguh menakutkan. Dia tampak menyatu dengan kesunyian malam yang tak berbatas.
Laksana roh jahat, sesosok Asura: dingin dan ganas, kejam dan tak berperasaan.
Haidu Aling menatap dingin kepadanya dan mengangkat golok panjangnya.
Su Dangu berdiri menantang angin, tak bergerak, pakaian hitamnya berkelepak dan melayang-layang, menampakkan sosok kuat nan ramping. Tubuhnya kelihatan kurus tapi mengandung kekuatan yang tak bisa diabaikan, sarat dengan tekanan nan tangguh dan maskulin.
Yaoying menatap terpana ke arahnya.
Haidu Aling bergerak dengan langkah ringan, dan tubuhnya memelesat maju. Perhatiannya terpancang pada Su Dangu yang tak bergerak, tiba-tiba dia mencabut pedangnya dan melompat, sosoknya naik bagai kelinci dan jatuh bagai elang. Pedang berkilat, dua sosok perkasa saling berbelitan.
Yaoying berdiri di tepi atap, berayun ke kiri dan kanan karena dihembus angin. Jantungnya berdebar kencang, tak mampu mengalihkan pandangannya dari kedua orang itu.
Haidu Aling gesit dan bengis, maju untuk menyerang, goloknya datang dengan kekuatan nan ganas.
Su Dangu kuat dan kejam, sedikit agung, tiap sambaran pedangnya keji, tak kenal ampun. Tiap serangan dan gerakan membawa suatu ketenangan dan kestabilan tegas dan sangat kuno, samar-samar mengandung suatu kemurahan hati.
Kedua orang itu bertukar lebih dari seratus jurus, tak satu pun yang tampak lebih unggul. Kedua kekuatan itu menggelora dan bertabrakan, genting-genting atap berderak-derak, debu beterbangan.
Haidu Aling merasa tidak sabar. Dalam pertarungan panjang tanpa hasil ini, dia jadi marah, mendesak Su Dangu mundur hingga ke sudut. Dengan satu seruan, seluruh ototnya mengeluarkan lonjakan tenaga. Dia mengangkat golok panjangnya dan menyambar ke arah Su Dangu.
Serangan ini mengandung momentum penuhnya, bagai membelah gunung, membawa hawa membunuh!
Dengan gugup Yaoying menahan napasnya.
Tubuh tinggi Su Dangu tidak bergerak. Wajahnya tenang, dia memgang golok panjang di tangan kirinya secara mendatar, kekuatannya bagaikan gelombang, dengan kekuatan menderu yang luar biasa, dia pun membalas serangan Haidu Aling!
Haidu Aling terpental mundur dan mengeluarkan lenguhan teredam lainnya, dengan darah mengalir keluar dari sudut mulutnya.
Haidu Aling menyapukan pandangan ke belakangnya dan mendapati kalau orang-orangnya belum menyusul. Tatapannya suram, tiba-tiba dia mundur beberapa langkah, mendarat di sisi Yaoying. Dia melingkarkan satu lengan pada pinggang Yaoying dan berbalik untuk kabur.
“Su Dangu, saat kelak kita bertemu di medan perang, kita akan bertanding lagi!”
Yaoying tak sempat berteriak minta tolong ketika suatu serangan ganas memelesat lewat. Jubah berkelepak, Su Dangu mengejar dalam beberapa langkah. Sosok pria itu bagai monster, goloknya menyambar turun pada lengan kanan Haidu Aling.
Jantung Haidu Aling melonjak pada bahaya yang begitu dekat ini, dan dia pun mengelak dari serangan golok itu. Su Dangu memelesat maju, menyambar bahu Yaoying, dan menarik gadis itu ke arahnya.
Yaoying merasakan suatu ujung tajam nan dingin melintas di sudut matanya dan berkata keras, “Awas!”
Sebilah pisau pendek keluar dari lengan baju Haidu Aling dan terbang lurus menuju Su Dangu!
Su Dangu tak bicara sepatah kata pun, sosok tingginya menyambar ke depan. Bagai elang yang menangkap kelinci, tangan kanannya melingkari pinggang Yaoying. Haidu Aling terhuyung, dan tangan kiri Su Dangu menyerangnya, mustahil untuk menahannya.
Mata Haidu Aling sedikit memicing, menyingkirkan pisau pendeknya, lalu melompat lurus ke belakang.
Jantung Yaoying berdebar kencang, sekujur tubuhnya bermandikan keringat dingin. Dengan panik, dia memeluk leher Su Dangu, menempel pada dada pria itu, sedikit gemetaran.
Dengan cepat Su Dangu memelesat melintasi barisan atap dengan Yaoying berada dalam pelukannya. Berhenti di atas dinding sebuah griya, dia berbalik, menatap Haidu Aling.
“Putri Wenzhao adalah Gadis Mordenga milik Raja. Kalau ada lain kali, tanganku takkan berbelas kasihan.”
Dia mengucapkan kata demi kata, suaranya parau.
Wajah Haidu Aling sesuram air. Menatap Yaoying yang mengerut dalam pelukan Su Dangu, sudut-sudut mulutnya berkedut beberapa kali. Dia lalu berbalik dan melangkah pergi.