The Longest Day in Chang’an - Chapter 6
Di bawah tatapan semua penghuni di daerah dekat situ, Zhang Xiao menunjukkan teknik mengedarainya yang mumpuni. Memakai talinya sebagai cambuk kuda, dia membuat kuda-kuda penarik kereta berbelok ke barat sedikit demi sedikit. Roda-roda kereta membentuk jejak dua lengkungan yang nyaris sempurna di atas permukaan tanah yang tak terlapisi. Saat kereta itu selesai berbelok dan benar-benar mengarah ke barat, tapal-tapal kedua kuda penarik kereta itu baru saja melewati Guolong Kan di gerbang timur Pasar Barat.
Kedua roda kayu yang berputar itu secara akurat melewati kedua celah di pembatas tanpa kesalahan sedikit pun. Pembelokan itu tak memengaruhi kecepatan keretanya sama sekali. Kereta itu memelesat ke dalam Pasar Barat.
Begitu dia memasuki Pasar Barat, Zhang Xiaojing tak melajukannya di sepanjang jalan utama menuju Jalan Kesepuluh melainkan memelesat ke dalam sebuah halaman di samping. Pertama kereta itu menjatuhkan lebih dari sepuluh kendi-kendi besar arak dengan suara pecah yang keras, lalu menjebol sepasang pagar dan setengah rumah kayu, dan kemudian meluncur tepat menuruni bukit di sepanjang lereng.
Zhang Xiaojing tahu dalam kondisi macam apa kelima gentong kayu tersebut bahkan tanpa perlu memutar kepalanya untuk melihat. Setelah mengalami begitu banyak tumbukan, bau belerang jadi semakin kuat dan semakin kuat lagi, mencapai titik peralihan. Pada kenyataannya, merupakan berkat para Dewa di Langitlah Bom-bom Api Ganas itu masih belum meledak, yang mana benar-benar sebuah mukjizat. Meski dirinya menghadapi kematian yang tak terelakkan, di mata tunggalnya, tak ada kepanikan ataupun keputusasaan; hanya ketenangan, jenis yang seperti batu karang.
Di dasar lereng terdapat sebuah kanal yang luasnya sekitar dua puluh meter, permukaannya padat membeku. Nama kanal ini adalah Kanal Guangtong. Kanal ini memasuki kota melalui Gerbang Cahaya Emas, melewati Jude Fang dan Qunxian Fang lalu kemudian masuk ke Pasar Barat. Kanal Guangtong dilebarkan pada Tahun Tianbao kedua demi untuk memfasilitasi pengapalan balok-balok kayu dari Tebing Qin. Dalam dam lebar, kanal itu membuat kapal-kapal bervolume lima ratus Shi (T/N: Shi adalah unit pengukuran volume; 0,1 kubik meter) untuk berlayar di atasnya.
Tiga shichen yang lalu, Cao Poyan telah melompat ke dalam kanal ini di tempat ini dan berhasil menyingkirkan para pengejarnya. Masih terdapat sebuah lubang di permukaan es, yang mana disebabkan oleh pendaratan Cui Qi.
Tanpa ekspresi, Zhang Xiaojing mengeratkan mantelnya rapat-rapat ke sekeliling tubuhnya dan mencambuk kuat-kuat kedua kuda penarik kereta untuk terakhir kalinya. Momentum yang berhasil didapatkan oleh kereta itu saat menuruni ngarai serta lari kuda penarik kereta yang gila-gilaan akibat rasa sakit membuat keretanya meluncur maju pada kecepatan yang luar biasa tinggi. Kereta itu memelesat melewati tepian kanal yang dibentuk dari sekumpulan tanah kuning yang dipadatkan dan tanpa gentar terjatuh menuju permukaan beku yang luas.
Kereta berat itu terbang membelah udara dan mendarat berat pada permukaan tipis es. Seperti yang sudah didga, dengan dentuman keras membahana, permukaan yang beku itu pun pecah. Semburan air dingin membekukan berubah menjadi tangan-tangan yang tak terhitung jumlahnya, menyeret kereta itu tenggelam menuju air yang dalam. Pada saat bersamaan, Bom-bom Api Ganas tersebut akhirnya meledak, menghasilkan suara ledakan teredam dan seuntai awan-awan berapi yang setengahnya berada jauh di bawah permukaan air, dan setengah lainnya berada di permukaan, riak-riak dengan cepat menyebar luas.
Kanal Guangtong mendadak mulai begolak dengan ganas seperti seekor ular raksasa yang ketakutan, semburan air dan api membuncah pada waktu bersamaan. Amat banyak potongan-potongan es halus yang menyembur tinggi dan terlontar ke angkasa, ditemani oleh asap tebal. Bila para penyair yang sedang mengunjungi Chang’an melihat pemandangan langka ini dari tepian, mereka pasti akan mengarang banyak puisi bagus yang akan menjadi tenar di masa mendatang.
Tak lama setelah ledakan tersebut, sejumlah besar prajurit elit dari Departemen Jing’an dan Departemen Pengawal Praetorian bergegas mengerumuni tepian kanal. Pada saat ini, permukaan beku dari kanal di bagian yang ini semuanya telah runtuh. Hanya separuh roda yang tidak lengkap yang mengambang di situ, menghitam seluruhnya.
Semuanya dimulai dari permukaan membeku di tempat ini, dan berakhir di bawah permukaan air di tempat ini juga, seolah sesuai dengan teori Buddhisme mengenai reinkarnasi.
Setelah menjalankan pemeriksaan kerusakan tahap awal, mereka mendapati bahwa sebuah celah yang sangat besar terbentuk di tepian kanal akibat kekuatan ledakan. Kunci-kunci pada kanal jadi miring. Separuh dari sebuah Kuil Dewa Kota kecil di dekat kanal telah rubuh. Beberapa pohon dan perahu-perahu kecil di dekat tepian hancur. Sepasang tukang angkut mematahkan kaki mereka. Semua ini adalah kerusakan yang disebabkan oleh ledakan tersebut.
Tak ada cara untuk menemukan berapa tepatnya dari kelima Bom Api Ganas itu yang meledak, namun satu hal telah jelas – bila bukan karena Zhang Xiaojing yang telah melajukan keretanya menuju Kanal Guangtong untuk meredam kekuatan ledakan dengan air, kerusakannya akan jadi puluhan kali lebih berat tak peduli di mana pun bom itu meledak.
Akhirnya, krisis telah terselesaikan. Semua orang merasa amat sangat lega. Barulah saat ini mereka menyadari niat sebenarnya dari Zhang Xiaojing. Dalam keadaan darurat seperti itu, Kanal Guangtong di Pasar Barat adalah satu-satunya solusi. Pastinya tidak mudah baginya untuk mendapatkan ide ini, dan pastinya bahkan lebih sulit lagi untuk menjalankannya.
Xu Bin dengan gugup mencengkeram tangan Yao Runeng dan berkata, “Penglihatanku buruk. Penglihatanmu bagus. Apa kau telah menemukan dia? Omong-omong, Biro Pasar Barat memiliki enam perahu kecil di Kanal Guangtong. Berangkatkan kapal-kapal itu ke tengah kanal dan cari dia!”
Dengan perasaan campur aduk, hati Yao Runeng dipenuhi oleh kekaguman atas narapidana hukuman mati ini. Ternyata Zhang Xiaojing tak membual. Dia benar-benar merisikokan jiwa dan raganya demi menyelamatkan kota ini. Teringat pada semua yang telah terjadi selama beberapa shichen terakhir, Zhang Xiaojing tak melakukan sesuatu yang bersalah dengan pengecualian telah membunuh Xiao Yi. Yao Runeng merasa lebih malu lagi karena dirinya selama ini telah mencurigai seorang pahlawan seperti itu.
Namun dia yakin kalau siapa pun akan sulit untuk bisa selamat dari ledakan sekuat itu. Yao Runeng tak sampai hati untuk memberitahukan penilainnya kepada Xu Bin, jadi dia hanya berdiri diam di samping kanal, menatap ke kejauhan dengan wajah serius.
Bila Zhang Xiaojing mati hanya dengan seperti itu, dia dan pengalaman masa lalunya akan menjadi misteri selamanya.
Datanglah langkah-langkah kaki. Dia menolehkan kepalanya ke belakang dan mendapati bahwa Sicheng Li sendiri telah tiba. Pria itu berdiri di puncak lereng, menatap ke arah kanal, raut di wajahnya tak terbaca. Gadis pelayan cantik itu berdiri di sampingnya, jubah brokat kuning gadis itu sangat mencolok. Yao Runeng membatin, ‘Waktu itu Sicheng Li mengabaikan semua keberatan dan menunjuk Zhang Xiaojing sebagai seorang agen. Dia bahkan bentrok dengan Pengawas He gara-gara ini. Aku penasaran bagaimana perasaannya tentang akhir ini.’
Tepat pada saat ini, di tepi kanal yang berseberangan, seorang anggota Buliang Ren melambaikan tangannya dan berseru kegirangan. Yao Runeng buru-buru berhenti terpekur dan menatap ke arah orang itu bersama dengan Xu Bin.
Mereka melihat beberapa orang anggota Buliang Ren sedang membantu sebuah sosok untuk naik ke tepian. Sosok itu mengenakan mantel dan tampak lemah, namun setidaknya dia masih bisa berjalan. Di belakangnya terdapat sebuah Pilar Sutra (T/N: sebuah pilar dengan sutra Buddhis terukir di permukaannya) batu yang tinggi dengan bagian puncak berbentuk seperti bunga teratai berkelopak sembilan.
Buddhisme sangat lazim di Dinasti Tang. Tentu saja, sebuah tempat yang penting seperti Kanal Guangtong pasti memiliki Pilar Sutra. Para pejabat juga memerintahkan agar sebuah kuil Bodhisattva dibangun di dekat situ. Pilarnya juga bisa dipakai untuk mengindikasikan ketinggian air pada kanal. Sosok itu mungkin secara kebetulan telah terbaring di bawah Pilar Sutra batu tersebut, yang mana menjadi sebab kenapa tim pencari pertama gagal menemukannya.
Xu Bin melompat penuh semangat dan nyaris terjun ke sungai untuk berenang langsung menuju sisi seberang. Dia berulang kali mendesak Yao Runeng menjawabnya apakah orang itu adalah Zhang Xiaojing atau bukan. Berusaha keras untuk menekan jantungnya yang berdebar, Yao Runeng melebarkan matanya dan menatap ke arah tepian di seberang. Dengan penglihatan yang luar biasa, dia langsung melihat mantel kelabu itu dengan sepasang lubang besar hitam pekat di kainnya.
Ya. Itu adalah mantel yang terbuat dari kain Huohuan.
Jadi, Zhang Xiaojing masih hidup?!
Dia mungkin telah melompat sendiri dari kereta itu pada saat terakhir sebelum ledakan tersebut, dan letusannya telah melontarkan Zhang Xiaojing ke sebuah posisi di dekat Pilar Sutra batu. Mantel itu melindunginya dari semburan pertama lidah-lidah api. Batu segi delapan dari Pilar Sutra memberinya sesuatu untuk dipegangi, yang menjadi sebab kenapa dia tak tenggelam ke dasar kanal. Ini sungguh merupakan berkah dari Buddha!
Xu Bin dan Yao Runeng bersorak seperti anak-anak, wajah sarat dengan kegembiraan. Yao Runeng menghirup napas dalam-dalam. Tak mungkin ada akhir yang lebih baik daripada ini. Dia mulai mempertimbangkan apa yang semestinya dia katakan kepada Zhang Xiaojing saat mereka bertemu beberapa waktu nanti, ‘Haruskah aku pertama-tama menyelamatinya karena diampuni dari pelanggaran besar atau haruskah aku meminta maaf lagi kepadanya?’
Zhang Xiaojing tak menyadari bahwa ada dua orang yang bergembira atas keselamatannya dan bersorak. Dirinya masih pusing dan lunglai. Setelah berjalan beberapa langkah dengan bantuan yang lainnya, dia harus berhenti dan duduk di tempat. Meski telah dengan beruntung bisa menghindari ledakan, pertama-tama dia terkena api dan kemudian terendam dalam air es, yang mana benar-benar merupakan pengalaman yang menyengsarakan. Darah kembali merembes keluar dari luka-luka pada jarinya yang putus, ketiak, dan punggung.
Dua orang anggota Buliang Ren dengan patuh membantunya melepaskan mantel dan jubah yang telah compang-camping, lalu memasangkan sebuah jaket tebal dan kering padanya. “Komandan Zhang, berkat jasa kepahlawananmu, sekarang semua orang selamat,” seorang anggota Buliang Ren berkata dengan nada menjilat, menyerahkan sehelai handuk kepadanya.
Zhang Xiaojing mengambil handuk itu, menyeka air dari rongga matanya dan mengembalikan handuk itu kepada orang tersebut, namun sama sekali tak ada raut kelegaan di wajahnya.
Memang benar, semua Pengawal Serigala telah mati, tetapi dia terus memiliki suatu perasaan bahwa semuanya masih belum berakhir. Jumlah Bom-bom Api Ganas itu tak terlalu besar namun terlalu kecil. Dengan hanya lima belas gentong minyak batu, paling banyak orang-orang Turki itu bisa meledakkan beberapa fang, yang mana masih jauh dari membakar seluruh Chang’an. Apakah ‘Quele Huoduo’ yang telah diserahi begitu banyak harapan dari orang-orang Turki tersebut benar-benar sesederhana itu?
Bila memang sesederhana itu, mereka bisa langsung melajukan kereta-kereta itu ke dalam beberapa fang. Mereka takkan membutuhkan peta fang.
Di samping itu, keberadaan Wen Ran tetap tak diketahui. Tak ada tanda-tanda wanita apa pun di gudang tempat ketiga kereta itu berada.
Ada terlalu banyak titik yang patut dipertanyakan dalam masalah ini. Zhang Xiaojing sedang memikirkan tentang bagaimana harus berkonsultasi dengan Li Bi atas masalah ini saat mendadak dia mendengar langkah-langkah kaki yang pasti datang mendekat. Dia mengangkat matanya, mengalihkan pandangan ke arah suara-suara itu dan mendapati bahwa orang itu ternyata adalah Cui Qi, yang bertanggung jawab untuk mencari di sisi kanal yang ini dan karenanya tiba lebih dahulu.
“Jenderal Cui, semua ini masih belum berakhir. Bawa aku pada Sicheng Li sekarang juga,” Zhang Xiaojing berkata lantang.
Namun wajah Cui Qi tak berekspresi tanpa ada senyum sama sekali di situ. Dia berjalan menghampiri Zhang Xiaojing, melambaikan tangannya, dan dengan isyarat itu dua orang prajurit Lubi pun menerkam Zhang Xiaojing dan menekan lengannya kuat-kuat ke tanah.
“Bawa dia pergi.” Cui Qi terus menghindari matanya.