The Grand Princess - Chapter 45
“Yang Mulia bisa tinggal melanjutkannya saja.”
—————
Li Rong mendengar kata-kata Pei Wenxuan dan membisu menatap pria itu.
Sejenak dia merasa agak kebingungan. Dia mengerti apa yang telah Pei Wenxuan ucapkan, tetapi juga ada beberapa bagian yang tidak dia pahami.
Pei Wenxuan menyukai dirinya, dan dia sudah mengetahuinya sejak lama.
Tetapi kemudian Pei Wenxuan berkata tidak menyukai Qin Zhenzhen, yang mana agak di luar perkiraannya.
Yang bahkan lebih mengejutkannya adalah bahwa Pei Wenxuan mengucapkan kata-kata ini dengan gaya yang begitu jelas dan tegas sehingga suatu rasa panik yang samar mulai berbentuk jauh di dalam hatinya.
Ditatapnya Pei Wenxuan. Pei Wenxuan mendongakkan kepala dan juga menatap dirinya. Ada harapan dalam mata pria itu, pendambaan, dan sesuatu yang lain yang bahkan Pei Wenxuan tidak menyadarinya – cahaya berapi-api yang berbinar lembut di matanya.
Pei Wenxuan bagaikan jiwa yang telah pergi yang datang untuk mencari penyelesaian atas penyesalan seumur hidupnya, menantikan satu orang itu mengulurkan tangan dan membebaskan dirinya dari penyesalan.
Namun malangnya, orang yang berdiri di hadapan Pei Wenxuan juga bergentayangan di neraka.
Li Rong menatap ke dalam mata Pei Wenxuan dan mengamati ketika sorot penuh harap dan damba di sepasang mata itu perlahan memudar sedikit demi sedikit. Bagaikan api yang berkobar menyala-nyala, kini padam seakan seseorang telah menyiramkan sebaskom air dingin di atasnya.
Li Rong berusaha mengendalikan semua emosinya ketika dia mengalihkan tatapannya ke bawah dan berkata dengan suara lirih: “Apa yang barusan kau katakan tadi, aku akan mempertimbangkannya secara seksama. Kembalilah ke kereta dan ayo kita pulang dulu.”
Setelah berkata demikian, Li Rong mengangkat tirai, duduk kembali di dalam kereta dan berkata acuh tak acuh: “Semuanya, kita pulang.”
Pei Wenxuan tidak menjawab dan hanya berdiri di samping kereta. Li Rong menurunkan tirai, memejamkan matanya dan mulai beristirahat sejenak.
Semua pengiring bergegas kembali. Sang kusir menatap Pei Wenxuan, yang masih berdiri di tempatnya di samping kereta lalu dengan ragu bertanya: “Fuma, apa Anda masih mau naik ke kereta?”
Pei Wenxuan menundukkan kepalanya. Dia merasakan gelombang rasa lelah tiba-tiba melandanya. Tiba-tiba dia tak mau melihat Li Rong lagi, tak mau bicara sepatah kata pun lagi kepada Li Rong, ataupun memiliki interaksi lain apa pun dengannya.
Li Rong bagaikan sebongkah es yang tak bisa dilelehkan dengan kehangatan, batu tak tertembus yang bahkan setetes kecil air pun tak mampu meresap ke dalamnya. Tak peduli sekeras apa pun Pei Wenxuan berusaha, orang itu takkan pernah menanggapi.
Meski dia tak tahu bagaimana dia ingin Li Rong menanggapinya, Pei Wenxuan masih merasa bahwa bahkan jika Li Rong bereaksi sedikit saja dan menghardik dirinya atau membujuknya agar berubah pikiran, balas mencintainya atau membenci dirinya, dia bisa menerimanya karena hal itu masih lebih baik daripada kesunyian pada saat ini yang rasanya seperti sikap diam orang asing.
Dia masih berdiri di tempat yang sama. Li Rong menyadari kalau dia masih juga belum naik ke kereta setelah lewat beberapa lama dan akhirnya membuka mata lalu bertanya tenang, “Kau tidak naik?”
“Tak perlu.”
Pei Wenxuan berbalik dan berkata lelah: “Kau bisa kembali duluan. Aku akan pergi ke biro pemerintahan.”
“Kalau begitu….” Perlahan Li Rong membuka mulutnya dan berkata, “Berhati-hatilah di jalan.”
Pei Wenxuan menjawab dengan gumam mengiyakan rendah seakan tak terjadi apa-apa di antara mereka berdua. Pei Wenxuan menyuruh pengiring yang lain di dekatnya agar menunggu, dan sebelum dia pergi, dengan lembut dia berkata, “Li Rong, kalau dihadapkan dengan situasi tak terduga apa pun, kau selalu menguburkan perasaan-perasaanmu di dalam hati dan ingin memakai akal sehat untuk menyelesaikan segalanya, tapi suatu hari nanti kau akan menemukan bahwa tidak semuanya bisa diselesaikan hanya berdasarkan pada akal sehat.”
“Di balik kekuasaan dan pengaruh selalu terdapat hati manusia.” Pei Wenxuan mendongak menatap jalan panjang di depan dan berkata acuh tak acuh, “Kalau kau tak kunjung bisa memahami hati manusia, maka pada akhirnya, semua yang kau inginkan takkan ada nilainya.”
Setelah berkata demikian, Pei Wenxuan berbalik dan pergi dengan membawa lentera di tangannya.
Mereka berdua pergi ke arah yang berbeda. Cahaya rembulan di atas kepala menyinari jalan Huajing yang panjang. Pei Wenxuan pergi ke arah biro pemerintahan sementara Li Rong duduk di dalam kereta yang mengarah pulang ke Wisma Putri.
Li Rong memejamkan matanya dan memberitahu dirinya sendiri agar jangan terlalu memikirkannya.
Pei Wenxuan memang selalu seperti itu. Pria itu bisa mengucapkan apa pun yang ingin dia ucapkan ketika marah, kata-kata terucap tanpa pertimbangan, jadi dia tak perlu terlalu memikirkannya.
Akan tetapi, untuk suatu alasan tertentu, kata-kata Pei Wenxuan terus bergema di dalam kepala Li Rong, lagi dan lagi.
Di balik kekuasaan dan pengaruh selalu ada hati manusia.
Li Rong teringat tentang bagaimana Su Rongqing berlutut di hadapannya dan berharap agar dia dan Pei Wenxuan bisa hidup dengan baik – teringat pada penampakan Li Chuan yang berdiri tegak dari balik layar kasa, bersiap untuk pergi – teringat pada berbicara dan tertawa gembira bersama Shangguan Ya di sisinya pada kehidupan yang lampau tetapi tak pernah melihat mata Shangguan Ya berbinar cerah – teringat pada bagaimana Permaisuri yang sakit berbaring di ranjang pada kehidupan lampau, ingin mengatakan sesuatu kepadanya namun pada saat itu meragu dan hanya menatap dirinya – teringat bagaimana Li Ming mati sakit di atas ranjang, dan juga gambaran tentang Pei Wenxuan yang berusia dua puluh tahun, tampak seakan hendak mengatakan sesuatu namun memutuskan untuk membatalkannya, menyerah dengan enggan dan tak berani membuka mulut untuk mengucapkan sepatah kata pun.
Bayangan-bayangan itu melintas satu-persatu di dalam benaknya. Diremasnya kipas emas di tangannya kuat-kuat.
Dia merasa bahwa dirinya dan Pei Wenxuan semakin lama semakin menjauh, dan dia tahu dengan sangat jelas bahwa asalkan dia bisa melewatinya dan bertahan untuk saat ini – asalkan dia terus maju dan duduk di dalam kereta, tak pernah berbalik di sepanjang perjalanan, dan begitu gerbang-gerbang Wisma Putri terbuka, dirinya masih akan menjadi Putri Ping Le yang sama seperti sebelumnya.
Dia bisa mandi, menyalakan sedikit dupa, dan tidur dengan damai. Ketika keesokan harinya Pei Wenxuan pulang, pria itu akan sudah tenang dan kemungkinan besar takkan mengatakan apa-apa lagi tentang urusan ini, dan itu akan menjadi akhir dari masalahnya.
Dia memahami temperamen Pei Wenxuan. Ini bukanlah hal yang penting. Setelah bertengkar dan membiarkan Pei Wenxuan mengatasi amarahnya, pria itu akan lanjut melakukan semua yang seharusnya, dan takkan perlu melakukan apa-apa lagi soal itu.
Namun masih ada suatu perasaan gelisah tak terkendali yang samar-samar membuncah di dalam hatinya. Dia menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata.
Pada saat itu, tiba-tiba Li Rong teringat kali terakhir dia melihat Pei Wenxuan di kehidupannya yang lalu.
Pei Wenxuan memunggunginya, mengenakan jubah hitam dan mahkota kecil nan megah dengan siluet kurus namun bangga dan dingin. Pria itu berjalan pergi dengan punggung menghadap ke arahnya, melintasi ambang pintu dan melangkah menuju ke kejauhan yang ada di luar jangkauannya.
Orang itu benar-benar berbeda dengan Pei Wenxuan yang ditemuinya pada kehidupan ini.
Pei Wenxuan telah terlahir kembali seakan telah melepaskan raga fananya dan menukar tulang-tulangnya, namun Li Rong masih melekat pada masa lalu dari kehidupan lampaunya.
Begitu dia menyadari hal ini, akhirnya Li Rong tak tahan lagi dan berseru: “Hentikan keretanya!”
Kusir menghentikan kereta, tak mampu berkata-kata. Li Rong duduk di dalam kereta dan mengangkat tangannya untuk memegangi dahinya, merasa pilu. Sesaat kemudian, perlahan kondisi pikirannya kembali stabil, dan akhirnya dia berdiri, mengangkat tirai dan keluar menuju bagian depan kereta.
Hawa dingin dan angin membekukan yang tiba-tiba menerpa sedikit menjernihkan pikirannya. Li Rong berdiri di atas bagian depan kereta dan berbalik untuk menatap Pei Wenxuan yang berada di kejauhan.
Pria itu sedang berjalan menelusuri jalan yang panjang, mengenakan jubah luar putih di atas baju biru dengan mahkota kecil dari kumala di kepalanya. Perlahan tatapan Li Rong mengikuti pergerakan pria itu, dan beberapa saat kemudian, Li Rong melompat turun dari kereta.
Pengiring di sisinya agak terpana dan buru-buru memanggilnya: “Yang Mulia, Anda….”
Li Rong tak memerhatikan mereka ketika dia buru-buru berlari ke arah Pei Wenxuan, berseru seraya berlari: “Pei Wenxuan!”
Dengan kaget Pei Wenxuan berbalik. Angin menyapu lengan bajunya yang panjang, membuatnya berkelepakan seiring dengan lentera istana yang berayun bersama dengan angin petang. Kemudian dia melihat Li Rong berhenti dalam jarak tertentu darinya. Li Rong sedang menatapnya dan bicara dengan suara agak goyah yang jarang ditemuinya: “Aku ingin minta maaf kepadamu tentang yang telah terjadi tadi.”
“Aku seharusnya menanyakan pendapatmu terlebih dahulu mengenai urusan antara kau dan Qin Zhenzhen, tidak memutuskannya sendiri. Tapi aku benar-benar tak bermaksud jahat.”
“Sebelumnya, ketika aku bertanya padamu tentang apa hubunganmu dengannya, kau memberitahuku kalau kau tak bisa melepaskan dia. Jadi kupikir kau mungkin menyukaiku, tapi juga ada dia di dalam hatimu. Aku tak mau hubungan semacam itu, jadi aku memilih untuk pergi, supaya kau bisa sepenuhnya menetapkan hatimu hanya pada satu orang.”
“Dia tidak cocok untuk masuk istana. Kalau dalam kehidupan ini kau bisa melindungi dia, dia bisa memiliki kehidupan yang damai, dan kau takkan merasakan penyesalan seperti itu lagi. Jadi dalam hatiku, kalau kalian berdua bisa bersatu,” perlahan napas Li Rong kembali tenang, “maka takkan ada yang lebih baik dari hal itu.”
Pei Wenxuan membisu menatap Li Rong seraya mendengarkan.
Li Rong melihat betapa tenang Pei Wenxuan dan tak tahan untuk mengulas senyum pahit: “Pei Wenxuan, bukan hanya kekuasaan yang kuanggap penting dalam hatiku. Kalau orang lain baik kepadaku, aku juga akan ingin baik kepada mereka.”
“Aku bukan hanya memanfaatkanmu untuk menyelesaikan masalah Chuan’er, aku juga memikirkan tentangmu.”
Pei Wenxuan tetap membisu. Dia menatap Li Rong selama beberapa saat sebelum perlahan tersenyum “Kalau begitu kau tidak merasa jijik?”
Li Rong agak kebingungan. Pei Wenxuan mengangkat lentera di tangan dan berjalan ke arahnya. Pria itu menatapnya dengan penuh kesungguhan: “Kalau di satu sisi, aku mencintaimu, dan di sisi lain, aku juga mencintai Qin Zhenzhen, tidakkah kau akan merasa jijik pada orang seperti aku?”
Li Rong terdiam dan tak mengatakan apa-apa, namun Pei Wenxuan berujar tenang: “Li Rong, apa kau tahu kenapa aku marah?”
“Yang paling membuatku marah adalah bahwa kau tak pernah mengatakan yang sebenarnya kepadaku.”
Li Rong menatap Pei Wenxuan tanpa bersuara. Pei Wenxuan menundukkan kepalanya dan menatap lurus ke dalam mata yang disinari oleh cahaya rembulan itu. Pei Wenxuan terkekeh pelan: “Kau itu terlalu rasional, dan itulah sebabnya kenapa kau menutupi semua emosimu, membuatku merasa menyedihkan karena rasanya seperti akulah satu-satunya orang yang peduli tentang hal ini, dan akulah satu-satunya orang yang bersikap amat konyol tentang urusan ini.”
“Maafkan aku.” Li Rong menurunkan tatapannya: “Ini memang kebiasaanku.”
“Kalau begitu apa kau bisa memberitahuku….” Pei Wenxuan menatap Li Rong dan berkata dengan suara lembut: “Apa kau mengerti kata-kataku sebelumnya?”
“Aku mengerti.”
“Apa kau senang?”
Li Rong tak menjawab. Dia hanya menatap Pei Wenxuan, dan setelah lewat beberapa saat, dia menggertakkan giginya dan memaksa keluar kata-kata: “Aku senang.”
Tiba-tiba tawa Pei Wenxuan meledak.
“Kalau begitu sudah cukup.”
Pei Wenxuan mengangkat lentera dan mulai berjalan ke arah kereta seraya berkata: “Aku akan menerangi jalan untukmu, Yang Mulia. Ayo kita pulang.”
Li Rong melihat kalau Pei Wenxuan hendak kembali hanya seperti itu saja, dan sejenak dia tertegun, tapi segera setelahnya, dia bereaksi dan menyusul langkah Pei Wenxuan lalu buru-buru berkata: “Aku tak tahu bagaimana harus menjawabmu sebagai tanggapannya.”
“Tanggapan?” Pei Wenxuan berbalik dan menaikkan alisnya, “Kau ingin memberiku jawaban untuk apa?”
“Yang barusan tadi kau katakan padaku.”
“Aku hanya ingin bilang padamu dan tidak lebih dari itu.” Pei Wenxuan berjalan sedikit lebih jauh ke depan untuk membantu menerangi jalan Li Rong dan dengan tenang berkata, “Aku tak perlu kau memberiku jawaban.”
Li Rong menatap nanar kepadanya, dan Pei Wenxuan tertawa: “Yang Mulia, sekarang semuanya sudah menjadi masa lalu.”
“Ada beberapa perkataan yang datang terlambat, tak perlu menanggapinya. Yang Mulia tidak perlu terlalu memikirkannya.”
“Jadi… karena sudah terlambat sampai sedemikian lamanya,” Li Rong berujar lantang seraya menatap Pei Wenxuan, “Kenapa kau masih ingin memberitahukan hal ini padaku?”
“Mulanya aku juga tak tahu penyebabnya,” Pei Wenxuan menjawab, mengulurkan tangan untuk membantu Li Rong menaiki kereta sembari mengangkat tirai dan masuk ke dalam kereta bersama Li Rong kemudian duduk.
Dia meniup api lentera hingga padam dan duduk di depan Li Rong, tersenyum seraya berkata: “Tapi sekarang aku tahu.”
“Oh?”
“Ini adalah simpul dalam hati Wenxuan di kehidupan yang lampau. Lagipula, bagaimana bisa menjadi simpul Yang Mulia?”
Pei Wenxuan mengulurkan tangan untuk menuangkan teh sambil bicara, berujar lembut: “Yang Mulia selalu mengikuti beberapa prinsip dalam hati, dan berdasarkan pada hal itu, Yang Mulia toleran dan pengertian terhadap semuanya dengan pembedaan jelas antara rasa terima kasih dan kesedihan serta menggenggam keadilan dan kejujuran. Namun Yang Mulia bukan hanya Tuan Putri Yang Mulia tetapi juga adalah Li Rong.”
“Seseorang, kalau dia manusia, pasti punya perasaan. Sebenarnya, dahulu, Yang Mulia menyalahkan dan membenciku, tapi diam-diam Anda pasti juga peduli tentang aku ini sebenarnya orang macam apa dan sebesar apa aku menyukai Anda, kan?”
“Dan mengenai Qin Zhenzhen, meski Yang Mulia jelas mengerti bahwa berdasarkan pada akal sehat, semua ini tak pernah menjadi kesalahannya, dan meski Anda sama sekali tak memasukkannya ke dalam hati, Anda masih tak pernah menyukai dia, benar kan?”
“Tidak memalukan kalau memiliki emosi-emosi semacam itu.” Pei Wenxuan berkata lembut seraya mendorong secangkir teh ke hadapan Li Rong: “Masalah ini seharusnya sudah dipecahkan sejak dulu. Andai dahulu Yang Mulia mengekspresikan semua emosi ini, mungkin pada saat itu, aku mungkin juga sudah bisa memberi Yang Mulia jawaban yang lebih baik.”
“Namun Anda terlalu tenang dan terlalu rasional. Dan pada saat itu, aku masih terlalu muda dan terlalu tak tahu apa-apa.”
“Jadi kita hanya bisa membiarkan kesalahpahaman terus bertumbuh, kemudian menguburkannya setelah menyadari kebenarannya. Pada pandangan pertama, hal ini kelihatannya tak lagi penting, tap selama ini, luka-luka ini telah diam-diam membusuk dalam kegelapan. Yang Mulia,” dengan tenang Pei Wenxuan mengamati Li Rong ketika bertanya, “Tidakkah hal ini juga menyakitimu?”
Li Rong tak mengatakan apa-apa. Dia merasa bahwa apa yang Pei Wenxuan katakan tidak terlalu tepat, tapi samar-samar sepertinya dia sadar bahwa yang pria itu katakan juga tidak salah.
Pei Wenxuan terdiam selama beberapa saat. Dalam hati dia tahu bahwa sulit bagi Li Rong untuk menerima kata-kata ini, jadi setelah lewat beberapa saat, dia mulai berkata: “Itulah sebabnya kenapa aku memberitahukan semuanya kepada Yang Mulia, bukan karena aku menginginkan suatu tanggapan. Yang Mulia bisa melepaskan simpul di dalam hati Anda, maka akan lebih mudah bagiku dan Yang Mulia untuk melanjutkan kerjasama kita.”
“Kalau tidak, jika Anda selalu harus waspada, berpikir bahwa aku adalah jenis laki-laki yang di dalam hatinya memiliki dua orang wanita,” Pei Wenxuan mendongak dan terkekeh, “Bahkan di antara teman-teman, bukankah tetap takkan bisa merasa tenang? Pada usia dua puluh tahun, kau bisa bilang kalau kau belum memikirkan semuanya secara menyeluruh dan memandang dirimu sendiri sebagai pemuda yang tanpa arah, tapi kalau kau masih tak tahu apa-apa pada usia lima puluh tahun, kalau bukan berarti kebodohan luar biasa, maka pasti ada sesuatu yang rusak di dalam hati mereka.”
“Aku tak pernah memikirkannya sedalam itu,” Li Rong berkata dengan nada suara lembut.
“Aku tahu, Yang Mulia tak terlalu memerhatikan hal-hal ini. Lagipula, Yang Mulia punya terlalu banyak hal lain untuk dipikirkan.” Pei Wenxuan telah mendengar pengingkaran Li Rong dan langsung mengubah nada kata-katanya serta memasang ekspresi serius, “Tapi kalau mengakuinya bisa membuat Yang Mulia sedikit lebih gembira, maka bukankah ini sepadan?”
Li Rong tak menjawabnya. Pei Wenxuan mengamati ekspresinya selama beberapa saat, dan melihat kalau Li Rong tetap tak bilang apa-apa, dia pun berpaling dengan senyum di wajah, menundukkan kepala dan menyesap tehnya.
Sejenak Li Rong meragu sebelum akhirnya berkata enggan: “Pei Wenxuan, bersama dengan orang sepertimu itu benar-benar menguras tenaga.”
Apa pun itu, tetap harus dilihat secara seksama hingga akhir, dan tak ada ruang bagi orang untuk diam dan menarik napas.
Pei Wenxuan menyesap tehnya, kemudian perlahan meletakkan cangkirnya ke atas meja. Dia mendongak dengan sepasang mata hangat dan lembut lalu menoleh untuk menatap Li Rong, yang duduk di depannya: “Tapi aku merasa bahwa bersama dengan Yang Mulia memberi sebuah kesenangan besar.”
Mengatakannya, begitu dia mendengar seorang gadis berseru “Pei Wenxuan” dari belakang dan juga saat-saat ketika dia berbalik dan mendapati bahwa Li Rong telah mengejarnya, dia merasa bahwa hal ini sendiri saja merupakan sebuah kesukacitaan hidup yang langka.
Pada saat itulah tiba-tiba dia mengerti bahwa dia tak pernah ingin menerima tanggapan tertentu dari Li Rong. Dia tak butuh Li Rong mengatakan apa-apa, dan dia tak mengharapkan Li Rong memberi dia apa-apa – dia hanya butuh untuk tahu.
Jadi ternyata Li Rong juga berdiri di atas panggung di tengah-tengah dentuman gong dan genderang ini. Dia bukan satu-satunya orang yang berdiri di sana, dan baginya, itu saja sudah cukup.
Li Rong telah mendengar apa yang Pei Wenxuan katakan tapi tidak marah. Dia menatap ke dalam mata tenang orang yang duduk di depannya, samar-samar merasakan percikan kesukacitaan tak terkendali memancar dari pria itu. Dia pun menyadari mengapa sore ini Pei Wenxuan membuat keributan semacam itu sepertinya sekarang telah merasa jauh lebih baik.
Li Rong tak mengatakan lebih banyak lagi tentang hal itu. Dia hanya mengangguk sebagai tanggapan dan duduk di satu sisi lalu memejamkan matanya untuk beristirahat seakan merasa sedikit lelah.
Pei Wenxuan berbalik dan menatap Li Rong. Mendapati kalau Li Rong hendak beristirahat, dia menarik keluar selimut dari laci di samping Li Rong dan menyelimuti Li Rong seraya berkata sambil lalu: “Aku akan mencari kesempatan untuk memberikan penjelasan kepada Nona Qin tentang apa yang telah terjadi sore ini, supaya dia tidak jadi salah paham. Kelak, aku takkan mencomblangkanmu dengan Su Rongqing, jadi jangan mencomblangkanku juga.”
Li Rong mengekspresikan persetujuannya.
“Aku minta maaf kepadaku atas apa yang telah terjadi sebelumnya. Tak seharusnya aku selalu memikirkan tentang mendorongmu dan Su Rongqing agar bersama.”
“Tak masalah.” Perlahan Li Rong membuka matanya, “Kadang-kadang aku merasa kalau yang kau katakan juga tidak salah, jadi aku tak menyalahkanmu. Hanya saja pada saat-saat penuh emosi, aku tak mau menyusahkan orang lain hingga semuanya menjadi jelas.”
“Sampai apanya yang menjadi jelas?” Pei Wenxuan agak penasaran.
Li Rong tersenyum dan berkata: “Kau selalu memikirkan cara-cara untuk membuat Su Rongqing menyukaiku, tapi aku belum sepenuhnya menentukan apakah aku menyukai dia atau tidak. Ini adalah sesuatu yang setidaknya harus dipastikan terlebih dahulu, kan?”
Pei Wenxuan menyelimuti tubuh Li Rong dengan benar lalu duduk di sampingnya, mengangguk seraya berkata: “Anda benar, ini adalah salahku. Maka, mulai saat ini, mari kita ubah dinamika hubungan kita.”
Li Rong mendongak menatapnya, dan Pei Wenxuan tersenyum lembut: “Aku akan mendengarkan pendapatmu mengenai urusanmu, dan kau akan mendengarkan pendapatku mengenai urusanku.”
“Baiklah.” Li Rong menjawab.
Melihat kalau Li Rong sudah menyetujuinya, Pei Wenxuan berdiri dan kembali ke bangkunya. Li Rong menarik selimutnya, bersandar pada sisi kereta dan memiringkan kepala seraya menatap Pei Wenxuan.
Pei Wenxuan mengeluarkan memorial untuk tahta, membukanya di dekat cahaya lilin dan mulai membaca dengan cahaya lilin kuning redup yang membingkai siluetnya. Sejenak Li Rong memandanginya. Ketika Pei Wenxuan membaca memorialnya, tiba-tiba dia teringat sesuatu: “Ah, ada satu hal lagi.” Dia mendongak dan menoleh untuk menghadap Li Rong, “Yang Mulia segera akan harus membuat keputusan mengenai masalah memilih selir bagi Yang Mulia Putra Mahkota. Meski hari ini Anda telah membantu dia di perjamuan, selama masih ada hari ketika pernikahannya belum diputuskan, maka akan ada hari lainnya, kesempatan lainnya bagi seseorang yang tidak sesuai dengan harapan Anda untuk dipilih. Kalau Yang Mulia sudah memikirkan seseorang, lebih baik kalau Anda mengaturnya sesegera mungkin.”
Li Rong tetap membisu. Dia bersandar pada dinding kereta, dan beberapa saat kemudian, perlahan dia mulai berkata, “Hari ini Chuan’er senang sekali. Sudah lewat bertahun-tahun lamanya sejak dia sedekat ini denganku untuk mengatakan hal-hal seperti ini kepadaku.”
Meski Li Chuan biasanya tidak bertengkar dengannya, kondisinya benar-benar berbeda dari hari ini.
Pei Wenxuan tidak langsung menjawab dan hanya mendengarkan ketika Li Rong mengeluarkan desahan lelah dan mengeluhkan: “Dia pasti tak terlalu senang soal memilih selir.”
“Apa yang membuat Yang Mulia ragu?”
Sebenarnya, Pei Wenxuan mengerti apa yang Li Rong maksudkan, tapi dia masih memilih untuk bertanya sekali lagi. Li Rong tak bicara, jadi Pei Wenxuan berpikir sejenak lalu berkata, “Besok Yang Mulia Permaisuri pasti akan memanggil Yang Mulia ke istana. Kenapa Anda tak memakai kesempatan ini untuk bicara baik-baik dengan Yang Mulia Putra Mahkota? Tapi sebelum itu,” Pei Wenxuan mengulas senyum lembut, “Anda harus beristirahat lebih banyak.”
Li Rong menyuarakan persetujuannya, kemudian memejamkan matanya. Pei Wenxuan mengambil memorialnya, dan sejenak kemudian, dia kembali bicara dan berujar lembut, “Tak peduli apa pun hasilnya dan apa pun yang ingin Yang Mulia lakukan, aku akan selalu ada di sisi Yang Mulia.”
“Jadi… Yang Mulia bisa tinggal melanjutkannya saja.”