Like Wind on A Dry Branch - Special 5
- Home
- Like Wind on A Dry Branch
- Special 5 - Satu-satunya Permintaan yang Tidak Dikabulkannya (2)
Killian tersenyum, bersandar pada bingkai jendela. “Aku cuma merindukanmu.”
“Kita kan bertemu setiap saat.” Rietta memelotot main-main kepadanya. Para asisten pendeta menatap sekilas pada pasangan itu lalu diam-diam menyelinap keluar dari ruangan tersebut. Rietta membentangkan lengannya dan Killian mengangkatnya, lalu mendudukkannya lagi di depan jendela.
“Aku suka begini. Rasanya seperti aku sedang memujamu.”
“Pujalah aku sebanyak yang kau mau,” Rietta berkata, menundukkan kepalanya. Rentetan ciuman mengikuti.
“Kau mau pergi jalan-jalan dengan Adel?” Killian terdiam ketika bibir Rietta menemukan lehernya. “Um… mungkin nanti saja.”
“Geli.” Rietta terkikik ketika ciuman-ciuman itu terus berlanjut.
“Geli? Di mana, di sini?”
“Kumohon, Killian. Kita ada di kuil.”
“Aku sedang memuja dewiku. Ada masalah dengan itu?”
Rietta tertawa dan mendorong bahu Killian. “Killian, tunggu. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu.”
Killian mencondongkan diri ke belakang, walaupun tangannya masih tetap merangkul pinggang Rietta. Dia tampak tenangg dan santai. Rietta nyaris merasa bersalah karena mengungkit hal ini.
Tapi dia perlu mengatakannya. “Aku telah berpikir… tapi mungkin aku seharusnya bertanya padamu. Aku terus menebak-nebak karena kau tak mau memberitahuku secara langsung. Tapi Killian… tak ada rahasia di antara kita, kan?”
“Tentu saja tidak,” Killian serta merta berkata.
“Kalau begitu, apa kau siap menjawab pertanyaanku?”
Killian tampak jelas sedang meneguhkan dirinya. Dia tahu apa yang Rietta maksudkan. “Ya, aku siap.”
“Apa karena Adel? Kalau kau dan aku punya anak, hal itu memang akan mengubah beberapa hal untuk Adel. Tapi itu normal. Setiap anak pertama merasakannya begitu adik mereka lahir.”
Killian menatap Rietta. Namun dia tersenyum, jadi Rietta mengumpulkan keberanian untuk meneruskan.
“Akan bohong kalau aku bilang aku tidak cemas juga. Tapi sebagai keluarga, kita bisa mengendalikan kecemasan-kecemasan semacam itu. Dan kurasa kita bisa melakukannya, jadi….” Rietta menarik napas dalam-dalam. “Kuharap kau tidak menolak untuk memiliki anak lain hanya demi kepentingan Adel. Kalau memang dialah alasannya -”
“Bukan dia.” Killian menggelengkan kepalanya. “Aku tak menyadari kalau itulah yang kau pikirkan, walaupun hal itu bisa dimengerti. Maaf karena tidak bicara lebih jelas. Aku….” Dia menghela napas dan tersenyum. “Aku cuma tak mau anak. Tak ada alasan. Memang beginilah aku. Aku ingin fokus padamu dan Adel saja.”
“Kau cuma… tak mau anak?”
“Ya, aku tak mau. Bukannya aku tak suka anak-anak. Aku mencintai Adel, sungguh. Tapi aku tak yakin apakah aku akan mencintai lebih banyak lagi anak-anak.” Belakangan ini, dia sudah mengamati Rietta lekat-lekat. Dia sudah melihat senyum kecewa Rietta setiap kali dia menghindari pertanyaan ini dan bagaimana Rietta memeluk bayi yang barusan tadi diberkatinya.
Rietta tampak girang bukan kepalang saat Nella dan Martin punya bayi seakan bayi itu adalah anaknya sendiri.
Killian teringat kembali pada potret ibunya yang ada di perpustakaan. Sudah waktunya untuk berkata jujur. “Sebenarnya, aku sangat mencintai Adel karena dia telah membuatmu bahagia.” Dia berpaling.
Tiba-tiba, kesadaran itu menerpa Rietta. Killian tak pernah berkata tidak pada Rietta, kecuali jika hal itu berhubungan dengan apa pun yang mungkin akan menempatkan Rietta dalam bahaya.
“Killian….”
Killian menghindari kontak mata. Dia tahu kalau alasannya itu tidak masuk akal, tetapi gambaran itu menghantui dirinya. “Ibundaku dulunya juga sangat sehat,” dia berkata. “Hingga dia melahirkan aku.”
Dia berhenti. Namun kini Rietta mengerti. Killian telah melewatkan waktu selama sepuluh tahun untuk menyembunyikan kecemasannya dari ibundanya, sementara sang ibunda menyembunyikan rasa sakitnya. Permaisuri Ariadne hampir mati saat melahirkan, dan sejak itu kesehatannya tak pernah pulih sepenuhnya. Beberapa orang menyebut kalau Ariadne bisa bertahan hidup merupakan sebuah keajaiban, namun yang lainnya berkata bahwa hal itu memberinya harapan palsu.
Seumur hidup Killian, dia hanya pernah mengenal ibunya sebagai sosok yang sakit-sakitan dan terbaring di ranjang. Namun sang ibu pernah bercerita kepadanya tentang saat-saat ketika wanita itu dulunya pernah menari dan menunggang kuda. “Suatu hari nanti, kita akan menari dan berkuda bersama-sama,” Ariadne pernah berkata.
Setelah ibundanya wafat, ayahandanya larut dalam kesedihan. Duka sang Kaisar telah menghancurkan seluruh istana.
Killian menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang. “Aku bersungguh-sungguh saat kubilang aku bukannya tak suka pada anak-anak. Aku mencintai Adel. Dia membuatmu begitu bahagia, dan dia sendiri juga adalah anak yang pintar serta menyenangkan. Melihatnya tumbuh besar merupakan kebahagiaan yang tiada duanya. Tapi tak ada apa pun yang sepadan jika sampai harus mempertaruhkan nyawamu.”
Adel – seorang anak perempuan yang mirip dengan ibunya – sudah cukup bagi Killian.
Rietta tak sadar kalau Killian ternyata punya kecemasan seperti itu. Dengan hati hancur, dia meletakkan tangannya di atas tangan Killian. “Killian, apa kau pernah merasa kalau ibumu tak seharusnya melahirkanmu?”
Killian memejamkan matanya.
“Aku sangat berterima kasih kepada ibumu karena telah melahirkanmu. Dia telah membawamu ke dunia ini, dan berkat itu aku bisa bertemu denganmu. Kau telah menyelamatkan nyawaku.”
Killian menghembuskan napas. “Aku tahu, dan aku juga berterima kasih. Tapi itu bukan berarti aku tak keberatan membiarkanmu melalui rasa sakit yang sama.” Dia menarik napas dalam-dalam. “Apa gunanya punya anak kalau kau tak ada? Aku menginginkanmu, lebih dari apa pun.”
Perlahan, Killian membaringkan kepalanya di atas bahu Rietta. “Terkadang, aku bermimpi buruk… di mana aku melihatmu mati dengan cara yang sama seperti ibuku. Pelan-pelan, selama sepuluh tahun. Dalam mimpi-mimpi itu, aku membenci anak kita. Aku mengulangi kesalahan ayahandaku dan menyalahkan mereka atas kematianmu. Aku membuat tubuhmu membeku dalam waktu, dengan putus asa berusaha menghidupkanmu kembali.”
Rietta tak bisa menanggapi.
“Melahirkan anak itu berbahaya. Aku mengerti kalau kau menginginkannya, tapi aku begitu mencintaimu sampai tak sanggup mengambil risiko kehilanganmu.”
Mata Rietta sarat dengan air mata. Dia menggeser tangannya untuk menggenggam siku Killian. “Killian, tataplah aku,” dia berbisik.
Mata Killian bertemu dengan mata biru langit Rietta yang jernih.
“Killian, aku bukan ibumu. Aku takkan pernah meninggalkanmu. Apa kau sudah lupa betapa aku jadi jauh lebih kuat berkat Adel?”
Killian menatap Rietta dalam kebisuan.
Rietta menangkup wajahnya, tersenyum. “Apa kau pikir aku sanggup untuk mati dan meninggalkanmu serta Adel?” Dia menarik Killian ke dalam pelukannya, dekapannya lebih kuat daripada biasanya. “Aku tahu betapa berat hal itu. Aku takkan pernah melakukannya kepadamu ataupun Adel. Aku janji. Aku bersumpah takkan pernah meninggalkanmu.”
****
Pada suatu hari di musim dingin yang penuh kedamaian, seorang bayi terlahir di Kastel Axias. Di luar, angin bersiul dari sela-sela ranting yang sarat dengan salju. Di dalam, wanita-wanita pendamping sibuk berkeliaran membawa air hangat, berbisik-bisik penuh semangat.
Pintu terbuka, dan dua orang bicara berbarengan.
“Selamat, Yang Mulia. Anak laki-laki yang sehat.”
“Selamat, Yang Mulia. Yang Mulia Duchess Agung juga sehat.”
Semua orang mengeluarkan seruan gembira bercampur kelegaan. Para kesatria mengepalkan tangan mereka yang berkeringat, mengucap terima kasih kepada Dewa. Ini adalah bayi manusia pertama yang lahir di dalam Kastel Axias setelah ratusan tahun berlalu.
Si pemilik kastel tidak punya kesabaran untuk menunggu para wanita pendamping bergeser. Dia melangkah masuk, matanya bertemu dengan mata Rietta. Rietta sedang membuai bayi mereka, matanya berbinar. Killian berlutut pada satu kaki di samping ranjang dan meraih tangan Rietta, membungkuk untuk berbisik kepadanya.
Hanya ibu dan anak itu yang bisa mendengar kata-katanya. Kelelahan dan bermandi keringat, sang ibu memberi senyum gembira kepada pria tercintanya.
****
Adel berjalan menghampiri ranjang. Selama berbulan-bulan dia sudah mempersiapkan diri untuk menjadi kakak, tapi dia tak tahu akan seperti apa rasanya ketika bertemu dengan adik bayinya untuk kali pertama.
Kamar itu lebih gelap dibanding biasanya, hanya dihangatkan oleh perapian. Di luar salju berguguran. Energi penuh kegugupan menggelantung di dalam ruangan. Gadis kecil itu juga merasakannya. Dia tahu bahwa ibunya – dan seseorang yang sangat penting – sama-sama ada di sini menunggu dirinya.
“Hai, Adel.” Rietta tersenyum kepada putrinya.
Dengan hati-hati Adel mendekati ibunya. Semua orang bicara dengan suara pelan, dan ketegangan di udara membuatnya menahan napas. Matanya mendarat pada si bayi. Di samping ranjang Rietta terdapat buaian tempat bayi itu tidur, terbungkus dalam bedongan putih.
“Ini adik laki-lakimu,” Rietta berbisik.
Adel mengangguk. “Aku tahu.”
“Kau mau memegang tangannya?” Rietta bertanya. Adel tak menanggapi, hanya menatap bisu pada si bayi. “Bagaimana kalau kau menyapanya?”
Saran itu memberi Adel keberanian untuk berjinjit ke atas buaian. Dengan hati-hati dia mengulurkan tangan ke bawah untuk menyentuh tangan si bayi. Si bayi mengeratkan jari-jari kecil mungilnya ke jari Adel. Adel berjengit. Bayi itu terasa hangat dan lembab. Membelai jemari si bayi, Adel berbisik, “Halo, adik bayi.”