Like Wind on A Dry Branch - Chapter 70
Beth membuka suratnya, dan perlahan ekspresinya pun mengerut seiring dengan dia membacanya.
Seira menyadari ekspresi ganjilnya dan memungut amplop kosong yang ada di depan Beth.
“Rodmigneau… Chanellope. Bibimu yang tinggal di kota?”
Elise menatap wajah Beth dengan kaki disilangkan dan cangkir teh di tangannya.
“Surat macam apa sampai membuat ekspresimu jadi seperti itu? Apakah Tuan membunuh orang lagi?”
“Ugh….”
Beth mencengkeram rambutnya dengan frustrasi dan mengantukkan kepalanya ke meja teh.
“… Kurasa bibiku lagi-lagi sudah ditipu.”
“Apa?”
“Lihat ini!”
Beth meremas potret seorang wanita pirang yang menempel pada halaman terakhir surat itu dan mengguncangkannya.
“Beliau bilang ini adalah potret dari sang Putri suci. Beliau dengar kalau wabah telah melanda Axias dan kukatakan pada kalian, Beliau menulis kalau telah menghabiskan dua ribu keping emas untuk membelinya karena Beliau ketakutan. Ini gila!”
Elise mengambil potret itu dengan keheranan.
Seira mengambil surat yang telah dilempar Beth dan membacanya kembali.
“…Pensiunan pendeta itu memberitahuku kalau kau dalam bahaya. Pada mulanya aku juga tak percaya.”
Tapi saat itu adalah ketika kabar tentang wabah di Axias belum mencapai Ibu Kota.
Apa kau tahu betapa takutnya aku saat mendengar bahwa wabah telah melanda Gedung Timur?
Aku telah memakai secara cara untuk mencari pendeta it,dan apa kau tahu betapa sulitnya itu?
Beliau langsung bilang bahwa Beliau tahu aku datang mencarinya karena aku tampak cemas saat Beliau melihatku.
Beth mengeluh frustrasi.
“Yah, karena wanita berwajah pucat ini pergi mencarinya dengan melewati semua kesulitan, sudah jelas kalau wanita itu sedang cemas!”
Saat aku memberitahu Beliau tentangmu, Beliau bilang udara di sekitarmu penuh dengan energi kegelapan, iblis, dan wabah.
Beliau adalah seorang pensiunan pendeta, tapi Beliau sangat hebat.
“Bahkan bibiku juga sudah mendengar kalau wabah telah melanda Gedung Timur, jadi bagaimana bisa seorang penipu seperti dia belum mendengarnya?! Dia pasti berpikir kalau bibi adalah sasaran empuk!”
Beth sudah hampir meledak.
Beliau bilang kau masih baik-baik saja, dan bahwa kau akan aman kalau kau meiliki potret dari Putri Suci ini.
Biasanya, harga potret ini adalah empat ribu emas, tetapi Beliau bilang kau akan menjadi seseorang yang sangat penting, jadi Beliau memberikannya kepadanya dengan harga separuhnya.
Rachel mengerang dan menempelkan telapak tangannya pada dahinya. Bahkan tanpa membaca lebih jauh lagi, lanjutannya sudah jelas.
Beliau bilang bahwa akan berbahaya kalau kau sedikit saja terlambat mendapatkan gambar ini, jadi aku bergegas mengirimkan surat ini kepadamu.
Surat ini seharusnya bisa sampai kepadamu tepat waktu….
Aku tahu apa yang akan kau katakan, tapi jangan marah tentang bagaimana ini hanya buang-buang uang, dan tolong dengarkanlah bibimu ini sekali ini saja.
Dan pasang potret ini di pintumu sebelum kau tidur….
Sebenarnya, suratnya datang terlambat. Karena wabah sudah lenyap dari Axias.
Para wanita itu tak bisa tertawa maupun menangis, dan mereka hanya menatap Beth dengan raut simpati di wajah mereka.
Beth-ku sayang, bibi sangat mencemaskanmu.
Tak seharusnya bibi meninggalkanmu di Axias.
Kuharap kabar tentang keselamatanmu akan segera sampai padaku. Tolong jawab surat ini.
Beth berpaling pada Rietta, hampir menangis.
“Rietta! Apakah potret Putri Suci benar-benar bisa menangkal iblis atau wabah?”
Rietta menatap potret itu dan tersenyum canggung.
“Yah….”
Lana menggelengkan kepalanya.
“Pendeta itu sama sekali tidak hebat.”
Tatapan para wanita terpusat pada Lana.
Tanpa bersuara Lana mengangkat satu jari dan menunjuk pada potret di tangan Beth.
“Itu bukan potret Putri Beatrice.”
Beth menatap potret itu dengan raut tak percaya.
“Benarkah?”
Lana mengangguk.
“Sama sekali tidak mirip dengannya.”
Seira mengambil potret itu dari tangan Beth dan memeriksanya.
Kemudian dia mendongak menatap Lana, kebingungan.
“Kenapa kau bilang begitu?”
Lana menjawab singkat. “Putri Beatrice tak punya rambut pirang.”
Rietta tersenyum tipis dan berkata, “Ya. Beliau adalah wanita berambut sehitam arang.”
****
Rietta sedang berdiri di depan rak buku ketika tiba-tiba seseorang mengambil buku yang sedang dia baca dari tangannya.
“Wah, memang bacaan yang menarik. Dasar-dasar Pemahaman Beruda?”
“Tuan.”
Tangan Rietta melambai-lambai di tengah udara.
Dia tampak sedang mengalami perang batin, ingin mengambil kembali buku itu dari Killian.
Namun Rietta tak bisa merebutnya kembali, dan dia hanya sedikit menundukkan kepalanya dengan ekspresi malu di wajahnya.
Killian membalik-balikkan beberapa halaman buku itu dan terkekeh.
“Coba katakan, apakah bacaan ini telah membantu pemahamanmu?”
“Ya, di situ disebutkan kalau orang harus melemaskan tenaga dan menyesuaikan dengan tenaga pantulan dari kuda seperti ini….”
Rietta mengepalkan tangannya seperti sedang menggenggam tali kekang dan setengah berjongkok dengan pose yang canggung, bergoyang naik turun, dengan mengenakan gaun yang indah.
“.…”
Killian berpikir dia tahu kenapa Rietta tak bisa menunggang, dan sebabnya bukan hanya karena wanita itu ketakutan.
“.… Berpikirlah tentang pantulan ketika kau sudah mulai belajar berderap. Kusarankan kau belajar cara berjalan lebih dulu.”
Ini jelas bukan masalah tentang cara berpikir Rietta.
Killian menutup buku itu dan mengembalikannya ke rak.
Rietta menatap Killian ketika pria itu menaruh bukunya kembali ke rak, di tempat di mana sebelumnya dia sudah mati-matian berusaha mengambilnya, dan dia pun mengulurkan tangannya.
“Bi-biar saya ambil buku itu.”
“Tidak ada buku yang bisa mengajarimu cara menunggang. Kalau mau benar-benar belajar, kau harus mempraktekannya.”
Rietta menjadi muram.
Killian terkekeh pada kerutan muram di antara alis Rietta dan menekankan satu jari di situ untuk menghaluskannya.
“Lebih baik kau pergi ke istal daripada membuang-buang waktu untuk bacaan semacam itu. Tak usah menyiksa diri soal postur dan bentuk. Kesalahan berulang yang tragis ini berawal dari kau yang terlalu tegang.”
“Iya, Tuan….”
Killian menyentakkan kepalanya ke arah pintu dan mengisyaratkan.
“Ayo kita makan.”
“Ah, maaf. Saya tak sadar sudah jam segini.”
Rietta menatap jam perpustakaan di dinding.
Saat ini sudah waktunya makan malam.
Mereka tak pernah benar-benar membicarakan hal ini, tetapi kini sudah menjadi hal alami dan sehari-hari bagi mereka untuk makan bersama.
Tetap saja, Rietta-lah orang yang memastikan Killian untuk makan, bukan Killian yang memastikan Rietta untuk makan, jadi Rietta dibuat kelabakan karena hal yang belakangan akan terasa konyol. Jadi Rietta pun buru-buru meletakkan kembali buku-bukunya dan mengikuti Killian keluar.
****
“Lain kali aku akan pergi bersamamu.”
“Maaf?”
“Menunggang kuda.”
Rietta meragu sebelum bertanya, “Tapi Anda pasti sangat sibuk.”
Killian mengangkat bahu. “Seperti yang sudah kubilang, berkatmu aku jadi punya banyak waktu luang.”
Killian meneruskan sebelum Rietta bisa menjawab. “Dan tampaknya para instruktur tak bisa terlalu dekat mengajarimu karena kau adalah selirku.”
“Ah….”
Rachel telah mengisyaratkan hal ini pada Killian.
Rietta juga tak menyadari hal ini, jadi ini juga kali pertama dia mendengarnya.
Sejenak Rietta menimbang-nimbang hal ini dan memikirkan kembali ketika para instrukturnya berusaha mati-matian untuk menjelaskan ketika dirinya sedang berjuang dengan tangan mereka melambai-lambai kikuk di udara, tak mampu memakainya untuk memperbaiki postur Rietta.
Semakin dia memikirkannya, semakin masuk akal kedengarannya, karena juga ada situasi-situasi lain yang bisa dia pikirkan selain itu.
Itukah sebabnya kenapa aku tak maju-maju dalam berkuda?
Rietta menyebarkan makanan dengan garpunya lalu memasukkannya ke mulut, membiarkannya berada di sana ketika menatap Killian yang ada di seberang meja.
Dia berpikir akan mengatakan pada Killian kalau dia akan minta bantuan Giselle atau Rachel, tapi akhir-akhir ini mereka tampak cukup sibuk, membuatnya menghentikan niatannya.
Merupakan sebuah fakta kalau kini Killian punya waktu luang jauh lebih banyak karena Rietta membantunya.
Mata Killian bertemu dengan mata Rietta ketika pria itu mengangkat gelas anggurnya ke bibir.
“Jawab.”
Rietta mengangguk dan menunduk menatap piringnya.
“Ya, Tuan…. Terima kasih.”
****
Jumlah pekerjaan yang Rietta lakukan untuk membantu Killian dengan tugas administratif wilayah mulai meningkat, dan dia sudah lumayan belajar tentang Axias. Tetap saja, baru agak belakangan dia tahu tentang rencana membangun kuil.
Mereka melanjutkan percakapan yang sama seperti biasanya.
“Tapi apakah penting membuat jalan dari sini ke sana dengan menginvestasikan uang sebanyak itu ke dalamnya? Bahkan meski kita membersihkan jalan-jalan di sini, semua orang akan memakai saja jalan-jalan yang melewati Ottnang. Dan jalan buatan kita tidak terlalu sering dipakai oleh para pedagang.”
“Jalan itu dibutuhkan karena para pedagang tidak akan memakainya. Kita akan membangun kuil.”
Killian menyatakan informasi sepenting itu dengan sedemikian santainya sehingga Rietta hanya menjawab, oh, begitu, dan mengangguk. Baru beberapa lama kemudian Rietta menyadarinya, dan matanya pun melebar.
Urusan ini bukanlah sesuatu yang sepele sampai bisa diucapkan sambil lalu seperti itu.
“Kuil di Axias?”
“Ya.”
Rietta terdiam karena syok dan membekap mulutnya.
Ah! Jadi itulah sebabnya kenapa para pendeta…!
Rietta bekerja bersama Colbryn dan Damien di Kediaman Axias.
Dia juga tahu bahwa para lulusan dari biara di Axias yang punya kekuatan suci mulai tinggal di Axias, menerima sokongan keuangan.
Merupakan hal tidak lazim bagi para calon pendeta yang sudah lulus dan bisa menjadi pendeta untuk tinggal di sebuah wilayah tanpa kuil.
Dan meski begitu, para pemuda dan pemudi yang sepenuhnya mampu menjadi pendeta suci malah tinggal di desa alih-alih pergi ke kota lain yang ada kuilnya setelah mereka lulus menjadi pendeta sepenuhnya. Dia sudah bertanya-tanya apa sebabnya.
Walaupun mereka berkata akan bekerja di dunia sekuler, akan lebih baik untuk tetap berada di bawah naungan kuil dan terlepas dari kaum bangsawan daripada menyerah dari kuil dan tinggal di bawah bangsawan. Keputusan mereka cukup tidak biasa.
Pekerjaan-pekerjaan selain menjadi pendeta tidak terlalu diakui bagi mereka yang punya kekuatan suci, dan walaupun mereka dicintai ketika kemampuan mereka dibutuhkan, atau wabah sedang melanda, bekerja untuk seorang bangsawan yang berpikiran sempit tidak sestabil ketimbang bekerja di kuil, dan melayani kaum bangsawan adalah pekerjaan yang dipandang rendah dan hina oleh orang lain.
Merupakan kenaikan posisi yang cukup tinggi ketika rakyat jelata yang memiliki kekuatan suci bisa menjadi lebih dari sekedar pendeta pemberi berkat karena hal ini akan membuat kehidupan mereka lebih stabil, dan bahkan para bangsawan juga tak mampu mengendalikan mereka sesuka hati.
Entah itu keinginan akan kehidupan yang stabil, hasrat akan ketenaran dan martabat, ataupun keinginan mulia untuk menjadi sukarelawan, menjadi seorang pendeta dengan bergabung di kuil merupakan impian konsisten untuk memperoleh kehormatan bagi para calon pendeta.
Bagaimanapun, Axias membutuhkan banyak orang yang memiliki kekuatan suci untuk tinggal di situ demi melindungi diri mereka sendiri dari wabah yang menyebar ke seantero kekaisaran, dan banyak dukungan diberikan kepada mereka yang menetap di desa sebagai cara memancing mereka supaya tetap tinggal, namun memang benar bahwa kompensasi merupakan hadiah yang pantas bagi para pendeta yang memutuskan untuk tinggal di dunia sekuler.
Bahkan meski sokongan yang mereka dapat dari Axias cukup banyak, mereka harus bertahan dalam pekerjaannya karena tidaklah cukup jika hidup dengan makan gaji buta.
Meski demikian, para calon pendeta yang tinggal di Axias jumlahnya lebih daripada yang diperkirakan.
Sebagian besar kuil hanya menerima dan mengangkat para calon pendeta berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus sebagai pendeta, jadi kesempatan untuk menjadi pendeta cukup langka untuk didapatkan lagi begitu kesempatan tersebut sudah hilang.
Satu-satunya pengecualian pada kasus itu adalah ketika sebuah kuil sedang dibangun.
Tentu saja, hal itu tidak sering terjadi.
Jadi, sebagian besar calon pendeta akan menyebar pergi begitu mereka lulus dari biara, pergi ke kuil-kuil di sini dan di sana.
Merupakan hal mengejutkan jika para calon pendeta yang pasti telah bermimpi untuk menjadi pendeta sampai menyerah atas impian itu dan menerima menjalani kehidupan sekuler yang tidak familier dengan tinggal di Axias, namun hal ini masuk akal jika mereka juga tahu kalau sebuah kuil akan dibangun di Axias.
Jika sebuah kuil dibangun di sini, mereka yang memiliki kekuatan suci akan menjadi pendeta sekaligus fondasi dari kuil yang baru dibangun itu, jadi mereka bisa membantu dengan sesuatu yang berarti.
Dan Axias bukanlah kota biasa.
Mata Rietta berbinar.
“Kabar yang begitu bagus…! Akan ada banyak sekali orang yang gembira kalau kuil dibangun di Axias.”
Pembangunan ini tidak memengaruhi Rietta karena dirinya sudah kembali menjadi rakyat awam dan bahkan pernah menikah, namun merupakan hal penting bagi mereka yang punya kekuatan suci untuk bisa bekerja secara dekat dengan pembangunan sebuah kuil, bahkan meski dirinya takkan menjadi pendeta.
“Anda akan bisa memakai tambang-tambang yang telah dipinjamkan oleh Countess Schuffelman kepada Anda. Waktunya tepat sekali.”
Rietta mulai mengoceh tentang bagaimana mereka kerepotan karena sulit untuk menemukan pendeta sejak insiden yang terjadi di Kuil Havitas, tempat yang telah menyediakan pendeta dari utara itu, dan bagaimana pembangunan itu juga akan membantu pengembangan distrik komersial Axias, dengan kecepatan bicara dan nada yang cukup tinggi, walaupun dulu dia pernah menjawab bahwa semuanya sudah menjadi masa lalu ketika dirinya ditanyai apakah dia ingin menjadi seorang pendeta.
Ada rona sehat di wajah Rietta.
“Kalau begitu kuilnya akan dibangun di mana? Seberapa besar Anda ingin membangunnya? Menurut saya akan bagus kalau membangunnya di luar dinding kastel, tapi kalau ukurannya kecil, maka mungkin di area tenggara di sisi dalam dinding…. Oh, haruskah saya mengundang para ahli arsitektur yang akan bisa menggambar rencananya?”
Rietta sedang merasa penuh semangat ketika dia menyadari kalau Killian tertawam dan pikirannya pun langsung tersentak kembali ke kondisi normal, merona.
“Oh, saya sudah bicara terlalu jauh. Anda tentunya sudah mengatur semua ini….”
“Tidak.”
Killian berdiri dari posisinya yang bersandar di kursinya dengan senyum masih terpasang di wajah.
“Aku bersyukur atas antusiasmemu. Kau akan punya banyak pekerjaan.”
Dan dia lalu mengambil setumpukan kertas dan buku lalu menyorongkannya ke arah Rietta.
Semuanya berhubungan dengan pembangunan kuil tersebut.
Tumpukan ini cukup besar untuk membuat orang mengeluh, namun Rietta sama sekali tidak tampak terganggu dan mengambil lembar kertas pertama dari tumpukan itu lalu langsung mulai membacanya.
Rietta baru mendengar soal ini setelah pekerjaannya dimulai, jadi dia pun mulai mengajukan segala macam pertanyaan, dengan sibuk membolak-balik lembaran-lembaran kertas dan buku.
Killian tampak cukup geli dan menjawabnya sebaik mungkin.
Percakapan mereka berlanjut hingga malam cukup larut.
Biasanya, Rietta akan sudah mengundurkan diri, namun kali ini percakapan mereka tak kunjung berakhir.
Rietta melirik ke arah jendela dan melihat kalau langit sudah gelap. Killian memeriksa jam seraya berdiri.
“Kita akan selesaikan sambil jalan.”
“Oh, baik, Tuan.”
Mereka bicara sambil berjalan, namun kamar Rietta berada satu lantai di bawah kamar tempat Killian tidur.
Mereka sudah berada di bawah atap yang sama, hanya berjalan sebentar, dan mereka pun sudah sampai ke depan pintu kamar Rietta sebelum mereka bisa bicara lebih dari beberapa patah kata.
Rasanya hampir tak ada gunanya meninggalkan ruang kerja Killian karena Killian terus saja bicara lagi, sambil berdiri di depan pintu kamar Rietta.
Sambil mendengarkan, Rietta memelukkan tangannya di atas lengan, tanpa sadar berjaga dari angin malam musim gugur yang agak dingin. Killian menyadarinya, alisnya mengernyit samar.
“Kau tampak kedinginan.”
Aliran percakapan mereka terputus oleh selaan mendadak Killian.
Rietta langsung melepaskan pelukan ke lengannya dan mengerjap tanpa henti seraya menggelengkan kepala.
“Tidak, Tuan. Saya tak apa-apa.”
“Masuklah. Aku akan panggil orang dari Latria secepatnya.”
Killian memotong percakapan mereka yang belum selesai dan mengakhirinya saat itu juga.
Kemudian dia menundukkan kepala ke arah Rietta.
Rietta meletakkan kedua tangannya ke bahu Killian lalu mencium dahi pria itu, tanpa sadar sudah terbiasa dengan hal tersebut.
“Selamat malam, Tuan.”
Killian mengangkat kepalanya, dan menyapukan tangannya pada rambut Rietta, tersenyum.
“Selamat malam juga.”