Like Wind on A Dry Branch - Chapter 68
“… Kepala biara Sevitas sudah mati?”
“Ya, Tuan. Mereka bilang dia mati pada awal Juni akibat wabah dan telah dikremasi.”
Killian mengernyit pada laporan Giselle.
“Penyelidikan kami berlanjut ke arah yang berbeda, tapi Sevitas telah mengalami wabah yang menyebar luas setelah akhir April, dan saat ini sudah banyak orang yang mati. Orang-orang yang selamat sudah lari dari Sevitas sejak satu bulan yang lalu, dan karenanya kondisi tempat itu tidak bagus.”
Killian mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya sekali, dua kali.
“Jadi maksudmu mereka meninggalkan rumah mereka dan melarikan diri?”
“Ya, Tuan. Ada banyak rumah yang semua anggota keluarganya mati karena wabah, dan tampaknya di biara juga ada banyak korban. Mereka mulai mengungsi sejak pertengahan Juli, dan jumlahnya semakin bertambah setiap harinya, jadi di sana hampir tak tersisa orang yang masih hidup.”
Mereka meninggalkan tanah mereka dan lari….
Bukankah mereka mengambil jalan menuju kehancuran?
Untung saja, Axias telah mengatasinya dengan baik, sehingga hal itu tak terjadi pada mereka, namun Killian telah membaca banyak laporan mengenai wabah.
Butuh waktu setidaknya enam bulan, terkadang satu tahun penuh, bagi sebuah desa untuk dihancurkan oleh wabah.
Sevitas…. Apakah sudah persis enam bulan?
Mereka telah mengambil jalan yang paling buruk. Ke mana perginya semua uang yang dia berikan kepada mereka, sehingga sampai jadi seperti ini?
Cassarius sudah mati karena wabah pada musim semi, dan bahkan pada saat itu sudah ada beberapa orang yang mati karena wabah, namun tak ada satu orang pun yang pergi, dan mereka tetap bertahan di tempatnya.
Orang-orang tidak dengan sukarela meninggalkan rumah dan penghidupan mereka lalu kabur kecuali sebuah desa dihancurkan seluruhnya dan tidak cocok untuk ditinggali.
Akan lebih masuk akal kalau orang yang terkena wabah beserta keluarganya diusir dari desa.
Di sana ada lahan.
Para petani yang bergantung pada lahan mereka untuk mencari nafkah takkan semudah itu membuangnya dan kabur bahkan meski wabah sedang menyebar.
Mereka akan berusaha bertahan sekuat tenaga….
Jadi, itulah sebabnya kenapa wabah mengerikan itu berada bersama mereka selama lebih dari setengah tahun.
“Dan belakangan ini pihak Kekaisaran juga sudah menetapkan Sevitas sebagai area berisiko tinggi akan penyebaran wabah dan mulai mengurusnya. Jalan yang mengarah menuju Sevitas sudah ditutup sepenuhnya, dan tampaknya tidak akan mudah juga untuk memasuki Sevitas.”
Giselle meneruskan laporannya.
Killian membenamkan diri lebih dalam ke kursinya dan larut dalam pemikiran mendalam. Semua hal yang berhubungan dengan Rietta sepertinya tidak berjalan sebagaimana yang dia inginkan.
Cassarius si bajingan itu sudah mati, jadi tak ada yang bisa dilakukan tentang hal tersebut. Dan bajingan lainnya ini, si kepala biara….
Tak ada bukti yang jelas, tapi ada tuntutan yang serius.
Dia takkan membiarkan kepala biara bajingan itu mati dengan tenang. Tapi tak ada yang bisa dilakukan kalau yang bersangkutan sudah mati.
Giselle meneruskan, berkata kalau dia berniat menyewa serikat pencuri lewat Rachel.
Sevitas sendiri sudah ditutup, tapi pelaku utamanya sudah mati, sehingga penyelidikan mereka akan mengalami kemunduran.
Akan lebih sederhana kalau langsung bertanya kepada Rietta, tapi….
Ck. Killian mendecakkan lidahnya.
“Baiklah. Terus selidiki. Dan cari tahu tentang orang-orang yang tinggal bersama Rietta di biara pada periode yang sama dengannya.”
“Periode yang sama, Tuan?”
“Ya.”
Mereka yang tinggal bersamanya pada periode yang sama seharusnya tahu tentang Rietta atau situasi di biara itu. Sudah merupakan hal alami bagi mereka yang memiliki kekuatan suci untuk menjadi lebih dekat karena mereka dilatih secara terpisah.
Rietta menyerah menjadi pendeta, tapi semestinya ada orang-orang yang pergi untuk menjadi pendeta di kuil-kuil lain.
Kalau mereka tahu bahwa sang duke agung yang mengasihani Rietta berniat mencari tahu beberapa cerita tentang wanita itu secara diam-diam, maka mungkin akan mudah bagi mereka untuk mendiskusikan teman mereka yang malang.
Jauh lebih mudah begini daripada meminta Rietta bicara.
***
Orde kesatria di Axias adalah tempat kerja dengan perlakuan yang cukup baik.
Dan anak-anak yang tumbuh besar di biara Axias memandang tinggi dan mengagumi pria yang merupakan penyelamat wilayah mereka dari keruntuhan, seorang ahli pedang nan perkasa, serta juga komandan mereka yang tak terkalahkan.
Sang Duke Agung murah hati dalam memberikan dukungan bagi anak-anak berbakat. Ketika Beliau sedang berkeliling dan menemukan seorang anak dengan bakat tertentu, maka Beliau pun menjadi rekan dalam sesi latih tanding dengan seulas senyum tersungging di satu sudut mulutnya yang mengindikasikan rasa senangnya.
Hal itu sungguh merupakan sebuah kehormatan.
Para pemuda yang telah menyelesaikan pelatihan untuk menjadi kesatria dan meninggalkan biara bisa mencoba bergabung dengan orde kesatria mana pun, tetapi sebagian besarnya mendaftar untuk tinggal di Axias.
Namun delapan tahun yang lalu, hal itu hanya berlaku bagi calon kesatria laki-laki. Orde kesatria di Axias tidak menerima kesatria wanita. Wanita-wanita muda mendaftar ke orde-orde lainnya yang menerima kesatria wanita.
Giselle adalah orang yang menentang aturan ini dan pertama kali mencobanya.
Killian tersenyum malas seperti biasanya dan berkata,
“Ordeku terlalu berbahaya bagi wanita. Tapi kalau kau bersikeras….”
Pria itu mengetuk bahu tiga orang kesatrianya.
“Kalau kau mengalahkan ketiga orang ini, aku akan mempertimbangkannya.”
Giselle menerimanya.
“Tak apa-apakah kalau menggunakan dua pedang, Tuan?”
Killian mengizinkannya.
“Tentu saja. Pakailah apa pun yang cocok untukmu.”
Lalu dia berkata kepada para kesatrianya,
“Kalian tak punya keluhan, kan? Leonard, Hasler, Flint? Menurutku kalian seharusnya mampu melawan musuh mana pun yang membawa senjata apa pun kalau kalian adalah kesatria Axias.”
Pedang ganda. Bukankah itu merupakan kemampuan yang langka?
Sebenarnya, mata para kesatria itu berbinar lebih cerah lagi.
“Tentu saja, Tuan.”
Para kesatria siap sedia menerimanya.
Sejujurnya saja, mereka berpikir kalau mereka takkan kalah tak peduli senjata apa pun yang dipakai oleh gadis yang baru berusia sembilan belas tahun ini.
Giselle mengalahkan para kesatria.
Teknik pedang baru yang langka itu sungguh tiada duanya dan lihai memakai kedua tangan dengan bebas, jadi bisa menutupi perbedaan dalam hal kekuatan yang tak bisa dipungkiri. Tubuh lentur yang bisa dengan mudahnya mengelak dari serangan kuat apa pun.
Ketika dua pedang saling berbenturan untuk menyerang dan menangkis, pedang kedua menyambar masuk dan menyapu hampir tanpa terputus sejenak pun.
Rasanya hampir tak ada bedanya dengan bertarung melawan dua orang dalam satu tubuh. Para kesatria, yang telah dikalahkan satu persatu secara mengenaskan, berdiri di tempat dengan mulut menganga, dan si nona kecil yang berusia sembilan belas tahun itu mendesah minta maaf.
Yang dia katakan sungguh luar biasa.
“Ini karena saya punya dua pedang…. Maafkan saya. Rasanya ini memang agak tidak adil…. Apa kalian mau mencobanya lagi, dua lawan satu?”
Wajah para kesatria itu jadi tak tergambarkan, dibuat syok pada tingkat kemampuan berpedang yang mencengangkan serta pada harga diri gadis itu, yang mendekati hinaan.
Klang!
Krak.
Pedang terbang yang berbahaya itu memelesat dan menancap pada pohon di dekat lapangan pelatihan.
Giselle membeku dengan tangan kiri yang kosong. Guncangan keras merambat naik dari tangan kiri menuju bahunya dari benturan kuat tersebut.
Masih ada pedang di tangan kanannya, tetapi pedang Leonard sudah mencapai leher Giselle pada saat itu juga.
Ini adalah kekalahannya.
Begitu pedangnya meninggalkan tangannya, indera-inderanya yang tajam telah mengantisipasi kekalahan, tapi butuh waktu lebih lama baginya untuk mengakuinya.
Giselle mengepalkan tangannya yang gemetaran dan menurunkannya.
Dia menurunkan pedangnya yang tersisa dan berdiri tegak untuk membungkuk hormat sebagai pihak yang kalah.
Namun Leonard memberengut, entah kenapa tampak tidak senang, dan menurunkan pedangnya sendiri.
Leonard telah berbalik sebelum Giselle membuka mulutnya.
Leonard berjalan ke tempat pedang Giselle melayang dari tangannya untuk memungut senjata itu dan menawarkannya kembali pada Giselle dengan bilah tajam mengarah pada dirinya dan gagang pada Giselle.
Giselle menyentakkan matanya naik.
“Apa yang kau lakukan?”
Leonard sedikit meragu, tampak seperti tak tahu apa yang harus dia katakan berikutnya, tapi segera dia berkata dengan wajah tegas, “Serangan yang barusan tadi adalah serangan yang hanya didasarkan pada kekuatan fisik. Ini tidak adil, jadi kita akan ulang lagi.”
Sejenak Giselle tampak kaget. Ekspresinya yang memelototi Leonard perlahan dipenuhi oleh amarah.
“Aku tak tahu kalau kau ternyata begitu pendendam.”
“… Apa?”
“Aku tahu kalau dulu aku memang tukang pamer. Tapi balas dendam seperti ini rasanya agak picik.”
Giselle mengabaikan pedang dan permintaan untuk melakukan sesi latih tanding lain yang ditawarkan oleh Leonard dan menunduk dengan penuh hormat sebagai pihak yang kalah.
“Aku kalah. Terima kasih.”
Dan kemudian dia menyambar pedang itu dari tangan Leonard.
“… Ah.”
Dengan terlambat Leonard teringat pada masa lalu, dan dia pun mendengus keras-keras.
Giselle berjalan menuju pintu masuk lapangan pelatihan dengan pakaian tersampir di lengannya.
Leonard menepukkan tangan ke dahinya dan berkata ke arah punggung Giselle, “Aku tidak sedang bersikap sarkastis. Aku sudah lupa. Aku pasti sudah mengingatnya tanpa sadar. Saat kupikir aku telah terpikirkan hal seperti itu, kukira itu keren.”
Giselle tidak menanggapi dan terus berjalan maju.
Leonard menyusurkan tangannya ke rambut seraya memandangi Giselle berjalan pergi. Dia terkekeh.
“Bahuku tak apa-apa. Lain kali jangan mengalah padaku.”
Giselle terdiam ketika dia sudah hampir pergi. Dan alih-alih berkata dia tak mengalah pada Leonard, dia berkata, “… Celah yang kau punya di depan paha kananmu. Kau harus mengurusnya.”
Dan dia pun membuka pintu lalu meninggalkan lapangan pelatihan.
****
Sebuah lahan kosong di area pemukiman pada wilayah selatan di sisi luar dinding kastel.
Salah seorang anak yang sedang bermain dengan bola menendang bolanya, dan benda itu bergulir ke kaki seorang pemuda. Dia berdiri di sana dengan mengenakan setelan, tampak mahal dan bergaya bangsawan. Anak-anak itu berdiri canggung di tempat mereka berada, memandangi pria tinggi dan tampan itu.
Sang tuan muda, mengenakan sarung tangan putih, membungkuk dan memungut bola yang sangat kotor tersebut. Tuan muda tersebut tidak melemparkan bola itu kepada mereka melainkan berjalan ke arah mereka lalu membungkuk, mengangsurkannya kepada mereka.
“Terima kasih, Tuan.”
Sesorang anak laki-laki mengambil bola itu dengan kedua tangan.
“Terima kasih kembali.”
Si tuan muda tersenyum penuh kasih dengan ekspresi yang lembut.
Rambut peraknya, warna yang langka untuk ditemui, membuat anak-anak itu menatapnya dengan mata membulat.
“Boleh saya bertanya pada kalian sebagai gantinya?”
Tuan muda itu berkata dengan agak tidak yakin dan ragu-ragu.
Jemarinya membelai tongkat yang digenggamnya seakan tidak tahu bagaimana harus mengatakannya, lalu dia tersenyum canggung.
“Aku tak yakin apakah kalian akan mengetahuinya…. Tapi apakah beberapa bulan yang lalu sang Duke Agung membawa kemari seorang wanita cantik berambut pirang?”
Anak-anak hanya saling bersitatap.
“Um… Dia adalah seorang wanita yang sangat cantik, orang yang takkan bisa kalian lupakan begitu kalian melihatnya bahkan sekali saja. Apa kalian tak pernah melihat yang seperti itu? Dia punya rambut pirang yang sedikit lebih muda dari rambut anak yang itu, dan kira-kira setinggi ini….”
Salah seorang anak sedikit memiringkan kepalanya dan bertanya, “… Mata biru langit?”
Wajah si tuan muda menjadi cerah dan berseru, “Ya, benar! Apa kau pernah melihat dia?”
Bocah itu menganggukkan kepalanya.
Si tuan muda membungkuk dengan tangan di atas lututnya.
“Kapan? Di mana?”
“Beberapa hari yang lalu… Saya melihat mereka di dalam dinding kastel. Dia sedang lewat, menunggang di atas kuda yang sama dengan Yang Mulia….”
Mata pria itu sedikit melebar.
“Dengan Yang Mulia? Wanita itu, apakah dia tinggal di Kediaman Axias? Ambil ini dan belilah cemilan untuk kalian.”
Pria itu mengeluarkan sekeping koin perak dari kantongnya dan memberikannya kepada bocah tersebut.
Mata anak-anak itu menjadi selebar piring karena jumlah uangnya sangat besar. Mereka tak pernah melihatnya sebelumnya karena mereka adalah anak-anak rakyat jelata.
Dengan cepat bocah itu pun menjadi ramah, berterima kasih pada kemurahan hati si tuan muda rupawan.
“Bukan, kalau Anda mencari rumahnya, maka ada di dalam dinding kastel….”
“Rumahnya ada di dalam dinding kastel?”
“Iya. Semua orang tahu Rumah sang Pemberi Berkat!”
“Pemberi Berkat?”
Mata si tuan muda mengandung pertanyaan pada mereka. Kemudian sepasang mata itu kembali menghangat ketika dia tersenyum.
“Baiklah. Terima kasih karena sudah memberitahuku.”
Dia memberi mereka sekeping koin perak lagi, lalu menyuruh mereka membeli sesuatu yang enak untuk dimakan bersama-sama. Dia pun berdiri.
Anak-anak yang kegirangan itu mengucapkan selamat tinggal kepadanya dan berlari pergi.
Si tuan muda mengalihkan pandangannya ke arah Kediaman Axias.
“Jadi, seorang pemberi berkat….”
Dia merenungkannya, dan seulas senyum yang sedikit lebih cerah membayang di wajahnya.
“Memang bukan pendeta, tapi bisakah kita bilang kalau kau sudah jadi sedikit lebih dekat pada impianmu?”
****
“Apa Anda akan berangkat sekarang?”
“Ya, karena ada banyak tempat yang membutuhkan kehadiranku.”
Rietta tersenyum, merasa agak kecewa.
“Berkunjunglah lagi kemari.”
“Semestinya kuharap tidak, karena aku pergi ke tempat di mana terjadi masalah besar.”
“Meski begitu….”
Rietta menundukkan kepalanya dan ujung-ujung jemarinya bergerak-gerak gelisah.
Santa Tania mengangkat bahu dan berjalan ke arah Rietta dengan kedua lengan terbentang.
Rietta tersenyum dengan agak merona dan memeluk Beliau.
Santa Tania balas memeluk Rietta.
“Saya sangat menghormati Anda, Santa.”
“Ya, aku tahu.”
“Dan saya amat menyayangi Anda.”
“Sebagaimana halnya sebagian besar orang.”
“Saya akan sangat merindukan Anda.”
Santa Tania menepuk-nepuk bahu Rietta dan tertawa seakan Beliau tak bisa berbuat apa-apa tentang hal itu.
“Kita akan berjumpa kembali.”
Wanita itu, yang telah mengalami terlalu banyak hal pada usia terlalu muda dan tak punya tempat untuk bergantung, tersenyum dengan sepasang mata biru langit yang dalam dan sedikit berkaca-kaca.
“Terima kasih, Santa.”
****
“Tadi sungguh menghibur.”
“Upaya Anda dihargai.”
“Saya hanya bekerja sesuai dengan yang telah Anda bayar.”
Killian mengulurkan tangannya untuk berjabatan. Sungguh sebuah pemandangan langka untuk dia lakukan. Sang Santa langsung menggenggamnya.
“Deus lux mea est. (Dewa adalah cahayaku)”
Sang Santa memberikan salam perpisahan untuk orang-orang percaya kepada seorang pria yang tidak memercayainya.
Killian menerimanya, untuk pertama kalinya setelah waktu yang sangat lama, sebagai simbol rasa hormatnya kepada sang Santa.
“Deo volente. (Sesuai kehendak Dewa)”
Tania tersenyum. Dan tiba-tiba dia memberikan kata-kata perpisahan yang lain.
“Anda bisa memanggil nama saya ketika kita bertemu kembali.”
Para pendeta dari Alpheter menatap syok pada sang Santa.
“Andai saya sepuluh tahun lebih muda.”
Darah seakan terkuras dari wajah para pendeta ketika mendengar komentar tak tahu malu itu. Salah seorang di antara mereka terbatuk-batuk keras.
Killian tersenyum miring.
“Apakah saya pantas menerima kehormatan itu? Hati sebaik Anda tidak seharusnya memiliki pemikiran buruk seperti itu. Tapi saya rasa hanya wanita dengan hati selapang Santa yang mampu memberi ruang untuk jiwa yang buruk seperti saya.”
Santa Tania menyeringai dan menjawab jahil.
“Yah, dari awal Anda tampan dan kaya raya. Terutama saya menyukai kemurahan hati Anda dalam mengeluarkan uang. Tapi saya rasa batasan usia di Gedung Timur tidak akan mengizinkan seorang wanita yang usianya sepuluh tahun lebih tua dari Anda.”
Para pendeta dengan serius mulai mempertimbangkan pihak mana yang sinting.
Killian tersenyum dan dengan gaya elegan mengangkat tangan sang Santa ke bibirnya.
“Saya meminta Anda agar tetap dicintai oleh semua hati, tidak hanya satu saja.”
Sang Santa mengibaskan tangan yang tadi telah ditempelkan ke bibir Killian.
“Ah, ini adalah tugas bagi orang yang dicintai….”
Dan itulah kata-kata terakhirnya. Santa Tania mengayunkan tubuh ke atas kudanya.
“Anda akan pergi ke mana?”
“Ke Ibu Kota.”
Killian mengangguk tenang.
“Sampaikan salam saya kepada Baginda Kaisar.”
“Kenapa Anda tidak menyampaikannya sendiri? Saya yakin Beliau sedang menunggu kehadiran Anda.”
Killian tersenyum pahit dan mengangkat bahu.
“Mungkin, kalau berjodoh.”
Killian mengangkat satu tangan untuk menanggapi salam perpisahan sang Santa.
Santa Tania menarik kekang dan memutar kudanya. Sang Santa yang tampak semakin jauh, memimpin para pendeta, menghentikan lajunya lalu berputar untuk kembali pada Killian.
Killian menatapnya tanpa berkata-kata. Sang Santa, yang sudah mendekat, membungkuk dan memberi isyarat kepadanya. Sepertinya Beliau hendak membisikkan sesuatu ke telinga Killian.
Killian berjalan mendekat, sedikit kebingungan, dan mencondongkan tubuh.
Sang Santa berbisik. “Jangan terlalu dekat dengan Rietta Tristi.”
Alis Killian terangkat tinggi pada nasihat yang tak disangka-sangka itu, dan ditatapnya sang Santa. Dan kemudian dia hanya tersenyum kembali lalu tertawa seakan hal itu bukan apa-apa.
“Apa maksudnya? Rietta kan sudah sejak lama menjadi selir saya.”
Mata biru yang tenang itu menatap ke dalam mata Killian. Sepasang mata itu tak menampakkan secercah pun candaan dan sepenuhnya serius.
“Anda tak perlu berbohong pada saya, Yang Mulia. Jangan lupa kalau rahasia saya sudah ada di tangan Anda.”
Killian tak mengatakan apa-apa.
Santa Tania menegakkan tubuh.
“Jangan tempatkan Rietta di dekat Anda. Hubungan Anda dengannya tak memiliki takdir yang baik.”
Santa Tania memutar kudanya dan pergi, meninggalkan Killian dengan ekspresi heran di wajahnya.
****
Wabah di Axias sudah mereda.
Dan itu merupakan musim panas yang panjang.