Like Wind on A Dry Branch - Chapter 121
“Anak haram yang menarik.” Killian melengkungkan satu sudut bibirnya ke atas dan memiringkan kepalanya. “Aku harus bertemu dengannya.”
Dia berdiri setelah meletakkan laporannya secara menelungkup di atas meja kerjanya. Pada halaman pertama laporan itu terdapat nama Ferdian Calligo, seorang cendekia demonologi dari kelompok Pendeta Elit dari Kekaisaran Liefheim Dimfell.
“Terima permintaan bertemunya,” Killian memberitahu Ern.
****
“Yang Mulia mencari saya?”
Killian mendorong laporannya ke sisi Leonard di meja. Tatapan Leonard bepindah pada kertas itu.
“Kau ingat orang ini?”
Leonard membalikkan halaman-halaman dokumennya, yang dimulai dengan bukti identitas umum bangsawan.
Nama: Ferdian Calligo
Gelar: Count Calligo
Pendidikan: Akademi Kekaisaran Liefheim, Departemen Demonologi, Summa Cum Laude
Afiliasi: Asosiasi Profesor Demonologi, Akademi Kekaisaran Liefheim. Professor Emeritus dalam Demonologi, Akademi Runaha. Kepala Peneliti, Akademi Kekaisaran bidang Demonologi. Peneliti Epidemi, Pendeta Elit dari Kekaisaran Liefheim Dimfell.
Count Calligo, seorang cendekia dalam Kelompok Pendeta Kekaisaran…. Leonard mencari-cari dalam ingatannya namun tak ada satu pun yang didapatkannya. Dia mengekspresikan ketidakyakinannya dengan raut ragu. Dia tak bisa mengingat siapa pun yang akan dicari sang duke agung dengan begitu begitu bernafsu.
“Siapa orang ini?” Leonard bertanya.
“Orang itu,” Killian menjawab. “Ferdian Sevitas.”
Penyebutan Killian atas nama yang tak disangka-sangka itu membuat mata dingin Leonard memelotot kaget sedetik kemudian. Dia buru-buru kembali ke halaman pertama untuk memeriksa ulang namanya, kemudian membaca dokumennya lagi.
Killian bersandar pada punggung kursi.
‘Ferdian’ adalah nama kecil umum, jadi tidak mudah untuk mengidentifikasi orangnya kalau mereka memakai nama marga yang berbeda.
Leonard juga tak terlalu tahu tentang Ferdian. Walaupun Killian sudah beberapa kali bertemu dengan orang itu ketika Cassarius mengajak putranya untuk diperkenalkan, Leonard baru pertama kali melihatnya di pemakaman pada musim semi tahun ini. Rambut perak Ferdian Sevitas, ciri khasnya yang mencolok, pada hari itu menjadi tak terlihat di bawah topi hitam bertepian hitamnya. Juga, Ferdian tidak mendekat ke kelompok Killian dan Leonard ketika mereka tinggal di Sevitas.
Frederick, penguasa yang baru, serta istrinya Segnitia sudah mengurus semuanya setelah pemakaman Cassarius, ayah Ferdian serta penguasa Sevitas sebelumnya.
Sebagai seorang pria bernama Ferdian, putra kedua – bukan Frederick, sang penguasa selanjutnya – dirinya hampir tak kelihatan. Selain itu, Frederick dan Segnitia telah mengesampingkan dirinya dari urusan keluarga karena dia adalah anak haram. Bagaimanapun juga, Ferdian tidak terlibat dalam pemakaman Cassarius. Intinya adalah bahwa Killian tak bisa menyalahkan Leonard karena tak bisa mengenalinya.
Leonard cukup cepat membaca situasinya. Dia memasang wajah serius seraya mengakui kesalahannya. “Maafkan saya, Tuan. Saya tidak mengenali dia.”
Leonard telah melihat daftar orang-orang yang memasuki Kediaman Axias, jadi dia sudah melihat wajah-wajah orang yang masuk. Terlebih lagi, untuk melindungi Rietta, Killian telah menginstruksikan kepadanya agar mengatur dengan seksama siapa pun yang mungkin akan menarget Rietta ataupun berhubungan dengan Sevitas.
Ada pepatah yang bilang bahwa di bawah lampu minyak kondisinya gelap – seorang anggota Keluarga Sevitas telah keluar masuk di dalam dinding Kastel Axias.
“Saya bertanggungjawab karena telah membiarkan dia memasuki Axias,” Leonard berkata.
Seorang Ferdian Sevitas tidak akan pernah lolos dari tangan Leonard bahkan meski dirinya adalah bagian dari delegasi kekaisaran. Kalau memang itu masalahnya, Killian akan sudah menerima laporannya.
“Tidak apa-apa. Aku tak bermaksud menyalahkanmu. Tak ada yang bisa kau lakukan ketika seseorang telah dengan sengaja berbohong tentang siapa diri mereka.” Killian memungut dokumen lainnya. “Dia sudah berbohong soal nama dan gelarnya sejak dia pertama kali masuk.”
Leonard merasakan kesan tertentu dalam kata-katanya. Saat dia ‘pertama kali’ masuk?
Killian menyerahkan kertas lain lagi pada Leonard, yang ini dengan pengikat kulit berwarna violet. “Periksa kapan dia masuk.”
Leonard jelas tampak gugup ketika dia menerima dokumen itu. Sebuah pengikat kulit warna violet pada dokumen mengindikasikan bahwa subyek tersebut berada dalam pengawasan ketat dari serikat intelijen yang diatur oleh Killian.
Serikat intelijen Axias, yang untuk sementara ini telah meluaskan jaringannya demi melacak penyihir hitam yang berhubungan dengan Irene Schuffelman, bertanggungjawab untuk mengikuti orang-orang yang mencurigakan. Pengawasan rahasia tehadap orang-orang luar dengan latar belakang tidak jelas telah berhasil mengungkapkan identitas buatan Ferdian.
Leonard membalikkan halaman-halamannya.
Seseorang bernama ‘Perretgrant Hesen’ telah mengunjungi Axias untuk pertama kalinya pada akhir Agustus, di penghujung musim panas. Meski nama itu tidak familier, karena bukan Sevitas maupun Calligo, tidaklah sulit untuk menyimpulkan bahwa Ferdian telah memakai nama itu.
Para pendeta kekaisaran tiba di Axias pada bulan Oktober. Menyamarkan identitasnya di balik nama yang berbeda, Ferdian telah tiba di Axias setidaknya satu bulan lebih cepat daripada kolega-koleganya.
Leonard memicing ketika instingnya memberitahunya bahwa ada sesuatu yang mencurigakan. Dia membalik hingga ke halaman terakhir dari laporan identitas Ferdian Calligo. Tak ada bagian dari laporan itu yang menyatakan sudah berapa lama Ferdian Callio telah menjadi seorang Calligo atau berapa lama dia telah menjadi bagian dari Pendeta Kekaisaran. Wajah Leonard menggelap ketika dia merasa sangat curiga.
“Kalau afiliasi utamanya adalah Akademi Kekaisaran bidang Demonologi,” Leonard mengungkapkan, “dia pasti bekerja untuk Kardinal Racionel, yang lebih dekat pada Permaisuri ketimbang pada Baginda Kaisar. Dia mungkin memakai cara curang untuk masuk ke dalam kelompok Pendeta Kekaisaran ketika istana telah memutuskan untuk memberangkatkan kelompok bantuan.”
“Kau selidikilah,” Killian memerintahkan.
“Baik, Tuanku.” Dengan cepat Leonard mengemukakan tindakan selanjutnya. “Apa Anda ingin saya menangkap dan menginterogasi dia?”
“Jangan terburu-buru bertindak,” Killian berkata. “Tidak menjadi masalah apakah dia bekerja untuk Kardinal Racionel atau Permaisuri. Namanya bisa berada dalam daftar delegasi menunjukkan bahwa dirinya disukai oleh Kaisar. Cari tahu siapa sebenarnya yang ada di belakangnya.”
Leonard langsung menyesuaikan posturnya dan memberi hormat. “Baik, Tuan.”
“Selidiki semuanya – kenapa dia bisa jadi Calligo, reputasinya di antara para pendeta kekaisaran, dan siapa yang ada di belakangnya. Periksa catatan-catatan baik yang resmi maupun tidak resmi.”
“Baik, Tuan.”
Persis pada saat itulah, Ern mengetuk pintu dan mengumumkan kedatangan seorang tamu. “Yang Mulia, Count Calligo telah tiba mewakili Pendeta Tinggi Gilius. Beliau menunggu Anda di ruang penerimaan tamu.”
Leonard memasang raut ambigu di wajahnya.
Killian berdiri seraya menyeringai. Sungguh orang yang menarik. Dia berjalan masuk secara sukarela. Dia memasang senyum sinis, melengkungkan satu sudut bibirnya. “Aku akan peri menemui dia lalu kembali.”
Sejarah mereka dimulai pada beberapa musim gugur yang lalu, ketika Killian meminjamkan uang kepada Cassarius saat dia pergi keluar dari Axias untuk berkeliling kediaman-kediaman yang berbeda.
Killian berharap untuk memamerkan kekayaan dan kekuasaannya pada perjalanan itu. Dirinya impulsif dan tidak mau repot-repot untuk memikirkan soal urusan-urusan yang rumit. Saat itulah Cassarius menarik perhatiannya.
Cassarius bertemu dengan Duke Agung Axias di Ottnang – kota yang penuh kemegahan, kesenangan, dan hiburan. Cassarius memakai sanjungan yang tepat untuk membuat sang duke agung tetap senang dan berhasil menemukan waktu yang tepat untuk meminjam uang dalam jumlah lumayan besar.
Cassarius beranggapan bahwa pinjaman itu telah menjadikan dirinya sebagai teman baik sang duke agung, jadi dia akan membawa putranya, yang seumuran dengan Killian, ke acara-acara pribadi untuk diperkenalkan. Merasa lelah atas sikap Cassarius, Killian pun berhenti menanggapi Cassarius selama beberapa waktu.
Karena sang duke agung mulai mengabaikan dirinya dan tidak mendesaknya untuk membayar hutang, Cassarius pun menguji situasi hingga dia sepenuhnya berhenti menghubungi. Pembayaran hutangnya, yang sebelumnya dia cicil secara teratur, berhenti datang tak lama setelahnya.
Pada suatu musim semi beberapa tahun kemudian, Killian berkeliling keluar dari Axias bersama beberapa orang kesatria dekatnya. Dia melewati area di dekat Sevitas ketika dia teringat bahwa wilayah itu adalah milik Cassarius. Dia belum mendengar tentang wabahnya, apalagi soal kematian Cassarius, jadi Killian pun mampir hanya dalam upaya untuk meminta pembayaran hutang.
Saat itulah dia bertemu dengan seorang wanita yang hampir dikubur hidup-hidup bersama dengan jenazah Cassarius.
Ini adalah rangkuman kasar dari sejarah mereka.
Killian memasuki ruang penerimaan tamu. Ferdian, yang telah berdiri di dalam ruangan sembari menunggu, menyapa sang duke agung secara formal.
“Merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk bisa bertemu dengan Anda, Yang Mulia. Terima kasih karena sudah meluangkan waktu untuk bicara dengan saya.”
Bekas goresan pedang pada pipinya yang dihasilkan dari tamparan Killian sama sekali tak terlihat. Kolega-koleganya di kelompok Pendeta Kekaisaran pasti telah menyembuhkannya.
“Tentu,” Killian menjawab acuh tak acuh. “Senang bisa bertemu lagi denganmu. Aku sudah dengar tentangmu dari Rietta.” Dia berjalan melewati Ferdian untuk duduk di kursinya. “Rupanya dia banyak berhutang padamu.”
Ferdian menundukkan kepalanya dengan wajah serius namun netral. “Saya hanya melakukan apa yang harus saya lakukan, Yang Mulia.”
Killian mendengus. “Aku setuju.”
“.…”
Duduk di bagian kepala meja, Killian bersandar pada satu sisi dan menyangga dagunya dengan tangan seraya menunduk menatap tamunya. “Tapi dia itu naif,” Killian berkata, “Begitu naif sampai-sampai dia berharap mantan temannya tidak mengalami sesuatu yang mengerikan bahkan meski temannya itu adalah putra dari musuhnya.”
Ferdian tak bisa bilang apa-apa.
“Kau harus berterima kasih kepada Rietta,” Killian berkata seraya merapikan pinggiran lengan bajunya dengan sikap santai seakan sedang bicara tentang cuaca. Dia melirik Ferdian dari samping. “Dan ingatlah,” dia menambahkan, “aku mengampuni nyawamu bukan karena Rietta peduli padamu, melainkan karena aku tak mau orang sepertimu menambah lebih banyak beban pada dirinya.”
Ferdian menundukkan kepalanya ketika mendengarkan kata-kata berat yang disengaja itu. “Saya minta maaf,” gumamnya.
Mata Killian semakin menyipit. Dia merasa tidak senang. Meski Ferdian bicara seperti halnya para bangsawan pada umumnya, entah kenapa hal itu mengingatkannya pada Rietta. Mereka memiliki nada suara dan tindak-tanduk yang serupa.
Sepuluh tahun. Killian bisa melihat kalau mereka adalah teman dekat yang telah sangat saling mempengaruhi satu sama lain seiring dengan berlalunya waktu. Fakta itu sudah jelas, dan dia merasa hal itu mengganggunya.
“Kau seharusnya berterima kasih pada kota menyedihkanmu karena membuat seorang wanita sebaik itu menderita sebagai ganti atas keramahtamahan murahan. Oh, tunggu, kotamu itu sudah tidak ada lagi, kan?” Kata-kata dingin Killian terdengar seperti es.
Killian memberi isyarat pada Ferdian dengan jarinya, menunjuk pada kursi di depannya. “Duduk. Aku akan pastikan untuk membayar kembali kebaikan yang telah kau berikan kepada Rietta.”
Ferdian memucat begitu mendengar frase ‘membayar kembali’.
Walaupun dia diperintakan untuk duduk, Ferdian malah menunjuk semakin dalam dengan ketakutan. “Saya mohon Anda bersedia menarik kembali kata-kata Anda, Yang Mulia. Saya tak pernah melakukan apa pun yang pantas untuk menerima hadiah.”
Killian menatap bisu kepadanya. Masih menunduk, Ferdian meneruskan dengan suara gemetaran. “Semua yang bisa saya katakan adalah bahwa saya berterima kasih kepada Anda, Yang Mulia, karena telah menyelamatkan nyawanya ketika saya tak mampu membantunya saat dia paling membutuhkan bantuan.”
“Kau berterima kasih padaku?” Killian mengulas senyum dingin mengolok. “Kau kedengaran sangat perhatian. Kalau kau bersikap munafik dengan harapan bisa mendapatkan sesuatu dari pertemuan ini, ketahuilah bahwa kau sudah membuat kesalahan dan hati-hati dengan mulutmu.” Suara lembutnya menghasilkan kontras mencolok pada pesannya yang berat dan mengintimidasi.
Dengan suara yang sama, Killian kembali memerintahkan. “Duduk.”
“.…” Ferdian kembali membungkuk sebelum duduk.
Bersandar pada kursinya di bagian kepala meja, Killian menatap bisu pada Ferdian dan tersenyum miring. “Apa yang Pendeta Tinggi Gilius pikirkan saat dia mengirimmu untuk mewakili dirinya?” Killian menyebutnya sebagai kurangnya formalitas – sang pendeta tinggi yang memimpin seluruh delegasi lebih memilih seorang junior ketimbang sekitar seratus orang pendeta tinggi.
“Siapa yang menyokongmu?” Killian bertanya pada Ferdian. “Aku akan sangat marah kalau kau pikir Rietta begitu.” Ketidakpuasannya tampak jelas, demikian juga dengan pesan bahwa Ferdian tidak akan berada dalam pertemuan ini kalau bukan karena Rietta.
Ferdian tak berani merasa tersinggung dan membungkuk sopan. “Saya minta maaf karena mengambil kehormatan yang langka ini untuk menemui Anda sendirian, Yang Mulia. Saya telah membuat permintaan nekad, dan Pendeta Tinggi juga berpikir bahwa saya mungkin akan berkontribusi dalam diskusinya. Saya harap kekurangan saya tidak mendatangkan masalah bagi Anda ataupun sang Pendeta Tinggi.” Dia menelan ludah dan menundukkan kepalanya. “Yang ingin saya bicarakan dengan Anda adalah-”
Killian menyelanya seakan tak tertarik pada apa pun yang ingin Ferdian kemukakan. “Aku akan memberimu kesempatan untuk menjelaskan dirimu sendiri. Kau harus berterima kasih pada Rietta.”
Kata-kata ini kedengaran seperti perubahan subyek yang mendadak.
Ferdian berjengit.
Killian meneruskan dengan suara otoritatifnya. “Katakan semuanya padaku. Aku yang akan putuskan apakah akan memaafkanmu setelah itu.”
Tegang dan panik pada mulanya, Ferdian segera mengerahkan keberaniannya dan menundukan kepalanya. Tampaknya dia telah menduga kalau sang duke agung akan bertanya.
Ferdian bicara langsung pada intinya. “Saya telah memutus hubungan dengan Sevitas. Dan saya sudah memperoleh kesempatan untuk mengubah nama saya setelah menerima gelar dari kekaisaran sebagai pengakuan atas penelitian demonologi saya. Dengan sepenuh hati saya meminta maaf karena tidak memperkenalkan diri saya di hadapan Anda dengan nama lama saya, Yang Mulia.”
Untung saja dia tidak menyulut amarah Killian dengan memulai memakai kata-kata “Saya tidak mengerti apa maksud Anda,” atau klise semacam itu. Dia kedengaran seperti telah menunggu untuk berbagi cerita.
Ferdian meneruskan ketika Killian mengisyaratkan izinnya dengan kesunyian.
“Saya sadar kalau saya telah membuat Anda salah paham dengan berdiri di hadapan Anda atas nama Sevitas, apalagi dengan memakai nama yang baru. Saya merasa malu dan takut, dan karenanya cemas jika membuat Anda merasa tidak nyaman dengan memperkenalkan diri saya kepada Anda dengan memakai nama lama saya. Saya minta maaf. Saya menerima semua hukuman yang Anda jatuhkan kepada saya.” Dia siap menanggung semua konsekuensinya.
Killian menanggapinya dengan cemoohan. “Mau itu nama lama ataupun nama yang sekarang, kau seharusnya jangan pernah menampakkan dirimu sendiri di hadapan Rietta selama kau adalah putra Cassarius.”
Ferdian menghentikan ceritanya dan menutup mulutnya.
“Kau adalah satu-satunya orang yang bisa menolong Rietta, tapi memutuskan untuk tidak melakukannya saat dia paling membutuhkanmu.”
“.…”
“Kuasa kalian berdua adalah ‘teman’?” Killian mendengus. Untuk pertama kalinya dia menatap mata Ferdian. “Kau seharusnya minta maaf pada Rietta, bukan aku.”
“.…”
“Dialah orang yang seharusnya kau hindari untuk disinggung, dialah penyebab kenapa kau seharusnya merasa malu, dan dialah orang yang seharusnya kau takuti.” Killian memiringkan kepalanya dengan wajah datar. “Tapi kau malah bersembunyi dariku, menyamarkan namamu, tapi dengan bangganya muncul di depan pintu rumah Rietta,” Killian berkata seakan merasa terkesan pada perilaku itu.
Suara rendahnya yang tanpa belas kasihan bergema di seluruh ruangan. “Kalau Cedric Caballam pernah mengajarimu sesuatu, maka itu adalah bahwa kau jangan pernah menguji kesabaranku.”
Ferdian memejamkan matanya dan mengepalkan tangannya. “Saya… ada hal lain yang ingin saya katakan kepada Anda.”
“Lanjutkan.” Killian mendesaknya.