Like Wind on A Dry Branch - Chapter 120
Cip… cip… cip!
Rietta membuka matanya dan menatap langit-langit, pemandangan familier dari kamar tidurnya. Cahaya matahari yang berkabut menembus jendela dengan penuh kedamaian.
Saat ini adalah keesokan paginya.
“…!!”
Terperanjat, Rietta tersentak bangun di ranjang. Untuk pertama kalinya dia telah ketiduran sejak menginjakkan kaki di Axias.
…..
“Oh tidak… oh tidak!” Rietta berseru.
Dia tak ingat apa yang telah terjadi setelah percakapan sambil minum bir di rumah minum.
Apa yang kupikirkan? Apa yang baru saja terjadi? Bagaimana aku bisa kembali ke kastel?
Dia bertanya-tanya apakah lebih baik dia tak ingat apa-apa sama sekali. Sayangnya, beberapa kilasan ingatan kembali ketika dengan panik dia membasuh wajahnya dengan air dingin.
Rietta teringat dirinya digendong di punggung lebar dan nyaman seseorang, merengkuh kehangatan dan tetap berada dekat pada sumbernya untuk berlindung dari hembusan angin malam yang dingin, serta meracau pada seseorang tanpa tahu siapa orang itu.
Dia teringat pada suara yang menghiburnya. Astaga, suara itu adalah milik Killian.
Membatu, Rietta menurunkan tangannya yang sedang membasuh wajah. Dia telah meracau dalam tidur sambil digendong di punggung sang duke agung!
“Aku sudah gila!”
Dia hampir menangis ketika mengganti gaun malamnya. Tepat pada saat itu, seseorang mengetuk cepat pintunya.
“Masuklah!” Rietta bergegas membuka pintu begitu dia selesai mengancingkan gaunnya, mengharapkan seorang gadis pelayan datang untuk membangunkan sang nona yang ketiduran.
“.…”
Perlahan mata Rietta bergerak naik ketika wajah yang dia harapkan tidak berada pada ketinggian matanya. Alih-alih, yang ada justru Killian yang berdiri di depan pintu dengan pakaian santai.
Rietta tak bisa bernapas. Dia bahkan melupakan sapaan pagi yang resmi.
Killian sedikit membungkukkan diri dengan wajah datar dan mengulurkan tangan untuk meraba dahi Rietta.
Rietta berdiri diam dan hanya mengerjap dengan syok.
Sejenak tangan sejuk Killian tetap di dahinya sebelum menyentuh beberapa helai rambutnya ketika dilepaskan.
“Kau demam,” Killian berkata.
“.…”
Kling. Dia melewati Rietta untuk memasuki kamar dan meletakkan nampan pada meja di samping ranjang.
“Kenapa kau tidak tinggal di ranjang sedikit lebih lama lagi?”
“.…” Rietta hanya menatap nanar pada punggungnya. Dia meraba dahinya dengan raut wajah bingung.
Aku demam? Bagaimana dia tahu…? Apa dia ada di sini sebelum aku terbangun? Dia kan bisa membangunkanku- Tidak, semalam aku sudah membuat kesalahan….
Rietta tak tahu apa yang harus dia katakan lebih dulu.
“Tak apa-apa.” Killian mengulas senyum samar seakan telah membaca pikiran Rietta sebelum yang bersangkutan mengatakan apa-apa.
“.…”
Kling. Killian membalikkan cangkir teh supaya berdiri tegak di atas piring kecil, kemudian mengarahkan tangannya menuju poci teh.
“Kau mau keluar?” Killian bertanya.
“Ya?”
Poci teh yang dimiringkan menuangkan air jernih ke dalam cangkir. Airnya berpusar ketika memenuhi cangkirnya.
“Hari ini akhir pekan,” Killian mengingatkannya.
“Oh….” Barulah kemudian kesadaran Rietta kembali.
Killian melihat Rietta menampakkan tatapan hampa, mengerjap beberapa kali karena bingung, kemudian tersenyum ketika dia menyadari apa yang telah terjadi. “Kau sudah lupa?”
“.…”
“Apa tadi kau sedang bergegas untuk menemuiku?”
Dengan kikuk Rietta meraba tengkuknya dan menundukkan kepalanya. Kebisuan itu berarti pengiyaan.
Killian mengulas senyum samar. “Aku senang kau begitu.”
Rietta merona, entah kenapa merasa malu.
Hari ini adalah akhir pekan, jadi Rietta tidak terburu-buru. Walaupun dirinya sudah ketiduran, saat ini masih cukup pagi.
Juga, Killian tidak membuat orang bekerja di akhir pekan. Walaupun dia mencari Rietta untuk makan bersama, pada akhir pekan sarapan sering digabungkan dengan makan siang di sekitar tengah hari. Rietta telah dikondisikan untuk bersantai pada pagi di akhir pekan karena Killian telah mengizinkannya demikian.
Menyadari bahwa tak ada pekerjaan yang harus dilakukannya, Rietta pun berdiri diam. Dia telah kehilangan alasan untuk bergegas-gegas.
“Alkohol Axias lebih kuat daripada di wilayah-wilayah lain,” Killian berkata. “Maaf karena aku tidak mempertimbangkan hal itu.”
Rietta merona ketika buru-buru menggelengkan kepalanya. “Ti-tidak, saya yang salah….”
Aku kan bukan anak kecil. Sang duke agung tak punya alasan untuk minta maaf karena mengurus dirinya sendiri adalah tugasnya.
“Kau harus jauh-jauh dari alkohol. Celine juga bilang begitu.”
“Oh, baik, Tuan.”
Apa Celine juga mampir saat aku sedang ketiduran? Rietta terlalu malu untuk menatap mata Killian ketika dia memikirkan tabibnya.
“Dia bilang kondisimu sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya, tapi kesehatanmu masih belum terlalu bagus dan tak boleh memaksakan dirimu sendiri,” Killian menjelaskan. “Dia juga bilang kalau toleransi alkoholmu rendah.”
Killian menyerahkan cangkir teh yang mengepulkan asap kepada Rietta. Alih-alih menyuruhnya minum, pria itu mengulurkan cangkirnya dan mengangguk samar seakan mendorong Rietta agar mengambilnya.
Dari rona kebiruan dan aroma berempahnya, Rietta bisa menerka kalau teh ini adalah untuk menyembuhkan pengar. Dia masih kebingungan ketika dengan hati-hati mengambil cangkir itu dengan kedua tangan.
Rietta sadar kalau dirinya bukan peminum berat tapi tak punya kesadaran yang bagus akan batasannya. Tumbuh besar di biara dan melewatkan masa dewasanya sebagai seorang ibu yang hemat, dia tak pernah minum alkohol cukup banyak untuk membuatnya mabuk. Dia telah berasumsi kalau segelas bir takkan jadi masalah karena minuman itu dikenal memiliki kandungan alkohol yang rendah.
Killian tersenyum miring ketika dia mengamati Rietta mati-matian berusaha merespon. Dengan main-main dia mengacak rambut Rietta.
Gestur penuh kasih itu membuat Rietta sedikit membungkukan bahunya dan memejamkan matanya sebelum membukanya kembali.
Ketiduran, ditambah lagi pulang dengan digendong di punggung Killian serta kehilangan kesadaran, sudah cukup mengerikan, tapi dia juga telah membuat pria itu mengurus pengarnya. Ini sangat memalukan, Rietta membatin.
“A-Anda sendiri tak usah bekerja,” dia menggumam dengan wajah merona dan kepala tertunduk.
Dan kenapa aku bicara seperti ini? Aku kan bisa tinggal bilang “Maafkan saya” atau “terima kasih.”
Killian tersenyum pada tanggapan tidak nyambung Rietta atas keramahannya yang berlebihan. “Tak ada laki-laki yang akan menganggap ini sebagai ‘bekerja’.”
“Ba-bagaimana saya bisa kembali ke kastel?” Rietta bertanya. Menilik dari jauhnya jarak, mungkin dirinya hanya sebentar digendong di punggung Killian sebelum pria itu harus memanggil kereta. Atau mungkin dia sudah salah sangka.
Tetapi Killian malah balik bertanya seraya tersenyum, “Menurutmu bagaimana kau bisa kembali?”
“.…” Rietta menyesal sudah bertanya.
Ketika Rietta merona, tak mampu menjawab, Killian mengulas senyum samar. “Tampaknya kau menyadarinya,” dia berkata.
Killian berjalan menuju dinding dan membuka jendela. Cahaya mentari pagi yang benderang menembus kaca. Tirai linen tipis berkibaran dihembus angin.
Udara bersih mengelilingi ruangan dengan hembusan menyegarkan. Rietta menarik napas dalam-dalam seraya merasakan pikirannya jadi semakin jernih.
Bersandar pada bingkai jendela, sesaat Killian melongok keluar sebelum bertanya, “Sebanyak apa yang kau ingat? Semalam kita telah melakukan banyak percakapan penting.”
Percakapan penting? Merasa gugup, tanpa sadar Rietta mengeratkan genggamannya pada cangkir. Apa kami mendiskusikan sesuatu yang penting? Dia mencari-cari di dalam ingatannya sekuat tenaga, berharap otaknya bisa mengingat sesuatu.
Killian tersenyum miring seraya menoleh untuk menghadap Rietta. “Kau sudah setuju untuk menikah denganku.”
Apa?! Rietta langsung memuncratkan teh di dalam mulutnya.
“.…”
Killian cukup baik hati dan tenang untuk memberikan sapu tangannya kepada Rietta.
Sementara Rietta menatap dengan raut tak percaya, Killian mengulas senyum manis dan memiringkan kepalanya.
“Kita sudah setuju untuk berpacaran mulai hari ini,” dia menambahkan.
“Apa?!” Rietta memekik. A-a-aku sudah gila! Bagaimana aku bisa membereskan kekacauan ini?!
“Ja-jadi per-percakapan penting yang kita lakukan semalam adalah….” Dirinya sudah nyaris panik.
Persis pada saat itulah Killian menyeringai. “Cuma bercanda.”
“.…” Dengan kesal Rietta mengangakan rahangnya dan mendongak menatap pria itu.
Tawa Killian meledak. Dia mendekati Rietta untuk menyeka kedua tangan dan mulut Rietta yang kotor gara-gara memuncratkan tehnya.
“Kau sungguh tak ingat apa-apa, ya?” Killian menukas.
Dasar pembohong! Penipu! Rietta meneriakkan dalam hati apa yang tak berani dia ucapkan keras-keras. Wajahnya telah memerah ketika dia memprotes, “Ini sama sekali tidak lucu!” seraya menyambar sapu tangannya. “Sa-saya ingat beberapa hal kok!” dia mendebat. “Setidaknya saya ingat kalau kita tidak membicarakan hal semacam itu!”
Killian mundur dengan sukarela. Dengan senyum masih membayang di wajahnya, dia berkata, “Kau ingat?” setelah menjeda singkat.
Jeda tersebut begitu ambigu.
“.…”
Tetapi Rietta tak menyadarinya. Dia sedang menyeka cangkir teh dan tangannya dengan raut wajah merona.
“Sebenarnya kita memang membicarakan soal pernikahan,” Killian menambahkan. “Kau tidak ingat?”
Rietta menggumam, “Tolong berhentilah berbohong,” seraya melengos dari Killian sambil merengut.
Killian menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke satu sudut kamar sembari tersenyum.
Walaupun Killian tidak sedang tersenyum padanya, pria itu memancarkan suatu energi aneh yang menarik perhatian Rietta. Rietta pun tak bisa menahan diri untuk menatapnya.
“Aku tak pernah mengungkit soal pernikahan dengan wanita,” Killian menggumam pada dirinya sendiri.
“.…”
Tanpa membuat kontak mata dengan Rietta, Killian mengarahkan pandangannya ke bawah dan mengambil kembali cangkir tehnya. “Sepertinya kau tak ingat.”
“.…” Mata Rietta bergetar.
Killian mengutak-atik cangkir teh itu sebelum meletakkannya ke nakas. Kemudian dia memasang senyum yan menampakkan secercah kekecewaan. “Kau benar-benar melempar cinta murni pria ini ke tempat sampah.”
Rietta benar-benar terguncang.
****
Rietta menatap nanar pada tangannya yang kosong.
I-itu tak mungkin benar. Apa kami benar-benar… bicara soal pernikahan…? Dia tak ingat pada percakapan itu. Dia ingin percaya kalau dia tidak mendiskusikan subyek itu secara serius tak peduli seberapa mabuk pun dirinya. Dia bahkan tak bisa membayangkan soal membahasnya.
Akan tetapi, karena dia tak ingat apa-apa, mau tak mau dirinya digoyahkan oleh ekspresi dan sikap Killian.
“Ber-berhenti menggoda saya,” Rietta memprotes, tetapi suaranya bergetar hebat.
Barulah kemudian Killian menatap mata Rietta. Sejenak dia memberi sorot kesal sebelum berpaling kembali. “Kau bicara seakan aku akan meninggalkanmu setelah merayu sebentar.”
“.…”
Dia memasang senyum pahit. “Sekarang ini aku jadi tak tahu siapa yang sedang menggoda siapa.” Sikap sinis yang telah dengan tenang Killian singkirkan membuatnya tampak lebih getir dan kesepian.
Rietta membisu ketika untuk pertama kalinya melihat raut semacam itu pada diri seorang pria. Dia tak sanggup membuat dirinya sendiri bertanya apakah Killian sedang main-main dengannya.
Dia merasa seakan telah melakukan sesuatu yang sangat salah. Dia tak lagi bisa menghina dan mengecewakan pria itu. Bahkan jika dia menolaknya, dia tak bisa melakukannya dengan cara seperti ini.
Mata merah yang muram itu mendarat pada Rietta. Sorot matanya yang penuh keputusasaan dan kekesalan sama tak menunjukkan kesan main-main.
Rietta berakhir dengan memucat melihat raut dan perilaku dari pria yang mampu melakukan apa saja.
“A-apa yang saya… katakan?” Rietta tergagap. Matanya bergetar seperti gempa bumi.
Walaupun praktis Rietta telah mengibarkan bendera putih, Killian terus berpaling seperti pria yang sedang patah hati. “Jangan cemas,” dia berkata. “Kau tak membuat kesalahan.”
Rietta menatap Killian, membeku di tempat seakan terpengaruh mantra sihir.
“Aku bertanya apakah aku bisa menciummu,” Killian berkata tak lama setelahnya sambil tersenyum miring. “Kau bilang tidak.”
Jeda singkat itu membebani Rietta dengan begitu hebat sehingga dirinya sungguh tak tahu harus berbuat apa.
****
Killian mungkin telah memakai bahasa tubuh yang dramatis, tetapi dia hanya mengucapkan yang sebenarnya. Dia tidak main-main terlalu lama.
“Aku merasa kalau candaanku lucu. Kau tidak?”
“.…”
“Jangan sekaget itu. Kau tahu ini bukan kali pertama aku menjahilimu.”
“.…”
“Apa kau tahu kalau kaulah satu-satunya orang yang mengikuti kejahilanku dengan begitu sempurna?” Killian berbisik seraya menekan tawanya.
Rietta mendorongnya keluar dari kamar tanpa bicara apa-apa. Killian tersenyum dan membiarkan Rietta mengusir dirinya.
“Aku akan menunggu di luar,” Killian berkata dengan sikap ceria. “Keluarlah kalau kau sudah siap.”
****
Bersandar pada pintu, Rietta menjatuhkan dirinya ke lantai dan memegangi wajahnya yang merona. Killian tidak memberinya waktu untuk merasa tidak enak.
“.…”
“Itu maksudnya, aku berniat mengejarmu sekuat tenaga.”
Samar-samar Rietta teringat Killian mengucapkan sesuatu semacam itu.
“Kalau kau setuju, aku ingin kau-”
Ingatan-ingatan samar itu mulai mengacaukan dirinya.
“Aku akan berada di tempat yang kau inginkan.”
“.…”
Kata-kata semacam itu saling bertumpang tindih satu sama lain. Rietta berakhir dengan menguburkan wajahnya di dalam telapak tangan yang bersandar di atas lututnya.