Like Wind on A Dry Branch - Chapter 119
Para penjaga gerbang dan pengawal menghadang pria yang berupaya memasuki kastel dengan seorang wanita di punggungnya di tengah malam.
“Siapa kau?” si pengawal bertanya dengan raut kelabakan. “Apa kau tak tahu kalau kau tak diizinkan masuk ke kastel utama selarut malam ini?”
Killian menatap mereka dan menyeringai. “Kau sudah bekerja keras,” komentarnya.
Para penjaga gerbang tercengang syok karena mereka mengenali suara itu. Seorang pengawal mengangkat obornya, yang di bawahnya berdirilah sang Duke Agung Axias dengan mata sedikit memicing karena cahayanya.
Dengan gugup si pengawal mundur selangkah dan berseru, “Yang Mulia!”
Meski sang duke agung memang kadang-kadang meninggalkan kastel dengan pakaian sederhana, Beliau tak pernah kembali dengan menggendong seorang wanita di punggungnya. Pemandangan itu jelas amat sangat ganjil.
“Singkirkan itu,” Killian memberitahu para penjaga gerbang yang sedang tercengang di masing-masing sisi apa yang harus mereka lakukan. Mereka tampaknya sudah mengenali dirinya tapi sepenuhnya kebingungan.
Para penjaga gerbang tersentak dan menarik kembali tombak mereka. Tulang mereka patut untuk ditendang. Akhir musim gugur adalah waktu dalam setahun ketika sang duke agung tidak mengizinkan kesalahan sedikit pun.
Akan tetapi, sang duke agung tidak menendang ataupun membentak mereka. Beliau hanya menghela napas pelan sebelum mulai berjalan.
Salah seorang pengawal langsung mengikutinya dan bertanya, “Apa saya harus memanggil orang untuk membantu?”
“Bukakan saja pintunya,” Killian menjawab.
Untung saja mereka tidak perlu sampai membuat keributan dengan menurunkan jembatan tarik karena sang duke agung tidak membawa kuda bersamanya. Membuka pintu samping, para penjaga gerbang berdiri dengan panik ketika Killian melewati mereka.
“Selamat malam,” dia berkata. “Dan selamat menikmati festivalnya.”
Para penjaga menatap bengong pada sang duke agung dari belakang, kemudian saling bertukar pandangan satu sama lain untuk mendapati betapa tercengangnya mereka.
****
Leonard dan Giselle, yang langsung berlari menghampiri setelah mendengar kabar dari pengawal, membeku karena syok ketika mereka melihat Killian menggendong Rietta yang sedang mabuk di punggungnya.
“Apa yang telah Anda lakukan?!” Leonard berseru. Dia baru saja telah mengalami beberapa menit terburuk dari hidupnya sejak menerima laporan dari para pengawal yang bercampur dengan spekulasi.
Killian mengernyitkan alisnya. “Uh, tidak melakukan apa-apa?”
Giselle menutupi wajah pucatnya dengan satu tangan. “A-apa Anda telah membuat dia minum minuman keras?!” serunya. “Anda membuat Rietta minum miras?!”
“Dia yang minum sendiri,” Killian membalas.
“Anda seharusnya menghentikan dia! Kenapa Anda membiarkan dia minum sampai pingsan?!”
Killian menahan dorongan untuk mendebat, Mana kutahu kalau satu setengah gelas bir akan membuat dia pingsan?
Rietta, yang terbangun karena keributan tiba-tiba itu, menggeliat di punggung Killian.
Killian adalah orang pertama yang merasakan pergerakannya. Dia memutar kepalanya ke sampingg dan bertanya, “Bagaimana perasaanmu?” dengan suara lembut.
“Um….” Rietta mengerang seakan belum sepenuhnya terbangun.
Killian memberi isyarat pada Giselle dan Leonard dengan matanya. Para kesatria, yang melihat dengan syok, mulai bergerak sesuai isyarat.
Secara otomatis Leonard pergi menuju kamar tidur Killian dan ruang pakaian Rietta ketika Giselle menariknya ke kamar tidur Rietta. Dengan cepat kesatria-kesatria mereka menyalakan lentera, dan gadis-gadis pelayan mengikuti mereka untuk menata ranjang.
****
Duduk di atas kursi di sisi ranjang Rietta, Killian mengamati Rietta tidur.
Dia tidak yakin sudah berapa lama Rietta mabuk dan seberapa banyak kejadian malam ini yang akan diingatnya. Ternyata Rietta sudah mabuk pada saat mereka memulai apa yang Killian anggap sebagai percakapan penting.
“.…”
Killian meletakkan segelas air di atas meja di samping tempat tidur kalau-kalau Rietta ingin minum. Menyibakkan rambut berantakan Rietta dari wajahnya, Killian larut dalam pemikiran.
“Apa kau sudah memikirkannya?” dia bertanya pada Rietta.
“Tentang…?”
“Tentang aku.”
Rietta menatapnya sebelum mengarahkan tatapannya pada gelas birnya yang berbusa. “Belum…,” jawabnya.
Killian terkekeh. “Duh.”
Rietta menunduk memandangi jari kakinya, sepatunya terjatuh menyamping ketika kakinya tanpa sengaja mengenai sepatu itu.
Perlahan Rietta mengerjap beberapa kali dan berkata, “Saya rasa saya tak punya pilihan untuk memikirkan hal itu.”
“Kenapa kau tak punya pilihan? Apa tadi kau tak mendengarkanku?” Killian memberdirikan kembali sepatu itu dengan kakinya.
Rietta mengulas senyum lemah. “Saya hanya…,” kata-katanya melirih.
Killian mendorongnya untuk menyelesaikan. “Kau hanya…?”
Rietta menunduk menatap gelasnya. “Saya tidak yakin apa yang Anda harap untuk dilakukan dengan saya.”
Tak bisa sepenuhnya memahami pertanyaan Rietta, Killian menatapnya tanpa bersuara.
“Apakah Anda menginginkan pengalaman berkencan dengan rakyat jelata, atau….”
“.…”
“Anda bisa tinggal memberi perintah kalau Anda ingin tidur dengan saya.” Rietta menyapukan ibu jarinya pada gelas dingin yang berlapis titik-titik air.
Killian menegang. Kata-kata Rietta telah mengabaikan perasaannya dan menguji hatinya. Akan tetapi, dia menaikkan alisnya seraya merenung, kemudian menyesuaikan posturnya. Diletakkannya jemarinya yang saling bertautan ke atas meja dan kembali ke wajah netral.
Menghadap Rietta, dia mengetuk meja untuk menarik perhatian wanita itu. “Rietta, lihatlah aku.”
Rietta mendongak menatapnya.
“Aku tak mau membuatmu tertekan dengan menyatakannya terlalu cepat, tapi kurasa akan lebih baik kalau membuatmu mengetahuinya lebih awal. Jadi biarkan aku memberitahumu sekarang juga.”
“.…”
“Aku berniat menjadikanmu duchess agungku kalau kau bersedia.”
Rietta tak bisa menahan cengirannya pada kata-kata yang benar-benar tak disangka itu.
“Kau tampaknya tak memercayaiku.” Killian melengkungkan bibirnya ke atas dan memiringkan kepalanya.
“Karena itu tidak masuk akal….”
“Kenapa itu tidak masuk akal?”
“Saya tidak senaif… atau sebodoh itu.”
Killian menyadari kalau Rietta sama sekali tidak menganggap serius kata-katanya. Menatap wanita itu, dia menyandarkan dagunya ke atas lengannya yang disilangkan.
“’Naif’? Apa maksudmu adalah bahwa lebih bijak jika beranggapan kalau aku akan meninggalkanmu setelah bermain beberapa kali?”
Rietta tersenyum dan mengarahkan pandangannya ke bawah. “Sejujurnya saja, ya.”
“.…”
Killian menatapnya. Dia tak tahu kalau Rietta ternyata bisa bicara seperti itu. Tanggapan wanita itu sungguh tak disangka-sangka.
Meski merasa aneh karena Rietta telah mengabaikan atau merendahkan ide-ide seriusnya, Killian malah jadi berpikir alih-alih merasa marah. Begitukah? Apa sebagian besar orang akan merasa seperti itu?
Rasanya tidak buruk juga kalau dia bisa mengetahui tentang perasaan Rietta yang sesungguhnya dan juga bagian dari wanita itu yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Meski Rietta membantahnya, tanggapan wanita itu mengesankan bahwa Rietta telah memikirkan tentang lamarannya dengan suatu cara tertentu.
Killian mengangkat bahu. Ini bukan sesuatu yang biasa dijelaskan dengan kata-kata. “Aku akan butuh waktu untuk membuktikan diriku sendiri.”
Rietta menaikkan pandangannya dan sejenak menatap Killian. “Saya adalah rakyat jelata,” dia berujar.
“Dan?”
Rietta mengulas senyum merendahkan diri sendiri. “Jika Anda memerintahkan saya untuk datang ke kamar Anda, Anda bisa mendapatkan saya untuk malam itu.”
“Aku tahu.” Jawaban Killian lebih kedengaran seperti “Terus kenapa?”
“.…” Rietta menatapnya.
Killian mengesah cepat. “Apa alasanmu sampai mengemukakan hal itu? Kau mungkin memang benar, tapi ini tak ada hubungannya dengan apa yang kuinginkan.”
“.…”
“Apa aku benar-benar perlu menjelaskan bahwa yang kuinginkan adalah hatimu? Kupikir sampai di sini kau sudah mengerti hal itu.”
Rietta membisu.
Killian menuntut tanggapan dengan kesunyian seakan menyatakan kalau dia sudah cukup banyak bicara.
Sesaat kemudian, Rietta kembali membuka mulutnya, “Saya adalah, seorang rakyat jelata.”
“Apa kau menyatakan hal yang sudah jelas itu kalau-kalau aku tidak tahu?”
“Saya tidak punya gelar, uang, ataupun kekuasaan.”
“Tak apa-apa. Aku punya semua itu.”
“Kaum bangsawan… mereka seharusnya menjalani pernikahan yang sudah ditentukan dengan orang yang setingkat, kalau tidak….”
Killian memiringkan kepalanya. “Apa kau pikir aku butuh pasanganku memiliki gelar atau uang?”
Rietta mengerutkan bibirnya. “Bangsawan mana yang tidak?”
“Bangsawan yang ini.” Killian mengangkat tangannya. “Aku bukan sekedar bangsawan. Aku bisa dibilang adalah anggota keluarga istana, meski aku telah dicoret dari daftar keluarga kekaisaran.”
“Yang berarti, Anda seharusnya bersama dengan orang yang pantas – “
“Aku ragu kalau aku membutuhkan sesuatu dari wanita, mau itu latar belakang ataupun mahar. Aku mampu memilih pasangan tanpa mempertimbangkan hal semacam itu.”
Rietta menatap Killian. Dia tampak seperti anak kecil yang sedang merajuk.
Killian mengangkat satu sudut bibirnya, “Apa yang kau pikirkan?”
“Itu… mereka bilang kalau seorang pria yang sedang mendekati wanita bersedia mengatakan apa saja. Itu memang benar.”
“Oh.”
“Saya tidak tahu kalau ternyata Tuan juga seperti itu. Anda belum lama tertarik kepada saya. Apa Anda yakin Anda siap untuk percakapan ini?”
Killian terkekeh. “Akhirnya,” dia berkata, “Aku sudah dinaikkan menjadi ‘seorang pria yang berusaha memenangkan hatimu’. Sebelumnya aku bertanya-tanya kapan aku akan keluar dari peran sebagai tuanmu. Aku senang karena sekarang aku sudah keluar.”
“.…”
Killian tersenyum seraya bersandar pada kursinya. “Pokoknya, aku cukup senang karena itulah masalahmu. Menyangkut pasanganku, aku sama sekali tak peduli soal latar belakang. Aku bisa menikahi siapa pun yang kumau. Siapa yang akan berani mempermasalahkan tentang wanita yang kupilih?”
Rietta memberengut. “Tentu saja seluruh dunia.”
Killian menyeringai. “Para rakyat jelata, maksudmu? Atau para bangsawan entah siapa itu? Tentu, mereka akan bergosip. Tapi seseorang akan selalu mengatakan sesuatu tak peduli siapa pun yang kunikahi, jadi hal itu takkan menjadi kesalahanmu. Itu akan jadi masalahku, dan aku minta maaf lebih dulu.”
“.…”
“Hal-hal semacam itu tidak akan berpengaruh pada keputusan yang kubuat,” dia meneruskan. “Aku tak peduli pada apa yang mereka katakan di belakangku. Dan kalau ada orang yang berani mengucapkan sesuatu yang lancang di depanku, mereka akan menanggung akibatnya. Aku akan selalu ada di sisimu… itu kalau kau mengizinkan aku berada di dekatmu.”
Killian mengganti nada bicara riangnya dengan nada serius ketika dia menghadap ke arah Rietta. “Aku tak terlibat dalam pergaulan kelas atas, jadi tak ada yang perlu kau cemaskan, walaupun aku bisa membiarkanmu bergabung jika kau mau. Aku tahu kalau ucapanku ini terlalu cepat, tapi aku hanya membiarkanmu tahu lebih awal soal hal-hal mungkin akan kau pertimbangkan sebagai pertanda buruk untuk seorang pasangan.”
Dia menempelkan punggung tangannya ke dahi untuk berpikir. “Siapa lagi yang bisa mempermasalahkannya…. Baginda Kaisar, yang telah mencoretku dari daftar keluarga? Atau Baginda Permaisuri, yang dirinya sendiri telah menikah kembali setelah memiliki anak dan bahkan bukan ibu kandungku? Kalau Kaisar dan Permaisuri saja tak bisa ikut campur, bangsawan mana yang bisa? Apakah dewan kuil bisa ikut campur saat aku bahkan tak percaya pada para dewa? Sungguh, tak ada seorang pun yang bisa menyentuhku. Aku punya situasi yang cukup bagus, kan?”
Rietta, yang telah membuat bantahan-bantahan dangkal seperti seorang anak yang sedang digoda, tak tahu bagaimana harus menanggapinya.
Killian memiringkan kepalanya ketika dia mengulas senyum menawan. “Baiklah,” dia berkata, “Pikirkanlah, dan pertimbangkanlah kondisi-kondisi luar biasa ini. Aku adalah orang yang lebih baik daripada yang disebutkan dalam rumor. Aku tidak makan orang dan sikapku cukup baik pada wanita… kurasa. Kalau wanitanya kamu.”
“.…”
“Aku tak tahu banyak soal berpacaran. Aku tahu kalau aku tak sempurna, tapi aku akan berusaha. Beri tahu aku apa yang kau inginkan, aku akan berusaha memenuhinya. Aku cepat mahir dalam segala hal, kau tahu.”
Rietta menggelengkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke bawah. “Saya tahu Anda adalah orang yang baik, tapi saya….”
“Bagaimana denganmu?”
“Saya seorang janda,” Rietta menjawab tersendat ketika dia merasakan ada simpul di dalam dadanya.
“Lantas? Aku akan jadi masalah kalau kau masih menikah, tapi apa salahnya menjadi janda? Aku dan Permaisuri Aversati mungkin memang saling bermusuhan, tapi aku tak pernah berpikir kalau dia akan bermasalah untuk menjadi Permaisuri hanya karena Baginda Kaisar bukan suami pertamanya. Dulu kami juga punya hubungan yang baik, sebelum insiden itu terjadi.”
Rietta membeku ketika Killian menyebut-nyebut tabu itu dengan begitu santainya.
Dengan cepat Killian beralih dari subyek yang tidak mengenakkan dan kembali pada inti pembicaraannya. “Siapa yang akan berani membicarakan tentang kualifikasi istriku saat kaulah orang yang kuinginkan? Aku hanya sedang berusaha membuatmu balas menyukaiku, karena kau tampaknya tidak mempertimbangkanku sebagai calon pasangan. Tak usah memikirkan tentang pendapat orang lain. Semuanya terserah padamu.”
Keduanya saling berpandangan.
Killian tersenyum penuh aspirasi. “Dengan begitu, aku berniat mencoba segala cara yang kubisa untuk memenangkan hatimu.”
Dia berdiri dan berjalan ke sisi Rietta. Rietta, duduk dengan gelas di tangannya, perlahan beringsut mundur.
Killian berhenti di depan Rietta dan mengulurkan tangan untuk menutup jendela di belakang Rietta.
Klik. Jendela pun dikunci, menghalangi masuknya hembusan angin malam yang dingin.
Rietta mengerjap. Wajah Killian berada persis di atasnya ketika pria itu membungkuk dan bersandar ke dinding.
“Boleh aku menciummu, Rietta?”
Rietta tidak bergerak mundur dengan panik seperti yang telah Killian harapkan melainkan hanya balas menatapnya.
“Katakan tidak,” Killian berkata.
Rietta menurut. “Tidak.”
“Sebagai gantinya, biarkan aku memberkatimu.” Killian mendekat dan mencium dahi Rietta. Ciuman lembut yang kini terasa akrab itu dengan sopan membuat kontak singkat dengannya.
“Jangan lupa kalau keputusannya ada di tanganmu,” Killian menambahkan. “Tapi pertimbangkanlah ini: uang, kekuatan politis, kekuatan militer, wajah rupawan, kompeten sebagai penguasa, latar belakang yang tak bisa ditolak siapa pun, apa yang telah kulakukan untukmu, sebesar apa aku menyukaimu, komitmen untuk menunggu….”
“.…”
“Pertimbangkanlah semua hal itu.” Killian menyeringai, kemudian menambahkan dengan nada merendah, “Kuharap setidaknya salah satu di antaranya bisa membuatmu berubah pikiran.”
Rietta mengangkat tangannya ke dada. Dia mengernyit dan merintih ketika dia tak bisa menemukan benda yang selalu ada di sana.
Killian meraih tangan Rietta, membawa tangan itu ke pergelangan tangan kiri yang bersangkutan, dan menepuk-nepuk punggung tangannya seakan hendak menenangkan dirinya. Benda itu ada di sini.
Rietta meraba tali kulit dan cincin yang ada di pergelangan tangannya. Dia kembali tenang dan menggerakkan tangannya yang menggenggam cincin itu ke dada ketika tubuhnya berputar di bawah selimut.
Killian tersenyum samar. Cara Rietta merasakan kemelekatan pada sebuah benda sentimental sungguh manis. Dia suka melihat sisi manusia Rietta. Dia berharap bisa membantu Rietta untuk tetap seperti ini, bukan hanya ketika mabuk tapi juga saat sepenuhnya sadar.
Killian mendekatkan wajahnya pada wajah Rietta, yang masih tertidur, dan bertanya, “Boleh aku menciummu?”
Matanya terpejam, Rietta tersenyum dan menggumam dalam tidurnya, “Tidak….”
Killian balas tersenyum. “Baiklah. Kalau begitu biarkan aku memberkatimu.” Dia membungkuk dan memberikan ciuman lembut ke dahi Rietta.
Rietta terkikik seakan merasa geli. Kemudian dia menggumamkan sesuatu ketika mengusap dahinya dan berbalik.
Hal terkecil saja sudah membuat Killian cukup gembira.
Menunduk menatap Rietta, Killian menepuk-nepuk dahi wanita itu. Meski saat ini Rietta sedang menurunkan kewaspadaannya dengan cara yang menggemaskan, dia tak boleh sampai terbawa oleh momen ini. Rietta bersungguh-sungguh ketika menolak dirinya.
Dirinya telah mencintai seseorang yang memiliki banyak luka. Dia telah memilih untuk merengkuh seluruh diri Rietta, termasuk Rietta yang menolaknya dan Rietta yang ragu-ragu. Ini adalah jenis cinta yang telah dipilihnya.
“Selamat malam.” Killian memberkati Rietta.