Like Wind on A Dry Branch - Chapter 117
Acara keluar mereka lebih terasa seperti piknik ketimbang kencan, – tenang dan nyaman, bahkan seru.
Hembusan angin sejuk meniup cahaya mentari nan cemerlang.
Tak seperti jalan perajin, pilihan pertamanya, Rietta benar-benar bersenang-senang di tempat yang Killian pilih. Karenanya dia berpikir sejenak sebelum memilih lokasi kedua di mana mereka bisa bersenang-senang.
Pilihannya jatuh pada sebuah toko buku.
“Ini lebih baik dari toko pandai besi, tapi….” Kata-kata Killian terseret di bagian akhir.
Rietta tersenyum malu-malu seakan menganggap hal itu sebagai pujian.
Apakah mengunjungi jalan pandai besi atau toko buku bisa dianggap sebagai kencan bagi rakyat jelata? Karena tak punya pengalaman dalam berkencan, Killian pun tak tahu jawabannya.
Bagi rakyat jelata seperti Rietta, buku adalah benda mewah yang cukup menarik untuk dilihat-lihat. Namun tidak bagi Killian, yang kediamannya di Kastel Axias memiliki perpustakaan besarnya sendiri. Meski baik Rietta maupun Killian gemar membaca, toko buku biasa di luar dinding kastel bukanlah tempat kencan ideal bagi bangsawan tingkat tinggi seperti Killian.
Akan tetapi, dia tak pernah berniat mengungkapkannya ke wajah tersenyum Rietta. Rietta akan mengamati buku, dan aku akan mengamati dia. Killian gembira karena Rietta gembira.
Toko buku di luar dinding kastel, yang tampak berbeda dari toko buku di Sevitas, membawa kembali berbagai kenangan. Buku-buku harganya mahal dan anak-anak yatim piatu dari biara tentu saja tak mampu membelinya. Rietta, gadis brbakat akademis yang tumbuh besar di biara, memimpikan untuk berbelanja di toko buku. Jade yang cekatan segera akan menetap di desa dan kadang-kadang akan mengirimi Rietta buku sebagai hadiah. Jade telah mencari tahu buku-buku apa yang Rietta inginkan bahkan sebelum Rietta memberitahunya. Dengan main-main Rietta akan mengomeli Jade karena menghabiskan uang pada buku-buku yang mahal dan hanya akan balas tersenyum, memberitahunya bahwa buku-buku itu tak terlalu mahal.
Hari-hari bahagia tidak berlangsung lama – hanya sekitar lima tahun.
“Ini Demonologi Haviston.” Suara Killian menyentakkan Rietta yang sedang bernostalgia kembali ke kenyataan.
Killian memungut buku itu dan mengamati sampul belakangnya. “Ini buku yang besar. Disertifikasi oleh Kuil Agung, kan?”
Mata Rietta mendarat pada buku di kedua tangan Killian. Buku itu mendatangkan ingatan lainnya. Tangan Killian sedang memegang buku terbesar yang pernah Rietta punya, buku yang telah dibacanya berulang kali hingga halaman-halamannya lepas.
“Bukankah kau bilang seseorang pernah memberikannya kepadamu sebagai hadiah?” Killian bertanya.
“Ya? Oh, benar.” Rietta tampak agak terkejut.
Dia belum menceritakan detil-detil semacam itu ketika memberitahu Killian tentang Tuan Ferdian. Merona sejenak, dia berhasil mengingat sesuatu dari masa lampau. Dia mungkin pernah menyebutkannya ketika menjawab pertanyaan dari Santa Tania.
Apa aku pernah memberitahu Beliau tentang hadiah bukunya? Rietta tak bisa memercayai bagaimana ingatan sang duke agung cukup luar biasa untuk bisa mengingat sesuatu yang hampir tak bisa diingatnya.
Satu tatapan cepat sudah cukup bagi Killian untuk menyimpulkan bahwa buku ini tidak murah. Sebuah buku dengan ilustrasi, disertifikasi oleh sebuah kuil, harganya pasti sangat tinggi. Harga yang berada di luar jangkauan rakyat jelata.
“Siapa yang memberikannya padamu?” Killian bertanya kepada Rietta.
Rietta meragu sebelum menjawab, “Teman,” tanpa menyebutkan secara spesifik siapa teman itu.
Rietta telah menyumbangkan buku itu ke biara ketika dirinya lulus.
Si pemberi pasti adalah seseorang yang tahu kalau Rietta punya kekuatan suci untuk melihat iblis dengan mata telanjang, seseorang yang mampu membeli buku-buku mahal yang disertifikasi oleh Kuil Agung. Kemungkinan besar orang itu adalah bangsawan.
Dalam benaknya pun muncul satu orang yang akan Rietta gambarkan sebagai teman.
“Saya banyak berhutang kepadanya.”
“Dia adalah teman saya, juga teman suami saya.”
Rietta mempertahankan jawabannya tetap samar. Killian menyerah untuk mendapatkan jawaban yang jelas. Alih-alih dia berkata, “Ayo beli ini. Akan bagus kalau kau menyimpan satu.”
Saran itu mengejutkan Rietta. “Ini buku yang sangat mahal.”
Killian memiringkan kepalanya, “Tidak mahal,” dia menjawab, meninggalkan kata ‘bagiku’ di akhir kalimat. Tidak ada buku yang terlalu mahal bagi kekayaannya.
Killian sangat kesal dan tidak nyaman karena bajingan itu telah membelikan Demonologi Haviston untuk Rietta, sebuah buku wajib baca bagi para pemberi berkat. Rietta pasti telah mengerahkan banyak waktu dan upaya untuk belajar dengan buku itu demi mencapai tingkatannya saat ini.
Pemilik toko buku melirik pada Killian dan Rietta. Salah satu dari mereka pasti seorang pemberi berkat kalau mereka tertarik pada buku itu. Dia menerka kalau si wanita adalah seorang pemberi berkat. Instingnya memberitahunya bahwa pasangan itu akan membeli buku yang dilihat-lihat oleh sejumlah pengunjung namun jarang dibeli karena harganya itu.
Si pemilik adalah seorang squire yang telah bekerja sebagai guru bagi keluarga bangsawan tingkat tinggi selama bertahun-tahun. Dia mengenali tindak-tanduk dan aksen Killian, yang umum di kalangan bangsawan. Dia juga menyadari bahwa busana mereka yang kelihatan biasa sebenarnya dibuat dengan bahan berkualitas tinggi. Hal ini bukanlah hal yang tidak biasanya karena sejumlah pendeta kekaisaran memiliki latar belakang ningrat.
“Apa Anda seorang pendeta suci?” dia bertanya pada pasangan itu.
“Ya.” Killian tak mau repot-repot mengoreksinya.
Si pemilik mengangguk. Beberapa orang pendeta sudah mengunjungi toko ini setelah mendengar bahwa Demonologi Haviston dijual di sini. Setelah akhir-akhir ini melakukan pelayanan pada komunitas, para pendeta seringkali menarik kerumunan dalam jumlah besar ketika berada di jalan. Mereka seringkali berkeliaran dengan pakaian biasa ketika sedang mengerjakan tugas pribadi supaya tidak menyebabkan keramaian.
“Seperti yang mungkin sudah Anda ketahui kalau Anda seorang pendeta,” si pemilik berkata, “Demonologi Haviston adalah buku wajib baca yang disimpan oleh setiap kuil. Permintaan akan buku ini selalu tinggi. Kalau Anda belum memiliki buku ini, ini akan menjadi hadiah yang bagus.”
Iklan penjualannya tidak sepenuhnya tak berdasar karena sebagian besar pendeta Kaisar bisa melihat iblis dengan mata telanjang. Masuk akal kalau dia merekomendasikan buku ini.
Sebenarnya, setiap pendeta yang punya motivasi menginginkan satu salinan Demonologi Haviston. Para pemberi berkat yang ingin membuka potensi mereka dalam mengidentifikasi iblis sangat terdorong untuk menguasai buku ini. Akan tetapi, akibat harganya yang selangit, hanya sedikit yang mampu memilikinya secara pribadi kecuali mereka adalah para pendeta tingkat tinggi dengan pengalaman bertahun-tahun ataupun para pendeta penyuci yang disokong oleh kuil.
Merona, Rietta berusaha menolak tawaran Killian. “Tidak apa-apa, saya bisa meminjamnya dari perpustakaan kastel.”
“Akan lebih baik kalau kau punya sendiri,” Killian bersikeras. “Kau bilang kau telah menyumbangkan bukumu ke biara.”
Apa aku pernah menyebutkan itu padanya? Rietta tak tahu apakah Killian sebenarnya bisa membaca pikiran atau punya ingatan yang luar biasa.
Rietta berakhir memberitahunya, “Saya sudah menguasainya. Saya tak perlu membacanya lagi.” Dia sebelumnya memilih untuk tidak mengucapkannya karena takut akan kedengaran sombong.
“Kau sudah membaca semuanya?”
“Saya sudah menghapal semua isinya.”
Killian memiringkan kepalanya. “Benarkah?”
Si pemilik memasang wajah bingung karena dia berpikir bahwa hal itu tidak mungkin benar. Nona muda itu telah menghapal semua yang ada di dalam Demonologi Haviston? Itu kedengarannya tidak mungkin bahkan jika dia adalah pendeta petarung sang Kaisar.
Bahkan para profesor jurusan demonologi ataupun para pendeta tinggi tidak merasa malu untuk mengintip Demonologi Haviston.
Killian membalikkan halaman-halamannya, kemudian menutupi nama sesosok iblis yang digambar pada satu sudut dari suatu halaman acak. “Apa nama iblis yang ini?” dia bertanya pada Rietta.
Dikejutkan oleh kuis dadakan itu, Rietta tergagap, “Yang itu tak punya nama karena merupakan iblis tingkat rendah, tapi itu adalah Elti O Quatnum, diklasifikasikan sebagai sesosok Helios…. Dia adalah bawahan iblis yang seringkali dipakai oleh Morbidus atau Deritas.”
Killian menyingkirkan jemarinya yang menutupi deskripsi iblis tersebut. Jawaban Rietta benar.
“Wuah,” dia berseru.
Killian lalu membalikkan beberapa halaman lagi. Kali ini, dia menutupi satu paragraf deskripsi alih-alih namanya. Ditatapnya Rietta. “Apa deskripsi yang ada di sini?”
“Exitius sang iblis api,” Rietta menjawab. “Sesosok iblis tingkat tinggi yang menyebabkan penderitaan besar bagi manusia bersama dengan Deritas sang Iblis Besar lima belas tahun yang lalu. Dia adalah saudara Exkitheo sang iblis api, yang telah menghilang pada penakhlukan iblis ketujuh. Dia sangat membenci manusia karena kematian Exkitheo, dan….”
Killian memberi beberapa pertanyaan lagi, dan Riettta menjawab tanpa jeda pada tiap kalinya. Si pemilik tampak tercengang dan bahkan Killian, yang tidak familier dengan demonologi, tampak penasaran. Penguasaan Rietta begitu mengesankan jika mempertimbangkan sejumlah kecil informasi in.
“Kau benar-benar sudah menghapal semuanya,” Killian berkomentar.
“Ya.”
“Bagaimana kalau kau tetap membelinya saja?”
“Ya?”
Si pemilik menimpali, “Ini adalah edisi terakhir.”
“Sepertinya begitu.” Killian langsung membayar harga ecerannya dan juga biaya tambahan serta memintanya agar dikirimkan ke Kastel Axias.
Si pemilik toko menanggapi, “Tentu saja.”
Persis ketika si pemilik sudah akan memasukkan buku itu ke dalam kotak pengiriman, dia berbalik. Dia baru terpikirkan sesuatu. Kastel Axias…?
Segera tubuhnya membeku karena kaget ketika mengenali mata merah di bawah rambut hitam serta perilaku yang dingin dan arogan itu.
****
Kuburkan wanita itu!”
“Seseorang tolong aku!” Suara melengking putus asa dari aktris itu bergema di seluruh panggung.
Persis pada saat itulah, para pemeran tambahan yang memegang pedang roboh diiringi teriakan yang dilebih-lebihkan. “Ahhh!”
“Beraninya kalian, bajingan-bajingan jahat! Jangan sentuh wanita tak berdosa itu!”
Para penonton mengalihkan perhatian mereka ke arah yang dilihat oleh para pemeran tambahan.
“Sekarang siapa itu?”
Seorang aktor yang mengenakan mantel berdiri di puncak sebuah drum di sudut belakang bangku penonton. Di belakangnya terdapat seorang anggota staf yang sedang mengipasi sekuat tenaga untuk membuat mantelnya terus berkibaran.
Beberapa orang penonton di dekatnya terkikik ketika mereka mendapati si aktor muncul di belakang mereka.
“Orang-orang yang tidak punya rasa keadilan tak pantas mengetahui namaku!” seru si aktor.
Si aktris memekik, “Tolonglah aku, Tuan Pendekar Bertopeng! Tolong!”
Si aktor yang mengenakan topeng hitam melompat turun dari drum lalu mencabut keluar sebilah pedang kayu. “Tak ada satu orang pun dari kalian yang akan bisa pulang hidup-hidup!” dia berseru seraya mengayunkan pedangnya.
Memamerkan gerakan-gerakan heboh yang tidak diperlukan, si aktor melewati para pemeran tambahan sambil mempertontonkan tarian pedang.
“Akh!”
“Gaaah!”
Gerakan-gerakan tariannya yang megah serta ayunan pedangnya di udara menyapu melewati para penonton yang mengelilingi panggung. Gerakan-gerakan berlebihan itu menghasilkan fokus dengan tingkat mengesankan pada aspek pertunjukan namun benar-benar karismatik di atas panggung. Para penjahat dibuat berjatuhan seperti daun-daun yang berguguran oleh pedang yang bahkan tidak menyentuh mereka.
Penjahat terakhir yang berdiri di depan si aktris membuat seringai mengintimidasi ketika dia menghadapi sang aktor bertopeng. Pemain musik di belakang panggung memainkan musik bernada tegang dengan perkusi berat di latar belakang.
Si penjahat dan tokoh utama saling berhadapan dan menari berputar-putar.
“Tak ada seorang pun yang bisa mengambil mempelai sang baron!” si penjahat berseru seraya mengangkat pedang kayunya.
Si tokoh utama tiba-tiba melepaskan topengnya dengan gaya dramatis. “Aku, Pangeran Hitam, tidak akan pernah memaafkan siapa pun yang menyentuh nona itu seujung jari pun!”
Para penonton bersorak dan tertawa pada perkenalan diri dadakan tersebut.
Kedua aktor itu pun mulai berduel, mendentangkan pedang kayu mereka dan kadang-kadang berseru, “Hiaat!”
Rietta dan Killian, yang datang untuk menonton pertunjukan jalanan sesuai dengan rekomendasi si pemilik toko buku, dibuat tak mampu berkata-kata pada perkembangan plotnya.
Dan ini adalah pertunjukan jalanan paling populer akhir-akhir ini? Killian menatap nanar pada papan penanda kayu di atas kepalanya yang bertuliskan, Sang Janda dan Pendekar Bertopeng.
Para pemeran tambahan yang tadinya tergeletak di lantai terperangah dan mundur.
“Oh, orang itu adalah-!”
“Dia adalah Pangeran Hitam Darah! Ahhh!”
Si penjahat, yang mati-matian berusaha melawan si tokoh utama, akhirnya melemparkan pedangnya ke udara. “Akh! Pangeran… Hitam…!” dia berseru sambil roboh. Dia tak melupakan kalimat terakhir dramatisnya.
Para penonton bersorak dan bertepuk tangan pada akting murahan yang tak ada juntrungannya. Toleransi mereka atas adegan-adegan memualkan benar-benar mengesankan.
Si tokoh utama menyugar rambut hitamnya dengan jemari. “Ha! Sungguh meremehkan.”
Para penonton meledak tertawa pada gestur berlebihan itu. Bahkan kali ini Killian juga ikut tertawa.
Disoraki oleh para penonton, si aktor berbalik dengan gaya dramatis dan menghampiri tiang tempat si aktris diikat.
“Apa kau adalah… Pangeran Hitam Darah?” si aktris mengucapkan kalimat sentimentalnya.
“Ki-kita harus pergi,” Rietta berkata. Wajahnya sudah memucat.
“Kenapa? Ini seru kok.” Killian menatap Rietta seraya tersenyum, tubuhnya masih menghadap ke arah panggung.
Rietta merasa dirinya bisa jatuh pingsan. Dengan sia-sia dia berusaha mengabaikan kalimat-kalimat selanjutnya yang masuk ke telinganya dan membuatnya merinding.
“Astaga!” si aktris berseru. “Tak bisa saya percaya kalau itu ternyata adalah Anda! Pria yang tak kunjung saya lupakan sejak pertemuan malam itu ternyata adalah Pangeran Hitam Darah!”
Demi dewa. Setiap barisnya benar-benar kelewat lebay.
Si aktor yang memerankan Pangeran Hitam menghampiri si aktris untuk membebaskannya. Tak ada seorang pun yang keberatan ketika talinya jatuh sendiri.
“Kau tak apa-apa?” si aktor bertanya pada si aktris.
“Pangeran Hitamku..!”
Rietta sudah tak tahan lagi. Dia sudah nyaris menangis ketika menundukkan kepala dan mencengkeram tangan Killian. “Kita harus pergi, Tuan. Saya mohon.”
Killian tetap berdiri diam, dengan susah payah menahan dorongan untuk terbahak. “Lebih baik kita tunggu beberapa menit lagi,” dia berkata. “Kurasa pertunjukannya sudah hampir selesai.”
“Maafkan aku karena tidak memberitahumu lebih cepat!” sang pendekar bertopeng berseru penuh perasaan ketika dia berlutut dengan satu kaki di hadapan sang aktris. “Tapi aku, Pangeran Hitam, tidak bermaksud untuk berbohong padamu! Tolong maafkan aku. Dan ikutlah denganku!”
“Oh, Pangeran Hitamku!” si aktris membantunya bangkit.
Kedua aktor itu saling berhadapan dan bertukar tatapan penuh perasaan.
Apa mereka akan? Apa mereka akan? Tidak….
Penonton bersiul, bersorak, dan berseru penuh harap.
Wajah Rietta memutih. Dia mencengkeram lengan Killian dengan kedua tangan dan menarik sekuat tenaga.
Akhirnya Killian menyerah persis sebelum kedua aktor itu mulai berciuman dengan penuh perasaan. Dia meninggalkan tenda tersebut sambil tertawa-tawa.
Rietta, kelelahan setelah serangkaian reaksi berubah rona, mendudukkan diri ke tanah di luar tenda.
Killian terkekeh ketika dia berdiri di depan Rietta. “Bukankah itu cerita kita?”
Rietta menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Cerita kita dari mananya?! Tak mungkin!”
“Mereka memang terlalu berlebihan dengan adaptasinya, sih.”
“Adaptasi? Itu sepenuhnya karangan! Sangat berbeda dengan kenyataan, kan!”
Killian tertawa. “Yah, aku menyukainya. Kecuali bagian judulnya.”
Rietta sudah dibuat terlalu ngeri oleh pertunjukannya sendiri sehingga tidak memerhatikan judul yang tertulis pada papan penandanya. “Apa judulnya?” dia bertanya.
“Tidak parah-parah amat. Kau tak perlu tahu, judulnya tidak sopan,” Killian menjawab, kemudian membantu Rietta berdiri karena kakinya sudah menyerah. “Kau mau minum?”
Rietta mengangguk linglung.
Killian membawa Rietta melewati kerumunan seraya menggandeng tangannya. Mereka kabur diam-diam dari gerombolan penonton yang bersorak-sorak saat klimaks.
Barulah pada saat itu, Rietta menemukan sebuah papan penanda yang patah, tampaknya rusak ketika pertunjukan berlangsung. Pada papan itu tertulis judul pertunjukan yang belum Killian beritahukan kepadanya: San Janda dan Pangeran Hitam.
Rietta melihat ke depan untuk menatap Killian dari belakang.
Pria itu telah mendeskripsikan judulnya sebagai ‘tidak sopan’. Sementara bukan kata ‘Pangeran Hitam’ yang Killian anggap tidak nyaman, barulah pada saat itu Rietta menyadari bahwa deskripsinya sungguh berisiko. Dia pun mulai memerhatikan suasana hati Killian.
Kalau diperhatikan, pemilihan katanya juga cukup provokatif. Dia adalah Pangeran Hitam ‘Darah’ pula. Nama ini jelas mengacu pada Killian, dan pria itu punya hak sepenuhnya untuk merasa tersinggung. Dia tak apa-apa? Rietta bertanya-tanya.
Rietta hanya menatap Killian berjalan pergi karena dia tak yakin seberapa menyinggungnya gelar ‘Pangeran Hitam Darah’ bagi mantan putra mahkota itu.
Akan tetapi, Killian hanya menertawakannya seakan merasa geli pada pertunjukan tersebut.
****
Killian membawa Rietta ke sebuah rumah minum besar di mana mereka bisa bersantap. Mereka pun duduk di situ sekitar waktu makan malam setelah matahari terbenam.
Lilin-lilin menerangi restoran luas tersebut karena hari sudah mulai gelap. Meja-meja dibariskan pada dinding dan kelompok pemusik kecil yang lumayan sedang tampil di tengah-tengah aula makan. Orang-orang saling mengobrol satu sama lain sambil menikmati makanan dan minuman mereka. Musik dari kelompok pemusik itu membaur sempurna ke tengah-tengah suara obrolan para tamu, yang menambahkan suasana ramai.
Masing-masing makanan begitu unik dan lezat. Makanan-makanan itu mengandung bumbu-bumbu eksotis yang menawarkan profil rasa berbeda dari makanan yang disajikan oleh kepala koki di Kastel Axias.
Sudah cukup lama Rietta tidak merasakan acara bersantap seramai ini karena dia biasanya makan dalam kesunyian hanya bersama dengan Killian, tanpa adanya para kesatria yang cerewet.
Tamu-tamu di situ terdiri dari orang-orang yang kelihatannya adalah para prajurit bayaran, perajin, atau petani yang telah menyelesaikan pekerjaan mereka pada hari itu, tamu-tamu langganan di bar yang sudah agak mabuk, serta pasangan-pasangan yang saling berbisik ke telinga satu sama lain, bicara dan tertawa seraya menikmati suasana malam ini.
Rietta sepenuhnya tenggelam dalam kegiatan menonton orang-orang. Rumah minum itu penuh dengan segala jenis orang dan pengalaman bersantapnya tidak seperti kegiatan makan yang pernah dia lakukan bersama dengan para kesatria yang berjiwa bebas.
Dia bertanya-tanya bagaimana Killian bisa menemukan tempat seperti ini. Mungkin Beliau tahu segala hal tentang wilayahnya?
“Apa Anda… sering datang kemari dalam penyamaran? Bersama dengan kesatria-kesatria Anda?” Rietta bertanya pada Killian.
“Kadang-kadang. Sesekali aku juga datang kemari sendirian,” Killian menjawab sambil mengamati menu. “Kau mau minum bir?”
Pertanyaannya sebenarnya tidak lucu, tapi Rietta tertawa dengan mata melengkung membentuk senyuman. “Saya kira Anda hanya minum anggur atau miras yang kadar alkoholnya tinggi saja,” dia berkomentar.
Killian tersenyum. “Ucapanmu membuatku sedih.”
Killian menunjukkan menu pada Rietta, memperkenalkan rumah minum itu sebagai tempat pembuatan bir yang terkenal. Rietta dikejutkan oleh pilihan jenis bir terbanyak yang pernah dilihatnya. Dia tak tahu kalau di dunia ini ada begitu banyak jenis bir.
Killian menanyakan apa yang Rietta suka dan merekomendasikan minuman yang mungkin akan Rietta sukai.
“Tempat ini punya bir terbaik di Axias,” Killian berkata.
“Ada tahu banyak tentang minuman keras?”
“Mungkin lebih banyak daripada kamu.”
Rietta kembali terbahak ketika Killian menyatakan hal yang sudah jelas.
Rietta jarang tersenyum ketika mereka pertama kali bertemu. Killian merasa kalau wanita ini dulunya adalah orang yang banyak tertawa dan tersenyum.
Killian menyanggakan satu tangan di atas meja ketika dia mengamati para penampil kembali ke tempat mereka setelah beristirahat sebentar. Mereka membalikkan kertas musik pada penyangga partitur dan menyesuaikan alat musik mereka.
Cahaya redup lilin berkedip-kedip di aula makan.
Mata merah Killian beralih pada Rietta.
“Bagaimana tingkat toleransi Anda pada alkohol, Tuan?” Rietta bertanya pada Killian.
Mata Killian melengkung membentuk senyuman mendengar pertanyaan lancang Rietta.
Tetapi pernyataannya yang berikutnya membuat Rietta melupakan apa yang tadi dia tanyakan: “Mau menari?”
“Apa?”
Suling dan biola membuka musik dengan harmoni. Segera para pemusik pun mulai memainkan lagu tarian yang lincah dan cepat.
Orang-orang pun bersorak ketika mereka berlari menuju lantai dansa.
Killian tak menunggu jawaban Rietta. Dia berdiri dan mengulurkan tangannya.
Merona, Rietta menggelengkan kepala dan menolak. “Saya, uh…. Kaki saya sakit….”
Dia sudah mengganti gaunnya tapi tidak dapat kesempatan untuk mengenakan sepatu yang berbeda. Rietta tidak berbohong ketika dia bilang kakinya sakit karena berjalan selama berjam-jam dengan mengenakan sepatu kaca.
Killian berlutut dengan satu kaki di hadapan Rietta, yang mengejutkan wanita itu.
Dia melepaskan sepatu dari kaki Rietta. Kemudian dia melepaskan sepatunya sendiri dan mendorongnya ke bawah meja sebelum berdiri.
“Ap-apa yang Anda lakukan?” Rietta bertanya.
Killian mengulas senyum – bukan seringai dingin dengan satu sudut bibirnya melengkung naik, melainkan senum polos seorang pemuda yang berjiwa bebas.
Dia kembali mengulurkan tangannya.
“.…”
Siapa yang akan menolak tangan yang datang bersama dengan senyum seperti itu? Rietta pun tak bisa untuk tidak menggenggam tangannya.
Killian menarik Rietta berdiri begitu tangan mereka bertemu.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, pasangan yang bertelanjang kaki itu pun melompat ke tengah-tengah kerumunan penari.