Like Wind on A Dry Branch - Chapter 116
“Kenapa pakaian santai….” Kata-kata Rietta melirih.
Killian mengangkat bahu. “Kau tak suka? Apa kau mengharapkan kencan yang lebih berkelas?”
Rietta menggelengkan kepalanya dan tersenyum. “Tidak.”
Killian juga berpikir demikian. Dia mengangkat tangannya untuk menghentikan kereta di jalan seakan sudah familier dengan rutinitas itu.
Ketika kereta itu berhenti, Killian membukakan pintu dan memberi isyarat pada Rietta. “Silakan, Nona,” dia berkata. Dia membantu Rietta naik sebelum dirinya juga melompat naik dan menutup pintunya.
Semua yang telah mereka lakukan hanyalah berganti dengan pakaian biasa, tetapi entah kenapa Rietta jadi semakin bersemangat. Meski dia tak memahaminya, dia menyadari bahwa dirinya mungkin akan terhalang oleh pakaian yang tidak sesuai baginya.
“Apa Anda sering keluar dengan pakaian biasa?” Rietta bertanya pada Killian.
“Oh.” Killian tersenyum. “Ada banyak orang yang mengenaliku di sini, jadi aku berpakaian sebagai rakyat jelata saat aku tak mau menarik perhatian.”
Barulah pada saat itu Rietta menyadari bahwa dengan suatu cara, Killian sedang menyamar. Akan tetapi, bagi Rietta pria itu hanyalah sang Duke Agung Axias dengan pakaian rakyat jelata. Kukira dia berpakaian jelata untuk bersenang-senang.
“Apa orang-orang sungguh tidak mengenali Anda, Tuan?” dia bertanya was-was.
“Kenal, di dalam dinding kastel,” Killian menjawab, “tapi hanya sedikit orang di luar dinding yang pernah melihatku dari jarak dekat. Aku toh tidak membawa-bawa kesatriaku ke mana-mana, dan orang-orang jarang mengenaliku saat aku tidak menunggangi Leah. Apa kau mau mencobanya?”
Mata Rietta melebar kaget. “Kita akan meninggalkan dinding kastel?”
“Kalau kau ingin bepergian dengan bebas, iya. Tidakkah kau merasa sumpek karena terus-terusan tinggal di dalam dinding kastel?”
Rietta bertanya-tanya, Apa yang membuat dia berpikir kalau kadang-kadang aku merasa terperangkap? Apa kelihatan jelas?
Killian mengangkat bahu, menyadari raut di wajah Rietta. “Aku merasa sumpek.”
Rietta mendongak menatap Killian seraya mengerjap.
Killian mengetuk dinding kereta dan meminta kusir agar membawa mereka keluar dari dinding kastel.
Rietta selalu berpikir kalau kastel merupakan perluasan dari sang duke agung sendiri, dan bahwa dia merasa terkekang di dalam kastel hanya karena tempat itu tidak sesuai baginya. Killian tampak nyaman dari sikapnya duduk di dalam kereta, bersantai seraya tersenyumm, bahkan ketika kursinya tampak terlalu kecil bagi pria itu.
****
Pasangan tersebut tiba di sebuah jalan di luar dinding yang terkenal karena memiliki banyak pandai besi.
“Jalan pandai besi….” Killian berkata dengan wajah datar. “Apa menurutmu ini pantas disebut kencan?”
“Ta-tapi,” Rietta memprotes takut-takut, “Anda bilang kita akan lakukan apa pun yang ingin saya lakukan dan pergi ke mana pun saya ingin pergi.”
Axias dikenal dengan kerajinannya, jadi jalan pandai besi merupakan pemandangan menarik bagi mereka yang berasal dari kediaman-kediaman lain. Akan tetapi, bagi penghuni yang sudah lama tinggal di area itu, ini hanyalah jalan pandai besi biasa.
Killian menghela napas dan melambaikan tangannya seakan hendak memberitahu Rietta agar melakukan apa pun yang dia mau.
Rietta bertanya pada orang-orang di jalan di mana dia bisa menemukan produk-produk untuk para pendeta atau pemberi berkat, kemudian berjalan ke arah yang ditunjuk oleh para pandai besi dan pedagang.
Para pedagang dan pandai besi hanya melirik sekilas pada pasangan yang rupawan dengan tidak biasanya itu seakan mereka benar-benar tak tahu siapa si pria. Demikian halnya dengan para pelanggan yang sedang menelusuri jalanan.
“Orang-orang benar-benar tidak mengenali Anda,” Rietta berkomentar.
“Kan sudah kubilang,” Killian menjawab.
“Saya kira semua orang bisa dengan mudah mengetahuinya dari tinggi dan bentuk tubuh Anda.”
“Kau bisa dengan mudah menemukan prajurit bayaran yang tingginya hampir sama denganku, walaupun kau takkan dapat kesempatan untuk berpapasan dengan mereka karena kau hanya pernah melihat orang-orang yang bisa masuk sampai ke kastel utama.” Killian memiringkan kepalanya seraya tersenyum. “Lebih besar kemungkinan kalau akan ada lebih banyak orang yang mengenalimu. Apa kau belum pernah berkeliling ke luar dinding kastel untuk memberi berkat?”
“Oh… pernah. Tetapi saya belum pernah kemari karena tidak ada permintaan dari sini.”
“Kau belum pernah kemari sebelumnya?”
“Belum. Rumah yang Anda berikan kepada saya sudah berperabot lengkap, dan saya tak pernah butuh mencari senjata, jadi….” Rietta tersenyum malu-malu.
Killian tersenyum dengan mata memicing, “Kau kemari untuk membeli senjata?”
Dengan kikuk Rietta meraba bagian belakang lehernya. “….” Dia tak menjawab namun jawabannya sudah jelas.
“Anda… marah?” Rietta bertanya seraya mencari tahu suasana hati Killian.
Killian mendesah pelan. Dia tidak akan marah karena urusan semacam itu.
“Aku tak berniat memberimu pekerjaan yang membutuhkan penggunaan senjata,” dia berkata seraya menyesuaikan posturnya. “Kalau kau menginginkan senjata suci, kurasa ini juga akan jadi pengalaman seru. Kau bisa mengandalkanku untuk memilihkan senjata-senjata yang bagus.”
Killian memimpin jalan. Dia membawa Rietta ke sebuah toko yang khusus menjual kerajinan dan senjata sihir yang mewah. Ini adalah toko persediaan untuk pengelana yang terletak di antara jalan pandai besi dan jalan perajin.
Seleksi-seleksinya mengesankan – koleksi tongkat dan aksesorisnya saja, dibuat khusus untuk para pemberi berkat, membuat pandai besi barang mewah di dalam dinding kastel tampak seperti mainan.
Killian menghampiri penjaga toko terdekat dan langsung minta diperlihatkan senjata suci terbaik yang ada.
Dikejutkan oleh sikapnya, dengan hati-hati Rietta mengamati antara si penjaga toko dan Killian. Dia merasa cemas ketika menyadari bahwa tak satu pun dari penjaga toko di situ yang tahu siapa diri Killian.
Killian tampak sebagai orang yang arogan dan pongah. Akan benar-benar bisa dipahami jika si penjaga toko menegur perilaku si pemuda atau dengan kasar bertanya apakah dia bahkan punya uang.
Akan tetapi, si penjaga toko tampak tak peduli pada sikap sombongnya. Orang itu hanya berdiri dengan kecepatan yang tidak terlalu cemat maupun terlalu lambat.
“Apakah untukmu, anak muda? Atau untuk nona itu?” si penjaga toko bertanya.
“Untuk nona itu,” Killian menjawab.
Si penjaga toko berbalik, mengucapkan sesuatu kepada para asisten dan pandai besinya, kemudian mengeluarkan kotak pajang. Dia menjajarkan beberapa kotak di hadapan pasangan tersebut dan menunjukkan tongkat-tongkat yang ada di dalam masing-masing kotak itu. “Silakan memilih mana pun yang menarik minat Anda,” dia menambahkan.
Mata Rietta berkilauan pada izin untuk menyentuh barang-barang yang sedang diamatinya.
Sejumlah senjata mewah pun menampakkan diri mereka, termasuk sebatan tongkat perak bertatahkan hiasan batu-batu permata biru dalam jarak yang sama, sebatang tongkat kayu hitam dengan batu permata merah berukuran hampir sebesar kepalan tangannya dan ukiran tulisan kuno yang indah, sebatang tongkat mewah berukirkan sosok seorang dewi yang sedang berdoa dengan sayap terbentang, tongkat pengusir iblis yang terbuat dari kayu hangus, seakan tersambar petir, dan dihias dengan ukiran perak berbentuk bulu, serta lebih banyak lagi.
“Inilah yang kami punya. Anda bisa membawa yang ini, yang ini, dan yang ini bersama Anda hari ini juga,” si penjaga toko berkata seraya menunjuk beberapa tongkat. “Sisanya akan butuh waktu karena entah sudah dipesan atau masih membutuhkan proses sihir. Kalau Anda menginginkan desain lainnya, Anda bisa membuat pesanan khusus.”
Hanya di jalan perajin di Axias, rumah bagi karya kerajinan yang tak tertandingilah, toko-toko itu bisa membuat produk-produk jadi sebelum menjualnya bahkan meski mereka tidak menjadi bagian dari serikat pengelana.
Para perajin Axias jarang mencemaskan soal barang-barang yang sudah jadi tidak terjual. Alhasil, jalan perajin terus-terusan menghasilkan barang-barang berkualitas tinggi yang dibuat dengan upaya keras dan tanpa memedulikan soal biaya produksi. Hal ini menghasilkan siklus menguntungkan yang menarik lebih banyak orang yang menginginkan barang-barang berkualitas secara cepat. Meski saluran-saluran perdagangannya terbatas akibat wabah akhir-akhir ini, permintaan atas barang-barang Axias tetap stabil.
“Yang ini, dan yang ini. Keluarkan yang ini.” Killian meminta untuk menyingkirkan beberapa tongkat tanpa menjelaskan sebabnya.
Mata si penjaga toko berbinar ketika dia mengeluarkan senjata-senjata yang tereliminasi dari kotak pajang tanpa bersuara.
Rietta mengamati senjata-senjata suci yang tersisa. Matanya bertahan lebih lama pada salah satu di antaranya.
“Anda punya mata yang bagus juga untuk tongkat, Nona,” si penjaga toko berkata ketika dia menyadari tatapan Rietta. “Ada banyak orang yang menginginkan tongkat itu. Ini adalah tongkat biarawan yang sudah dipesan hingga tiga kali. Tetapi karena tongkat ini berisi mata seekor onyx, hewan magis, kita tak pernah tahu kapan bahannya akan tiba. Mungkin akan butuh waktu.”
“Apa Anda keberatan kalau saya mencobanya?” Rietta bertanya.
“Tentu saja tidak.” Si penjaga toko menyerahkan tongkat itu pada Rietta.
Rietta mengenggamnya dan mengerakkan kekuatan suci.
Whir
Ketika kekuatan sucinya mulai mengalir, batu permata pada tongkat itu memancarkan cahaya putih yang misterius. Si penjaga toko dan orang-orang lain yang ada di dalam toko berseru takjub.
“Wah…. Apakah Anda adalah pendeta istana?” Tatapan si penjaga toko berubah jadi lebih ramah dan sikapnya jadi lebih antusias. “Selamat datang. Akhir-akhir ini ada banyak pendeta yang mengunjungi kami. Anda mungkin sudah dengar bahwa kami menawarkan potongan harga yang bagus kepada para pendeta yang datang kemari untuk memberikan pelayanan.”
Meski si penjaga toko sangat merekomendasikan tongkat itu, menyebutkan bahwa pelanggan sebelumnya benar-benar sangat menyukainya, Rietta tampak tidak yakin meski dia setuju dengan kata-katanya.
Menyadari raut di wajah Rietta, Killian berkomentar, “Kurasa dia tak menyukainya.”
Walaupun suaranya tidak terlalu keras, Rietta merona. Dengan gugup dia menutupi mulutnya dan berbisik, “Bukan itu yang saya maksudkan.”
Si penjaga toko tak keberatan. Dia hanya tersenyum dan berkata, “Pelanggan dengan selera bagus punya hak untuk membuat pilihan mereka sendiri. Silakan Anda melihat-lihat lebih banyak lagi.”
Merasa malu, Rietta mengembalikan benda itu kepada si penjaga toko. “Terima kasih.”
Keahlian kerajinan Lana pasti benar-benar luar biasa. Bahkan tongkat terbaik di jalan perajin di Axias tidak terasa sebagai senjata suci yang sesempurna hadiah payungnya.
****
Giliran Killian yang memilih tujuan berikutnya – sebuah jalan restoran di pasar di luar dinding kastel. Jalanan itu penuh dengan kios-kios jajanan di kedua sisi.
Walaupun pasar Sevitas juga punya jajanan jalanan, Rietta belum pernah melihat cukup banyak kios yang sampai memenuhi kedua sisi jalan yang lebar.
“Apa Anda juga pernah kemari?” Rietta bertanya pada Killian, terkejut.
“Aku ragu kalau pasarnya seistimewa itu,” dia menjawab seraya terkekeh pelan.
Mereka gembira bisa melihat pasarnya begitu ramai walaupun belum lama ini telah terjadi wabah.
“Tuan sering pergi ke pasar?”
“Mungkin?”
Setiap sudut jalan beraroma seperti makanan yang luar biasa lezat, membuat orang-orang lewat berhenti. Rietta telah mencicipi setiap jenis makanan mewah di kastel Axias tetapi jajanan jalanan seperti ini menawarkan pengalaman kuliner yang berbeda.
Rietta melihat pada kedua sisi jalan, bersemangat untuk langsung mencobanya. Persis pada saat itulah, dia mendongak menatap Killian seakan ingin melihat suasana hatinya. “Apa Anda juga makan jajanan jalanan?”
Killian tersenyum dengan alis berkerut. Dia anggap aku ini apa? “Jangan perlakukan aku seperti pangeran yang pilih-pilih makanan,” dia menukas.
Rietta menutupi mulutnya dan terkikik. “Saya sudah tinggal di Axias selama berbulan-bulan tapi tidak tahu kalau ternyata ada pasar sebesar ini di luar dinding kastel.” Yang mana bisa dipahami karena dirinya tinggal di dalam dinding.
“Kurasa kau tidak sering meninggalkan dinding?”
“Tidak. Saya pernah keluar untuk bekerja tapi bukan untuk bersantai, jadi….” Kata-kata Rietta melirih. Matanya terpancang pada kios sate.
Pasangan itu pun berhenti di depan sebuah kios jajanan yang menjual sate daging sapi dengan sayuran seperti daun bawang, paprika, dan bawang bombai di sela-sela potongan dagingnya. Dagingnya sendiri, dilumuri saus pedas, menguarkan aroma lezat ketika mendesis di atas panggangan. Si pedagang membalikkan sate-satenya dan mengoleskan saus merah pada sisi yang lain. Daging yang matang dengan ujung-ujung agak hangus itu mengeluarkan aroma sedap.
Rietta tampak iri, kalau tidak dianggap syok, ketika dia memancangkan matanya pada sate-sate itu. Bahkan bisa terlihat kalau dia sedang menelan ludah.
“Kau belum pernah lihat sate?” Killian bertanya.
Rietta menjawab termangu, “Saya pernah lihat kebab ayam, tapi tidak ada paprikanya. Bagaimana bisa….” Dia mendongak menatap Killian, nyaris tampak sedih. “Bagaimana bisa tidak ada ini di Sevitas?”
Mana kutahu? Killian balas menatapnya.
Persis pada saat itulah si pedagang memberi isyarat ramah kepada mereka. “Kemari dan cobalah!”
Rietta menghampiri kios itu seakan telah kerasukan sesuatu.
Satenya, berlumuran saus merah dan sedikit minyak, tampak berkilau dengan indahnya.
“Saya tahu kalau ini adalah tanda terima kasih yang terlalu sederhana, tapi ini saya yang traktir!” Rietta menawarkan untuk membayar sate-satenya.
Killian menyeringai seakan telah mendengar sesuatu yang lancang. “Seorang gadis yang setuju untuk pergi berkencan tak seharusnya membayar.”
“Saya yang akan membayar untuk ini karena saya yang mau,” Rietta berkata sebelum Killian bisa menolak. “Juga, saya tak bisa makan sebanyak yang saya mau kalau Anda yang bayar.”
Killian mendapati bahwa kata-kata ini lebih lancang lagi. “Tidak menjadi masalah sebanyak apa pun yang kau makan. Aku yang membayarnya.”
“Tolong biarkan saya melakukan ini.” Rietta buru-buru membayar si pedagang. Dia mengambil satu tusuk pada masing-masing tangan dan tersenyum pada Killian, kemudian menyerahkan satu kepadanya.
Ketika Rietta mengalihkan pandangan dari makanan ke arahnya, Killian mau tak mau melepas kernyitannya. Raut girang dan penuh semangat di wajah Rietta terlalu cantik baginya untuk tidak melakukannya.
Killian mengambil sate itu dengan raut wajah ambigu. Dia ingin menyantap makanan yang lebih enak bersama Rietta tapi akhirnya menyerah karena mendapati bahwa tak ada apa pun yang akan membuat Rietta lebih gembira daripada ini.
Rietta tidak berbohong – dia melahap empat tusuk sate dalam sekali duduk.
Killian memberinya raut kaget. Apa dia kelaparan?
“Nona kelihatannya benar-benar menyukai ini, ya,” si pedagang berkomentar, juga merasa takjub. “Apa menurut Anda, Anda sanggup makan satu lagi?” Dia menawarkan sate kelima dengan cuma-cuma.
“Terima kasih!” Dengan malu-malu tapi gembira Rietta mengambil porsi tambahan itu.
Rietta benar-benar berada di alamnya. Meski Killian sudah menyadari bahwa Rietta menikmati makanan, dia tak tahu kalau Rietta ternyata sangat suka makan enak. Cara Rietta merona dan meniup-niup untuk mengurangi rasa pedas bahkan memancing selera makannya sendiri.
Orang-orang berbaris di depan kios itu setelah melihat Rietta makan.
“Apa terlalu pedas?” Killian bertanya kepadanya.
“Pedasnya pas,” Rietta menjawab.
Rietta benar-benar sedang bersenang-senang. Dia menandaskan sate terakhirnya sambil mengipasi bibirnya yang memerah dengan tangan. Cara Rietta menghembus tajam dan menjilati saus di sekitar bibirnya dengan lidah tampak berbahaya.
“.…”
Killian menatap bibir Rietta dan makanan yang menghilang ke dalam mulutnya, kemudian menggigit lagi satenya sendiri.
“Anda pasti juga menyukai satenya, Tuan. Saya tak pernah melihat Anda makan sebanyak itu,” Rietta berkata.
Bicara tentang dirimu sendiri ya. Killian menyeringai.
“Apa makanan kastel tidak sesuai dengan seleramu, Rietta?”
“Oh, sesuai, kok,” Rietta melambaikan tangannya untuk memprotes. “Hasil karya kepala koki benar-benar sempurna dan luar biasa. Hanya saja saya amat sangat menyukai sate.”
Killian terkekeh dan berkata, “Aku harus memberitahukan ini kepada kepala koki.”
Persis pada saat itulah, mereka mendengar suara derak keras dari atas mereka, diikuti oleh pekikan pendek.
Refleks Rietta mendongak. Sementara itu, dengan tenang Killian berjalan cepat beberapa langkah, mengangkat kedua lengannya, dan menangkap sesuatu yang terjatuh dari atas.
“Hik!”
Ternyata yang jatuh adalah seorang anak laki-laki kecil. Dikejutkan oleh jatuhnya, anak itu pun mulai cegukan di dalam pelukan Killian.
Ternyata penutup atau langkan pada jendelanya telah menggelantung menakutkan.
“Lyle!” Ibu si bocah memekikkan namanya dan mengeluarkan kepala dari jendela. Segera wanita itu menghilang dan berlari keluar dari bangunan, tak sadar kalau sebelah sepatunya sudah hilang ketika berlari menuruni tangga. Wajahnya pucat pasi.
Killian memegangi anak itu hingga si ibu tiba, kemudian menyerahkan bocah itu kepadanya.
Si ibu memeluk anaknya dan berteriak, “Kenapa kau naik-naik ke situ, Lyle?! Yang lebih buruk bisa saja terjadi!” Dia bahkan lupa untuk mengucapkan terima kasih pada Killian.
“Huaaa!” si anak baru melolong setela kembali ke pelukan ibunya.
Barulah kemudian Rietta juga menghela napas lega dan tersenyum.
Si ibu terus-terusan mengucapkan terima kasih kepada Killian. “Terima kasih, Tuan. Terima kasih banyak.” Dia memeluk putranya erat-erat dengan mata berkaca-kaca.
Rietta memungut sepatu si ibu yang telah dihilangkannya tanpa disadari.
Killian menolak tawaran berulang kali dari si ibu untuk memberikan kompensasi sebagai tanda terima kasih. Alih-alih dia malah memberi uang pada wanita itu, menyuruhnya membelikan makanan enak untuk anak yang ketakutan tersebut, lalu menyuruh mereka pergi.
Suara ibu yang sedang menghibur anak yang ketakutan dalam pelukannya serta suara rengekan si anak menghilang di tengah kerumunan.
“.…”
Langkah Killian berhenti kemudian berbalik untuk menghadap Rietta.
Sorot mata Rietta terpancang pada ibu dan anak itu lama setelah mereka pergi.
“Usianya pasti sekitar empat tahun,” Rietta berkata, tersenyum. “Usia saat anak-anak mulai membuat masalah.”
Matanya, emosi-emosi yang tertahan, terpancang ke arah menghilangnya keluarga itu.
“Kuharap dia tak membuat masalah yang terlalu besar.” Rietta memalingkan pandangannya dan tersenyum pada Killian. Dia pun berbalik dan mulai berjalan bahkan ketika Killian tidak mendesaknya.