Legend of Concubine’s Daughter Minglan - Chapter 24
Pagi berikutnya Minglan tak bisa mengajari Changdong karena Rulan dan Molan telah bangun pagi-pagi sekali dan diam-diam memasuki area belajar. Minglan merasa kalau situasinya tidak tepat, jadi diam-diam dia mengedip pada Danju. Danju mengerti dan pergi untuk memberitahu Changdong, yang sedang menunggu, bahwa tak ada pelajaran hari ini.
Molan datang duluan, bertingkah mencurigakan hampir setengah harian. Setelah memuji segala benda yang ada di ruang belajar Minglan, dia akhirnya menyatakan tujuan aslinya – ingin bertukar bangku dengan Minglan. Minglan pura-pura bodoh dan bertanya, “Huh? Bukankah Kakak Keempat duduk di samping dinding kiri? Kau bilang karena tempat itu berbayang maka sempurna untukmu, yang tubuhnya terlalu lemah untuk sering terkena sinar matahari. Hal itu akan membuatmu pusing.”
Pada kenyataannya, memang sinar matahari membuatnya pusing. Belakangan Nyonya Besar Sheng berusaha mencarikan selembar kain dari katun putih untuk menutupi jendela sekolah demi dia.
Molan merona dan mengerang namun tetap diam tentang niatannya, saat Rulan datang. Dia lebih terus terang dan langsung meminta bangku itu kepada Minglan, “Sisi tengah terlalu gelap, jauh lebih terang kalau di dekat jendela!”
Minglan merasa takjub, dengan sengaja menepukkan tangannya dan sambil tertawa-tawa berkata, “Kalau begitu bagus, Kakak Keempat dan Kakak Kelima tinggal tukar tempat saja! Kakak Kelima bisa berada di sisi terang ruangan, sementara Kakak Keempat bisa berada di bagian berbayang dan tak merasa pusing.”
Molan, merasa kesal, memasang ekspresi tak menyenangkan saat dia memelintir sapu tangannya tanpa berkata,kata. Rulan mulanya tak mengerti. Setelah menyadari bahwa Molan juga datang untuk bertukar tempat duduk, dia juga memasang ekspresi kaget dan tidak senang. Mereka saling berpandangan seolah hendak mengkonfrontir satu sama lain. Minglan, dengan polos, menatap mereka dan berkata, “Aku tak keberatan dengan posisi dudukku, tapi… kakak mana yang harus kuberi tempat dudukku?” Minglan tak tahu kenapa namun dia sangat gembira jauh di dalam hatinya.
Molan dan Rulan telah bermuslihat dan memperhitungkan di dalam benak mereka selama setengah hari sebelum mendatangi Minglan. Tetapi melihat anak kecil ini sekarang, mereka merasa kalau posisi mereka lebih lemah daripada yang sebelumnya mereka kita. Bila saja mereka memiliki alasan yang lebih baik, mungkin ancaman yang lebih lemah, maka mereka bisa memakainya untuk berutkar tempat duduk, namun sekarang tak ada gunanya. Kesipulan finalnya adalah – tak seorang pun yang bertukar tempat duduk.
Seiring berlalunya waktu, penampilan para gadis itu mulai berubah. Molan secara bertahap tumbuh semakin tinggi, semakin anggun, dan sehalus dedalu. Dia hanya sedikit khawatir dan kebenciannya tipis. Rulan semakin dan semakin mirip dengan Wang-shi. Minglan juga bukan lagi anak-anak. Meski sedikit kalah cantik daripada Molan, dia juga peuh semangat masa muda, namun di dalam kelompok itu, hanya Minglan yang masih tampak seperti roti kukus putih gendut kecil. Minglan menyentuh hidungnya dan menyadari adanya isu genetik. Meski demikian, itu bukan masalah baginya.
Juga sejak hari ini, ketiga bersaudari itu mulai berpakaian secara berbeda daripada biasanya.
Di puncak kepala Molan, sudah terdapat sanggulan ganda yang diikat dengan sepasang manik lilin turquoise cora, dan menggantung di belakang telinganya adalah bunga magnolia segar. Gaunnya disulam dengan cabang-cabang panjang bunga-bunga hijau yang membentuk lingkaran, jelas menggambarkan musim gugur. Melingkari pinggangnya terdapat gelang kumala yang lembut, sehijau magnolia, yang menghasilkan bunyi berdesir ketika dia bergerak karena gelang itu melingkari sutera. Di sisi lain, Rulan memiliki sepasang sanggulan cincin dan menggantung dari rambutnya adalah tusuk rambut kupu-kupu warna-warni yang terbuat dari kaca. Rumbai manik cui long yang menggantung di lehernya berkilauan, cocok secara sempurna dengan rok sutra warna-warninya. Menggantung dari telinganya adalah benang sutra halus beserta mutiara-mutiara besar. Dia tampak cerdas dan jelita, sama sekali tidak kalah dari Molan.
Baik Molan dan Rulan berdandan secara elegan dan halus, namun tidak membosankan.
Minglan punya sedikit perbedaan. Pada pagi yang beruntung ini, Mama Cui yang bijak menyisir rambutnya dan mencepolnya membentuk dua sanggulan di masing-masing sisi kepalanya, lalu membungkusnya dengan sejumlah manik-manik koral – tampak sangat imut.
Qi Heng datang pagi-pagi sekali sambil membawa setumpuk buku. Mantelnya, seputih rembulan, mennutupi pakaian birunya yang biasa. Kerahnya memiliki pola seperti gelombang dan dihias dengan permata. Pada jaket sepinggangnya terdapat pola-pola hewan pembawa keberuntungan. Dengan dirinya yang berdiri tegak, seakan dia sedang memantulkan warna putih. Begitu melihatnya, mata Molan menjadi cerah. Perlahan masa lalu ditinggal di belakang, dengan suara selembut aliran sungai dia berkata, “Kakak Yuan, aku dapat ide semalan dan membuat puisi dua baris tentang cara menghentikan perang. Aku tak tahu apakah bagus atau tidak? Kakak Yuan yang baik, kalau bisa harap bimbinglah aku.”
Setelah bicara dengan cerdik, dia pun mengeluarkan sebuah catatan dari lengan bajunya, lalu menyerahkannya. Siapa yang tahu kalau Qi Heng tak mau mengambilnya dan malah berkata seraya tertawa, “Nona Muda Keempat memiliki dua orang kakak seumuranku dan dengan bakat setara denganku, kenapa tidak tanya kepada mereka?
Molan yang merasa malu dan cepat-cepat berkata, “Tuan Zhuang sering melebih-lebihkan kalau Kakak Yuan Ruo memiliki bakat tinggi, itulah sebabnya aku lebih memilih untuk bertanya kepadamu. Kenapa kau harus menegurku?” Lalu, dengan polosnya memanyunkan mulut mungilnya.
Qi Heng mengambil catatan itu dan membacanya dengan seksama sementara Molan bergerak lebih dekat ke sisinya dan berbisik pelan. Kemudian Changfeng mendekat, ikut bergabung dengan kerena dalam mendiskusikan cara-cara untuk memenangkan perang. Changbai mengabaikan mereka saat dia dengan santainya berdoa di samping.
Rulan berada di pinggir, wajah mungilnya tenang dan serius sementara punggungnya tegak. Semalam Mama Liu dan Wang-shi telah berkata bahwa untuk membuat seorang lelaki menghormati secara mendalam seorang nona dari keluarga terhormat seperti dirinya – sama sekali jangan bicara dengan pria itu terlebih dahulu. Seharusnya si prialah, Qi Heng, yang semestinya bicara kepadanya terlebih dahulu. Setelah itu si nona muda harus dengan cepat menunjukkan keangkuhan serta bakatnya. Melihat sikap Molan, Rulan tak tahan untuk menggertakkan giginya dengan marah dan duduk lebih tegak lagi agar tampak lebih angkuh.
Minglan menundukkan kepalanya dan komat-kamit tanpa suara seratus kali, ‘Isi adalah kosong’.
Tuan Zhuang disambut dengan seruangan penuh dengan mutiara-mutiara berkilau dan kumala cemerlang begitu memasuki kelas. Mengabaikan hal ini, dengan tenang dia memulai kelas. Qi Heng memiliki postur yang baik namun dia begitu tinggi sehingga Minglan tak bisa melihat apa-apa. Tak menyia-nyiakan dinding penghalang sebagus itu, MInglan dengan gembira beristirahat di belakangnya. Molan dan Rulan telah melewati bangkunya lagi dan lagi di pagi hari namun Minglan tak mengetahuinya. Dirinya lelah dan terkuras oleh semua masalah ini dan karenanya, dia pun benar-benar tertidur. Begitu bangun Minglan melihat sepasang mata cerah yang menatapnya seraya tersenyum.
“Apakah tidur Adik Keenam nyenyak?” Qi Heng bertanya riang saat menatap pada meja di mana sebuah wajah mungil yang merona dan sepasang tangan kecil montok bisa terlihat. “Tidak buruk, tidak buruk.” Setelah terbangun, Minglan melihat sekelilingnya. Kelas sudah selesai dan semua orang sedang merapikan buku-buku mereka dan memanggil para gadis pelayan mereka untuk merapikan kertas dan tinta.
Qi Heng berbalik, kemudian dua tangan yang ramping menyandar pada meja Minglan saat dia tersenyum dan berkata, “Tidur Adik Keenam sangat nyenyak, apa semalam kau begitu lelah?”
Mata Qi Heng jadi lebih ceria, sementara Minglan lanjut bermeditasi pada ‘Kosong adalah isi dan isi adalah kosong’.
Siang ini, seperti sebelumnya, Minglan tidak tidur siang. Saat ini ada seorang tamu terhormat, ibu utama Qi Heng – Pingning Junzhu*. Dia sedang mengunjungi Nyonya Besar Sheng dan Wang-shi di Aula Shou’an sambil menunggu untuk melihat anak-anak Keluarga Sheng.
(T/N: Junzhu adalah gelar kebangsawanan untuk seorang wanita, setingkat di bawah Putri / Gongzhu)
Pingning Junzhu memang hebat dan berkuasa, jelas diberkahi dengan segel tiga pilar dewa. Bahkan meski Minglan masih berada jauh, dia masih bisa melihat para pelayan pria dan wanita dari Aula Shou’an berdiri rapi dalam dua barisan untuk sang Junzhu. Di udara menggantung cabang-cabang rimbun pohon osmanthus yang beraoma manis. Mama Fang telah menunggu di pintu sehingga wanita itu bisa dengan cepat memberi tahu orang-orang di dalam. Melangkah ke dalam, semua orang di belakang Changbai menahan napas mereka dan tak bergerak. Berada di posisi lebih rendah dari Nyonya Besar Sheng adalah Wang-shi dan seorang wanita cantik yang duduk pada kursi kayu hitam dengan ukiran ‘delapan dewa menyeberangi laut’. Qi Heng memimpin upacara memberi salam kepada ketiga tetua itu lalu berdiri di samping si wanita cantik.
“Kalian berani untuk tidak segera mengaaturkan salam resmi dan berkowtow kepada Pingning Junzhu.”, Nyonya Besar berkata.
Keenam anak dari Keluarga Sheng pun berpaling pada wanita cantik itu dan langsung berkowtow, memberikan salam mereka, lalu pergi untuk berdiri di belakang Wang-shi.
Minglan menduduki tempatnya dan diam-diam mengamati sang Pingning Junzhu. Sang Junzhu adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang mengenakan mantel panjang kuning jahe, mengembang lebar, disulam dengan ranting-ranting dan peoni-peoni merah muda di seluruh permukaannya. Di bagian dalamnya terdapat pakaian seputih rembulan dengan kerah berdiri, dipadukan dengan rok hijau sewarna hutan yang sedikit berkerut. Di bawah rok itu, menyembul ujung runcing dari sebuah sepatu yang indah dengan mutiara-mutiara besar dijahitkan di sana. Sang Junzhu memiliki rambut indah, tebal dan mengembang halus. Wajahnya tampak lembut dan halus dengan sepasang alis berbentuk ramping. Secara keseluruhan dia adalah seorang wanita yang cantik memesona. Saat dilihat lebih dekat, fitur wajahnya diwarisi oleh Qi Heng dan Minglan berpikir dalam hatinya – tak heran anak itu kelihatan begitu tampan.
Pingning Junzhu maju untuk menghampiri masing-masing anak saat upacara memberi salam mereka dan memberi mereka hadiah. Changbai dan Changfeng masing-masing diberi sepotong kumala – apakah kualitasnya bagus atau jelek, Minglan tak melihatnya, sementara hadiah Changdong adalah sebuah boneka emas. Di sisi lain, ketiga anak perempuan diberi seuntai mutiara yang bagus dari selatan, mutiara sebulat bola, memukau halus dan bundarnya, nilainya pasti mahal. Nyonya Besar Sheng berkata pelan, “Junzhu terlalu sopan, berapa banyak yang dihabiskan hanay untuk ini; kami merasa malu.”
Pingning Junzhu tersenyum dan berkata, “Membuat gadis-gadis kecil gembira akan menjadi kesenanganku, sayangnya yang satu ini tak memiliki keberuntungan sebagus itu. Aku hanya memiliki Heng’er tetapi dia adalah anak yang nakal. Hari ini siapa yang memberi hadiah dan bagaimana; terlebih lagi… aih, kami telah menyalahi mereka….”
Minglan mendengarkan dan ketakutan, apa yang terjadi?
Wang-shi tersenyum dan berpaling pada ketiga gadis itu, “Tuan Zhuang telah bicara kepada ayah kalian. Kalian tak perlu bersekolah lagi dengan saudara-saudara kalian, dan sebagai gantinya berkonsentrasilah pada mempelajari cara mengurus rumah tangga serta seni-seni kewanitaan….”
Kekecewaan Molan tampak di matanya sementara jantungnya mencelos. Segera dia menoleh untuk melihat apakah rulan tak keberatan dengan keputusan ini karena dia tahu kalau Rulan juga memikirkan hal yang sama dengan dirinya. Selain di dalam kelas, biasanya sulit untuk melihat Qi Heng. Status orangtua Molan rendah karenanya mereka takk bisa membantu dirinya dalam urusan ini. Bila mereka tak bisa melihat QI Heng lalu apa keuntungan mereka? Memikirkan tentang wajah Qi Heng, komentar lembut dan sopannya, Molan merasakan kebencian pada kehilangan tersebut. Di balik lengan bajunya dia mengepalkan tinju dan terkadang menggumamkan kata-kata di belakang Wang-shi yang terlalu lirih untuk didengar oleh wanita itu.
Minglan, sebaliknya, cukup santai dan sangat gembira bisa meninggalkan kelas di mana selalu terdapat begitu manyak masalah…. Ah Buddha, telah mengambil rintangan ini, sungguh luar biasa.
Melihat Pingning Junzhu yang cantik serta Nyonya Besar Sheng bertukar beberapa patah kata, Wang-shi beberapa kali berusaha ikut masuk namun tak menemukan kesempatan. Mendadak Pingning Junzhu tertawa dan berkata, “Yang mana Nona Muda Keenam, yang mampu membuat anakku tertawa?”
Benak Minglan sedang melamun, berpikir kalau besok pagi dia akan bisa mengajari Changdong lalu mengantarnya pergi, karena Nyonya Besar akan mengunjunginya. Dia akan bisa memakai waktu tambahan untuk tidur… saat mendadak namanya disebut. Nyonya Besar Sheng menunduk dirinya dan berkata seraya tertawa, “Cucu nakalku ini. Dia dibesarkan di sisiku tapi aku tak bisa mengaturnya karena dia begitu nakal.”
Pingning Junzhu menarik tangan kecil Minglan saat dia memeriksanya dengan seksama. Tangan yang ramping dan lembut ini, menatap tangan tangan montok lembut seputih salju serta wajah tembam mungil Minglan polos; menggenggam kedia tangan kecil lembut ini rasanya sangat nyaman, maka sang Junzhu pun berkata, “Anak ini sungguh orang yang baik untuk diurus, tak heran Nyonya Besar tak mau melukainya. Nyonya Besar cukup menyukai dia… Nona Muda Ming yang cerdas ini, kau harus mengobrol denganku setelah kelas selesai dan takkan masuk ke kelas Tuan Zhuang, apa kau tak masalah dengan itu?”
MInglan tak waspada dan tak mampu melihat senyum menyebalkan Qi Heng. Niatan ini sungguh rumit dan karenanya dia hanya bisa berkata malu-malu, “Di amna, di mana….”
Qi Heng benar-benar tak bisa menahan diri saat dia mendekatkan mulutnya ke telinga Pingning Junzhu, dan dengan lembut dia membisikkan beberapa kata sambil menutupi mulutnya. Sang Junzhu mendadak tampak gembira dan memeluk Minglan kecil lebih erat lalu seraya tersenyum, dia berkata, “… Ini bagus, kau bisa tidur siang ini….”
Di sekolah, semua orang sudah melihat Minglan terkantuk-kantuk dan terkadang mereka menertawainya. Rulan mendekati Wang-shi dan berbisik. Nyonya Besar Sheng sedikit memikirkan tentang hal itu dan mengerti. Menunjuk pada Minglan, dia tertawa tanpa henti dan berseru, “… Kau bocah kecil nakal, sekarang kau tak perlu pergi ke kelas Tuan Zhuang lagi, apa kau senang?!”
Wajah mungil Minglan merona dan dia pun membungkuk tanpa sura seraya diam-diam menggertakkan gigi dan menyumpahi di dalam hatinya…. Qi Heng, Yuan Ruo, beraninya kau mengadukan aku, hati-hatilah kalau kelak anak lelakimu takkan punya XX!
Pingning Junzhu hanya tersenyum dan berkata, “… Heng’er, kau tak punya seorang saudari pun untuk memahami ini. Kau takkan bisa mengerti dia dengan jelas kalau kau bahkan tak tahu apa yang telah dia alami. Lain kali kau harus menyayangi Ming’er seperti saudarimu sendiri… ya?”
Nyonya Besar Sheng tersenyum, lalu berkata, “Oh, bukankah ini seperti mengaku-aku memiliki hubungan dengan orang dengan status sosial lebih tinggi untuk memanjat tangga sosial,” dan seterusnya. Wajah Wang-shi sedikit berubah namun dalam sekejap kembali ke normal dan lanjut mengikuti percakapan dan tertawa.
Minglan diam-diam memeriksa Molan dan Rulan, dan saat melihat mereka masih tidak sadar, mendadak hatinya merasakan deraan kecil rasa kasihan.