Fortunate To Meet You - Chapter 10
Liang Zheng menatap setumpuk uang di atas meja, tercengang cukup lama. Sampai ada orang yang lewat dan menatap ke atas meja. Dia tersadar dan segera menyimpan uang itu di dadanya dengan waspada.
Setelah orang itu pergi, barulah dia menyimpan uang itu di dalam tasnya.
Kenapa Zhou Xu pergi begitu meninggalkan uang di sini. Dia bahkan tidak punya kesempatan untuk menolak dan hanya bisa mengambilnya.
Menghela napas. Tak mudah sampai akhirnya utang terbayar, sekarang rasanya malah seperti berutang pada Zhou Xu lagi.
Hari berikutnya, Liang Zheng masih kuliah di siang hari dan bekerja paruh waktu di malam hari. Hari-hari dilewati dengan tenang.
Pada Jumat malam, telepon dari Bibi Zhou datang saat dia baru saja kembali ke kampus sepulang kerja. Begitu melihat telepon dari Bibi Zhou, dia mengangkat dan berkata manis, “Bibi.”
Di ujung telepon lain, Zhou Yuzhi menelepon sambil membawa buah ke ruang tamu. Dia membungkuk, meletakkan buah itu di atas meja dan duduk di sofa sambil tersenyum, “Zhengzheng, sedang apa?”
Liang Zheng berkata, “Sedang di jalan pulang ke asrama, Bibi.”
Zhou Yuzhi berkata, “Besok kemarilah untuk makan. Besok aku di rumah, kamu ingin makan apa? Aku akan pergi belanja besok.”
Zhou Yuzhi ada urusan di akhir pekan lalu, tidak bisa menyuruh Liang Zheng kemari makan. Minggu ini dia senggang. Teringat Liang Zheng belakangan ini pasti sedang ujian akhir semester, dia ingin membuatkan makanan enak untuk gadis itu.
Liang Zheng buru-buru menjawab, “Tidak usah, Bibi. Sudah mau ujian. Aku ingin mempelajari ulang pelajaranku.”
Zhou Yuzhi berkata, “Tidak masalah, besok aku akan pergi menjemputmu selesai belanja. Kalau kamu mau belajar, boleh di ruang belajar A Xu.”
Liang Zheng teringat kejadian malam itu. Zhou Xu memperingatkannya dengan marah kalau dia tidak boleh ke ruang belajarnya lagi. Dalam hatinya berpikir, mana berani lagi dia masuk ke sana.
Dia pun menjawab, “Tidak usah, Bibi. Aku belajar di kampus saja. Selain itu, menjelang akhir semester juga ada banyak tugas di kampus.”
Liang Zheng bersikeras tidak mau, Zhou Yuzhi juga tidak enak hati memaksa. Lagipula, tidak ada yang lebih penting daripada belajar. Dia berkata, “Baiklah. Kamu belajar yang baik. Setelah selesai ujian, aku akan mengajakmu pergi main ski.”
Liang Zheng mengangguk. Dia mengobrol sebentar dengan Bibi Zhou untuk menanyakan kabar. Sebelum telepon dimatikan, dia tidak lupa titip salam untuk Paman Zhou.
Ujian akhir semester dilakukan sesuai jadwal. Setiap hari ada satu mata pelajaran, seperti katak yang direbus dalam air panas.
Setelah seminggu berturut-turut ujian, akhirnya sampai di ujian terakhir sebelum penyiksaan ini berakhir.
Liang Zheng keluar dari ruang ujian setelah menyelesaikan soal. Kebetulan dia bertemu dengan Qianqian yang juga keluar dari kelas sebelah.
Begitu Feng Qian melihat Liang Zheng, dia mendekat dengan wajah sedih, “Habislah aku. Kali ini aku pasti harus ulang mata kuliah ini lagi.”
Liang Zheng menghiburnya, “Belum tentu. Kadang kita merasa tidak melakukan dengan baik, tapi sebenarnya tidak separah yang kita pikirkan.”
Mereka berdua turun ke lantai bawah sambil bergandengan tangan, Feng Qian mendesah, “Kali ini kalau tidak mengulang saja sudah bagus, nilai 60 saja sudah cukup.”
Liang Zheng mengangguk dan berkata, “Pasti bisa! Aku akan berdoa untukmu.”
Feng Qian merasa terhibur dengan tatapan serius Liang Zheng, dia bertanya, “Kapan kamu pulang? Sudah beli tiket pesawat?”
“Waktunya belum dipastikan. Bibi Zhou bilang akan membawaku pergi main ski. Mungkin pulang dari main ski baru pulang ke rumah.”
“Main ski? Aku juga mau!”Feng Qian bertanya, “Kamu bisa main?”
Liang Zheng menggelengkan kepala, “Mana mungkin. Aku saja belum pernah melihat salju.”
Liang Zheng tidak membawa ponsel saat ujian. Ketika kembali ke asrama, dia melihat beberapa panggilan tidak terjawab dari Bibi Zhou. Dia duduk di sisi tempat tidur dan menelepon balik.
Telepon berdering dua kali sebelum diangkat, “Zhengzheng, sudah selesai ujian? Aku dalam perjalanan untuk pergi menjemputmu. Mungkin 20 menit lagi sampai.”
Liang Zheng masih belum mulai berkemas. Dia segera bangkit dari tempat tidur dan menarik keluar kopernya dari dalam lemari, “Bibi, berkendaralah perlahan. Aku baru selesai ujian. Telepon aku kalau sudah sampai, aku akan segera turun.”
“Baiklah. Kamu pelan-pelan saja berkemasnya.””
Liang Zheng tidak menyangka Bibi Zhou akan menjemputnya hari ini.
Sebenarnya dia ingin tinggal di kampus hari ini, besok baru pergi ke rumah Bibi Zhou sendiri.
Dia awalnya berencana untuk berkemas pelan-pelan setelah ujian, kali ini dia menjadi panik. Dia sembarangan melipat pakaian dan memasukkannya dalam koper.
Tidak berapa lama, koper sudah terisi penuh. Untungnya, liburan musim dingin lebih pendek, barang yang ingin dia bawa pulang juga tidak banyak.
Saat Bibi Zhou menelepon dan berkata sudah sampai, dia sudah hampir selesai berkemas. “Zhengzheng, kamu tunggu di atas. Aku suruh A Xu ke atas untuk menurunkan koper.”
Liang Zheng yang baru menutup koper mendengar Bibi Zhou ingin menyuruh Zhou Xu naik. Dia terkejut dan segera menjawab, “Tidak usah, Bibi. Koperku tidak berat, aku bisa sendiri.”
Zhou Xu sudah begitu kesal padanya, dia tidak berani merepotkan Zhou Xu lagi. Sambil bicara, dia segera mengangkat kopernya ke luar.
Dia berbalik untuk melambaikan tangannya pada Feng Qian dan berkata, “Qianqian, aku pergi ya.”
Feng Qian sedang bermain ponsel di tempat tidurnya. Mendengar apa yang Liang Zheng katakan, dia melemparkan sebuah ciuman, “Pergilah, sampai jumpa semester depan.”
Liang Zheng menarik kopernya keluar dari asrama, mendengar Bibi Zhou berkata dari seberang sana, “Tidak masalah, aku sudah menyuruhnya naik.”
Liang Zheng baru saja berjalan sampai ke tangga, masih memikirkan sesuatu tapi Zhou Xu sudah naik ke atas. Mungkin karena baru keluar dari mobil, Zhou Xu hanya mengenakan sweater dan celana jeans hitam tanpa mantel. Perawakannya tinggi dan juga tegap.
Ke mana pun pemuda tampan itu pergi, mereka akan selalu menjadi obyek yang menarik perhatian. Liang Zheng bahkan melihat beberapa gadis di samping tangga yang ingin coba berkenalan.
Tapi dengan ekspresi Zhou Xu yang tidak bisa didekati membaut kebanyakan orang mungkin saja tidak berani mendekat dan mengajaknya bicara.
Liang Zheng melihat Zhou Xu naik, segera menutup telepon, “Ah, maaf merepotkanmu.”
Zhou Xu mengulurkan tangan untuk meraih kopernya dan menjawab ‘hmm’ dengan datar. Ekspresinya juga dingin, langsung berbalik turun. Liang Zheng buru-buru mengikutinya, keduanya turun berdampingan.
Liang Zheng mengamati ekspresi Zhou Xu dengan hati-hati, berusaha mencari topik, “Itu… barangku agak banyak, berat ya?”
“Tidak.”
“….” Liang Zheng tersenyum kikuk, “terima kasih.”
Zhou Xu menjawab ‘hmm’ lagi, tidak ada ucapan lainnya lagi. Sungguh level tertinggi dari ucapan yang dapat dikeluarkan oleh Terminator.
Liang Zheng merasa lelah, memilih diam saja. Untungnya hanya beberapa lapis tangga. Begitu sampai bawah, Liang Zheng sudah melihat Bibi Zhou. Dia segera mendekat dan berkata manis, “Bibi Zhou!”
Zhou Yuzhi berdiri di samping mobil, menarik tangan Liang Zheng. Dia melihatnya dari atas sampai bawah dan tersenyum, “Dua minggu tidak melihatmu, kamu kurusan ya?”
Liang Zheng menggeleng, “Tidak kok.”
“Kurusan.” Zhou Yuzhi berkata lagi, “pasti belakangan ini tidak makan dengan baik.”
Saat Zhou Xu mendekat, kebetulan mendengar ucapan ini. Dia mendongak dan melirik Liang Zheng.
Ketika melihatnya, Liang Zheng juga sedang melihat ke arahnya. Tatapan kedua orang itu bertemu.
Liang Zheng membeku, berusaha tersenyum tapi melihat Zhou Xu telah membuang muka.
Zhou Xu berjalan ke belakang, membuka bagasi dan memasukkan koper ke dalam bagasi.
Zhou Yuzhi menarik Liang Zheng duduk di kursi belakang. Dalam perjalanan pulang, Zhou Xu yang mengemudi. Zhou Yuzhi mengobrol dengan Liang Zheng di barisan belakang, “Besok pagi kita akan naik gunung. Kita akan menginap semalam di sana, kamarnya sudah dipesan. Setelah bermain ski di siang hari, malamnya masih bisa ke pemandian air panas.”
Menambahkan lagi, “Tapi di gunung dingin. Besok pakai yang lebih tebal.”
Liang Zheng belakangan ini belajar di siang hari dan bekerja paruh waktu di malam hari, dia agak lelah. Teringat besok akan pergi main, hatinya pun terasa sedikit senang.
Dia membicarakan hal esok pada Bibi Zhou dengan hati senang, namun lambat laun dia mulai khawatir, “Tapi, aku tidak bisa main ski.”
Zhou Yuzhi berkata, “Tidak masalah, ada pelatih yang bisa mengajarimu.””
Malamnya, Liang Zheng duduk bersila di tempat tidur setelah selesai mandi. Dia menelepon mamanya dan memberitahunya kalau Bibi Zhou akan mengajaknya pergi main ski. Dia akan pulang dua hari lagi.
Begitu mendengarnya, Liang Mama berkata cemas, “Kamu ini, liburan bukannya pulang. Kenapa malam pergi ke rumah Bibi Zhou lagi dan main ski?”
Liang Zheng juga sedikit tidak enak hati, suaranya merendah, “Sebelumnya sudah janji.”
“Menghabiskan berapa banyak uang?” Liang Mama bertanya lagi, “uangmu masih cukup tidak? Nanti aku minta papamu keluar untuk transfer ke kamu.””
Liang Zheng berkata: “Masih ada.”
Zhou Xu sudah mengembalikan uang padanya. Belakangan ini juga dia kerja paruh waktu dan mendapatkan sedikit uang.
Liang Mama berbicara cukup lama dan mengingatkan sebelum telepon dimatikan, “Aku akan menelepon Bibi Zhou! Jangan terlalu memanjakanmu!”
Keesokan hatinya, mereka berangkat pagi-pagi sekali. Karena di gunung dingin, Liang Zheng memakai jaket musim dingin yang tebal ketika keluar. Topi dan sarung tangan semuanya dipakai, terbungkus seperti seekor beruang.
Saat keluar dari kamar, Zhou Xu kebetulan juga keluar dari kamar. Begitu Liang Zheng melihatnya, tanpa sadar melambai dan menyapa, “Hai, Zhou Xu. Pagi.”
Dia mengenakan sarung tangan bergambar kartun, tampak sangat bodoh saat menyapa dalam keadaan begitu.
Jarang-jarang tatapan Zhou Xu berhenti pada dirinya beberapa detik, bahkan menatapnya dari atas hingga bawah. Sangat jarang berinisiatif berkata, “Kamu kedinginan sekali?”
Liang Zheng, “…”
Liang Zheng melihat Zhou Xu memakai baju lengan pendek, seketika tercekat di sana dan tidak bisa bicara lagi. Di dalam rumah ada pemanas. Yang sekarang dia pakai di tubuhnya, memang agak berlebihan.
Setelah turun, Liang Zheng melepaskan topi, sarung tangannya, dan juga mantelnya. Di dalamnya dia hanya memakai sweater bulu berwarna merah muda.
Zhou Yuzhi membuat sarapan, berteriak dari ruang makan, “Zhengzheng, sarapan dulu.”
“Oh, aku datang.”Liang Zheng meletakkan mantelnya di lengan sofa dan berlari dengan gembira ke ruang makan.
Setelah sarapan, Zhou Yuzhi naik ke atas untuk berganti pakaian. Liang Zheng membereskan alat makan di dapur.
Saat keluar, waktu sudah tepat jam 9. Zhou Xu mengendarai mobil dan Paman Zhou duduk di kursi penumpang depan.
Liang Zheng dan Zhou Yuzhi duduk di kursi belakang. Dua orang di barisan depan luar biasa diam, tapi dua orang di barisan belakang sangat senang. Sepanjang jalan begitu riang gembira.
Tapi saat mengobrol, Liang Zheng tiba-tiba teringat sesuatu dan tanpa sadar melihat ke kaca spion depan. Dia melihat mata Zhou Xu yang dingin.
Dia tiba-tiba teringat kalau Zhou Xu sangat tidak suka berisik. Tapi dia dari tadi sudah mengoceh sepanjang jalan, entah seberapa kesalnya hati Zhou Xu.
Memikirkan hal ini, hati Liang Zheng terasa tercekat dan diam-diam menyentuh bibirnya.
Setengah perjalanan berikutnya, Liang Zheng hanya bersandar ke jendela untuk tidur dan tidak bersuara lagi.
Ketika mereka tiba di lokasi, waktu sudah hampir jam 11. Di gunung ternyata memang lebih dingin. Sejauh mata memandang, semuanya terlihat putih.
Saat Liang Zheng keluar dari mobil dan menginjak tanah, sepatunya tenggelam setengahnya. Dia belum pernah melihat salju seperti ini, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
Paman dan Bibi Zhou berjalan di depan, dia dan Zhou Xu berjalan di belakang. Sepanjang jalan dia merasa gembira dan ingin mencari seseorang untuk berbagi. Tapi saat menoleh ke samping, dia hanya bertemu dengan wajah Zhou Xu yang dingin tanpa ekspresi.
Semua yang ingin dia katakan hanya berhenti di tenggorokan.
Sudahlah. Dia mengeluarkan ponsel untuk mengambil foto. Mengirimnya ke Moments di WeChat: Salju yang sangat indah!
Zhou Yuzhi memesan sebuah vila keluarga di hotel, kebetulan pas untuk mereka berempat.
Lantai pertama adalah ruang tamu dan kamar ada di lantai dua. Liang Zheng masuk ke kamar untuk meletakkan barang bawaannya. Pemanas dinyalakan di dalam kamar, agak sedikit panas.
Dia melepas mantel dan berlari ke balkon untuk melihat pemandangan di luar. Balkon kamarnya menghadap ke halaman di lantai pertama. Di luar masih turun salju.
Salju di tanah sepertinya sudah dibersihkan, tidak setebal tadi di luar. Tapi masih ada lapisan yang agak tebal.
Liang Zheng melihat salju putih yang jatuh, jatuh di halaman dan di atas pohon, dia luar biasa senang.
Dia mengeluarkan ponsel untuk mengambil rentetan foto. Tidak cukup hanya melihat dari balkon, dia berlari dengan senang ke lantai bawah. Ingin coba merasakan salju tebal di gunung.
Di Beijing juga turun hujan, tapi tidak selebat di gunung. Dia bergegas turun dan langsung berlari menuju balkon ruang tamu.
Namun, dia yang baru saja berlari dari dalam, tidak tahu seberapa licinnya lantai di luar. Begitu dia menginjak satu kaki, dia tergelincir dan seluruh tubuhnya jatuh ke belakang.
Zhou Xu yang kebetulan sedang telepon di luar, melihat Liang Zheng yang berlari keluar dari dalam vila. Sebelum dia sempat memikirkan hal lain, dia melihat kaki Liang Zheng tergelincir dan tubuhnya oleng ke belakang. Dia mengernyit, seketika menahan pinggang belakang Liang Zheng dengan satu tangannya yang tidak memegang ponsel.
Rasa sakit di belakang kepala yang ditunggu-tunggu tidak kunjung terasa, Liang Zheng merasa ada seseorang yang memegang pinggangnya. Dia membuka matanya dengan ngeri, begitulah tatapannya bertemu dengan mata Zhou Xu yang gelap dan dalam. Seluruh tubuhnya jatuh ke dalam pelukan Zhou Xu, dia bahkan bisa merasakan kekuatan telapak tangan pemuda itu di pinggangnya.
Liang Zheng menatap ke mata itu. Selama beberapa detik, jantung berdebar begitu keras hingga hampir melompat keluar dari tenggorokannya. Sampai dia kembali bereaksi, dia segera melepaskan diri dari pelukan Zhou Xu.
Seperti telah melakukan suatu hal yang memalukan, dia langsung berlari ke dalam ruang tamu.
Zhou Xu menoleh untuk menatapnya, melihatnya berlari ke lantai atas dengan panik. Menatap bayangan punggung gadis itu dan terdiam beberapa detik. Sampai terdengar suara Qin Song, “A Xu, sedang apa? Kenapa tidak bicara?”
Barulah Zhou Xu mengalihkan pandangannya dan menjawab, “Ada apa?”